UU Cipta Kerja disahkan, penolakan masih berlanjut
Direktur Eksekutif CORE Indonesia Mohammad Faisal mengatakan penandatanganan undang-undang ini menunjukkan pemerintah tidak mendengar keresahan dan gejolak masyarakat

Jakarta Raya
JAKARTA
Presiden Indonesia Joko Widodo menandatangani omnibus law Undang-Undang (UU) Cipta Kerja pada Senin malam.
Pemerintah dan DPR RI mengesahkan UU ini dengan alasan untuk menarik investasi asing dan menciptakan lapangan pekerjaan di Indonesia.
Undang-Undang berjumlah 1.187 halaman dan menggabungkan 79 peraturan setingkat undang-undang masih mendapat penolakan dari masyarakat, terutama para buruh yang menilai hak-haknya berkurang.
Sebagian buruh memilih berjuang dengan menggugat UU ini ke mahkamah konstitusi sekaligus berunjuk rasa, namun ada serikat buruh yang memilih berunjuk rasa terus untuk menolak undang-undang ini.
Organisasi buruh yang mengajukan gugatan judicial review adalah Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) yang dipimpin Andi Gani Nena Wea.
“Pendaftaran gugatan judicial review Undang-Undang Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020 sudah resmi tadi pagi didaftarkan ke Mahkamah Konstitusi di bagian penerimaan berkas perkara,” kata Said Iqbal, ketua KSPI, melalui pesan tertulis, Selasa.
Namun KSPI akan tetap berunjuk rasa dan mogok kerja sebagai wujud protes dan penolakan terhadap UU ini.
Sedangkan Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) menyatakan akan tetap berunjuk rasa dan turun ke jalan untuk menolak Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Ketua Umum KASBI Nining Elitos mengatakan tidak akan mengajukan gugatan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) meski Presiden Joko Widodo telah menandatanganinya.
“Kami tidak mengajukan judicial review terhadap undang-undang yang sejak awal sudah bertentangan dan melanggar hukum,” kata Nining kepada Anadolu Agency, Selasa.
Menurut dia, diundangkannya UU Cipta Kerja ini “memberi ruang eksploitasi terhadap manusia dan sumber daya alam”.
KASBI bersama Gerakan Buruh Bersama Rakyat (Gebrak) rencananya akan berunjuk rasa pada 10 November 2020, bertepatan dengan peringatan Hari Pahlawan.
Omnibus Law UU Cipta Kerja mengubah 79 undang-undang, di antaranya UU Ketenagakerjaan, UU Tata Ruang, dan UU Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Salah satu yang menuai kontroversi adalah klaster ketenagakerjaan karena mengancam hak-hak pekerja.
Antara lain mencakup hilangnya upah minimum sektoral kabupaten/kota, dihapusnya batasan waktu perjanjian kerja antarwaktu, serta tidak adanya pengecualian untuk sektor yang bisa menerapkan sistem alih daya (outsourcing).
Kesalahan dan keteledoran
Para buruh mengkritik sejumlah kekeliruan teknis pada UU Cipta Kerja meski UU tersebut telah disahkan. Misalnya pada Pasal 5 dan Pasal 6.
Buruh juga mengkritik perubahan jumlah halaman dari naskah UU tersebut ketika diserahkan oleh DPR sebanyak 812 halaman lalu menjadi 1.187 halaman ketika diundangkan oleh pemerintah.
“Ini sudah sangat mencederai demokrasi. Sejak awal bermasalah akhirnya pun menjadi masalah,” kata dia.
Menteri Sekretaris Negara Pratikno pada Selasa mengatakan kesalahan tersebut bersifat teknis administratif sehingga tidak berpengaruh terhadap implementasi UU Cipta Kerja.
Fokus pada pandemi
Ekonom mengatakan penandatanganan undang-undang Cipta Kerja oleh Presiden Joko Widodo dan menjadi undang-undang nomor 11 tahun 2020 menyimpan potensi risiko dan gejolak di kemudian hari.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan penandatanganan undang-undang tersebut oleh Presiden menunjukkan bahwa pemerintah tidak mendengar keresahan dan gejolak masyarakat.
“Saya rasa risikonya besar terkait implementasi undang-undang tersebut karena pemerintah tidak mendengar aspirasi rakyat yang menilai banyak kelemahan dalam undang-undang Cipta Kerja,” ujar Faisal kepada Anadolu Agency, Selasa.
Faisal mengatakan seharusnya pemerintah justru fokus pada upaya penanganan pandemi yang lebih baik, karena ekonomi akan mulai membaik apabila pandemi sudah bisa teratasi. “Selama masih ada pandemi, pertumbuhan ekonomi dan investasi sulit ditingkatkan,” kata Faisal.
Pengamat Hukum Tata Negara Feri Amsari menyebut sejumlah kealpaan dan kesalahan di dalam Undang-Undang ini menunjukkan buruknya pembentukan undang-undang oleh pemerintah dan DPR.
Feri mengatakan perlu mekanisme legislasi review untuk mencabut UU ini. Selain itu, Ferry mengusulkan agar menggugat UU tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) karena banyaknya kesalahan dan kealpaan selama proses penyusunannya.
Dia pesimistis jika UU tersebut dapat dibatalkan jika digugat ke Mahkamah Konstitusi karena sebelumnya pemerintah dan DPR telah memberikan ‘gratifikasi’ perpanjangan masa jabatan hakim Mahkamah Konstitusi.
Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.