Wali Nanggroe: Aceh masih tagih janji Jakarta
Malik Mahmud mengaku sudah menulis surat pada pemerintah pusat dan sudah dipanggil Komisi II DPR RI

Jakarta Raya
JAKARTA
Wali Nanggroe Aceh Malik Mahmud mengatakan bahwa Aceh masih berjuang untuk dapat mengimplementasi poin perjanjian damai antara Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki 14 tahun yang lalu.
“Ada beberapa poin yang hingga saat ini masih belum bisa diimplementasikan, yaitu bendera, lambang dan pembagian sumber daya alam,” kata Malik Mahmud pada Anadolu Agency di Jakarta, Kamis.
Malik mengaku sudah menulis surat pada pemerintah pusat dan sudah dipanggil Komisi II DPR RI.
“Saat itu semua hadir, termasuk tokoh-tokoh Aceh,” kata Malik yang dulu pernah menjabat sebagai perdana menteri Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Menurut Malik, dalam rapat itu pihaknya menanyakan mengapa poin bendera dan lambang belum disetujui dan pihak DPR memberikan beberapa alasan yang kurang masuk akal.
“Saya cuma bilang ke mereka kalau pemerintah Indonesia harus lebih bijaksana menangani Aceh, karena rakyat Aceh pasti kecewa. Apalagi [soal bendera dan lambang] sudah dijelaskan dalam MoU dan juga dalam UU Pemerintahan Aceh,” kata Malik.
Malik menyesalkan bahwa pemerintah Indonesia terkesan menahan-nahan kedua hal tersebut, yang menurutnya merupakan hal kecil.
“Dalam perundingan semua sudah disetujui. Jangan sampai hal ini membuat masalah terulang di Aceh. Masyarakat kecewa dan akhirnya konflik lagi,” kata Malik.
MoU perjanjian damai antara GAM dan Indonesia memberikan status khusus untuk Aceh, yaitu diperbolehkannya Aceh memiliki partai politik, lambang, bendera, dan lagu daerah yang berlaku secara khusus di Aceh
Sementara UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang merupakan turunan dari MoU Helsinki, menyebut bendera dan lambang Aceh dalam Pasal 246 yang isinya:
(1) Bendera Merah Putih adalah bendera nasional dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
(2) Selain Bendera Merah Putih sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Aceh dapat menentukan dan menetapkan bendera daerah Aceh sebagai lambang yang mencerminkan keistimewaan dan kekhususan.
Sebagai turunan UU nomor 11/2006, DPR Aceh telah mengesahkan Qanun (Perda syariah) Nomor 3 Tahun 2013 Tentang Bendera dan lambang Aceh, dalam keputusan itu bendera Bintang Bulan dan Buraq Singa masuk sebagai lambang pada bendera Aceh.
“Sayang pemerintah pusat keberatan dengan corak bendera dan simbol-simbol karena pernah digunakan oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) saat konflik antara Indonesia-GAM,” kata dia.
Selain masalah lambang dan bendera, masalah pengembalian sumber daya alam minyak dan gas juga masih belum selesai dan masih diperjuangkan pemerintah Aceh.
Menurut Malik masih ada kontroversial mengenai pembagian tersebut, terutama bila lokasi migas berada di laut atau di darat.
“Dulu Pak Jusuf Kalla bilang ‘terima saja dulu’ nanti masalah diselesaikan belakangan. Kalau ribut terus kapan mau selesai,’ sehingga sekarang pembagian migas Aceh sudah dilakukan meskipun belum sempurna,” kata Malik.
Meskipun demikian, tambah Malik, masalah sebenarnya belum selesai bagi pemerintah Aceh.
“Kami berharap pemerintahan baru Joko Widodo dan Ma’ruf Amin bisa menyelesaikan semua persoalan ini,” kata Malik lagi.
Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.