Dunia

Konferensi internasional Rohingya serukan boikot Myanmar

Konferensi ini menyoroti genosida di balik kekerasan dan penganiayaan Myanmar terhadap Muslim Rohingya

11.02.2019 - Update : 11.02.2019
Konferensi internasional Rohingya serukan boikot Myanmar Ilustrasi: Pengungsi Rohingya. (Foto file - Anadolu Agency)

Dildar Baykan

NEW YORK

Konferensi internasional di New York menyerukan pemboikotan Myanmar atas genosida etnis Rohingya.

Konferensi Internasional tentang Perlindungan dan Pertanggungjawaban di Burma yang diadakan di New York pada Minggu, mempertemukan para aktivis, pegiat HAM, ulama korban genosida, dan pejabat PBB.

Konferensi ini menyoroti genosida di balik kekerasan dan penganiayaan Myanmar terhadap Muslim Rohingya.

Dewan Keamanan PBB dikritik karena tidak mengambil langkah serius karena dihadang oleh Rusia dan China meskipun ada laporan PBB tahun 2018 yang mendokumentasikan genosida terhadap Muslim Rakhine oleh pemerintah Myanmar.

Para peserta konferensi memperingatkan bahwa genosida telah terang-terangan terjadi namun tidak ada langkah-langkah yang diambil untuk mencegahnya.

Selanjutnya para peserta juga menyoroti gagalnya komunitas internasional merespons kekerasan Myanmar yang dapat mengarah pada bentuk genosida lainnya.

Berbicara di konferensi itu, para aktivis perempuan mengatakan tentara Myanmar menggunakan pemerkosaan sebagai senjata melawan perempuan Muslim Rakhine dan anak-anak mereka dibakar di depan mata.

Mereka menyebut meskipun orang yang paling teraniaya di Myanmar adalah Muslim Rakhine, etnis minoritas lainnya seperti Kachin dan Shan juga telah menjadi sasaran militer.

Konferensi ini menyerukan kepada masyarakat internasional dan perusahaan untuk memboikot dan mengambil tindakan kolektif terhadap pemerintah Myanmar.

Azeem Ibrahim, seorang Profesor Riset di Strategic Studies Institute, US Army War College dan seorang Senior Fellow di Pusat Kebijakan Global di Washington menjelaskan apa yang mendorongnya untuk menulis buku The Rohingya: Inside Myanmar's Hidden Genocide ".

Ibrahim mengatakan kepada Anadolu Agency bahwa ia mulai mencari tentang Muslim Rakhine dan menyadari bahwa tidak ada buku tentang mereka dan menulis bukunya pada tahun 2016.

Dia mengatakan semua orang tahu bahwa apa yang terjadi di Myanmar adalah "genosida yang berjalan perlahan-lahan" selama beberapa dekade.

"Pihak berwenang Myanmar percaya bahwa mereka dapat menyingkirkan Rohingya untuk selamanya," kata dia.

Ibrahim mengatakan alasan kurangnya "selera" masyarakat internasional adalah bahwa mereka tidak melihat "adanya keuntungan materi untukmelakukan campur tangan."

"Tidak ada motivasi bagi masyarakat internasional, bagi kekuatan besar untuk campur tangan dalam situasi ini, Rohingya tidak penting bagi siapa pun, mereka tidak penting bagi PBB, AS atau dunia Muslim," jelasnya.

Ibrahim mengatakan para pelaku dan pengelola genosida ini harus bertanggung jawab.

Dia mengatakan masyarakat internasional harus mendesak upaya pemberian kewarganegaraan bagi etnis Rohingya.

"Mereka sangat rentan," katanya.

"Kamu tidak memiliki kewarganegaraan, warga negara, kamu tidak termasuk di mana pun, kamu tinggal di kamp pengungsi. Dan kemudian ketika kamu tahu kamu akan mati di kamp pengungsi ini, dan setelah itu anak-anakmu akan pergi untuk tinggal di sini sebagai pengemis dan mereka semua akan mati di kamp pengungsi. "

Tun Khin, presiden Organisasi Rohingya Burma, Inggris lahir dan dibesarkan di Negara Bagian Rakhine, Burma. Ia dinyatakan tanpa kewarganegaraan oleh undang-undang kewarganegaraan 1982.

"Kami menghadapi genosida abad ke-21 ... para penjahat militer di Myanmar dan penjahat militer lainnya harus dibawa ke Pengadilan Pidana Internasional," katanya kepada Anadolu Agency.


Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.