
Jakarta Raya
SM Najmus Sakib
DHAKA, Bangladesh
Pendidikan bagi lebih dari 60.000 anak-anak Rohingya dan masyarakat tuan rumah di Cox's Bazar, Bangladesh, terganggu karena hujan badai merusak pusat-pusat pembelajaran.
UNICEF Bangladesh mengatakan dalam sebuah pernyataan pers pada Selasa bahwa situasi ini membuat suasana di kamp-kamp semakin suram, di mana lebih dari 4.000 keluarga terkena dampak dan banyak di antaranya telah dipindahkan ke tempat-tempat yang aman karena mereka berisiko terkena banjir dan tanah longsor karena hujan deras terus mengguyur beberapa hari terakhir, demikian pernyataan pers UNICEF.
"Kondisi di kamp-kamp dan komunitas tuan rumah memburuk dengan cepat karena cuaca yang brutal dan kebutuhan kemanusiaan di sini hanya akan tumbuh dalam beberapa hari mendatang dengan perkiraan hujan yang lebih deras," kata pejabat perwakilan UNICEF di Bangladesh Alain Balandi Domsam.
Domsam mengatakan sejauh ini, lima pusat belajar anak-anak yang didukung UNICEF rusak parah dan lebih dari 750 lainnya rusak sebagian.
Sementara itu, menurut dia, sebanyak 12 Pusat Perlindungan Anak, 47 titik distribusi air dan lebih dari 600 fasilitas sanitasi rusak.
"Lebih dari 500.000 anak-anak Rohingya membutuhkan bantuan kemanusiaan di Cox's Bazar," tambah Domsam.
Masyarakat yang teraniaya
Rohingya, yang digambarkan oleh PBB sebagai kelompok yang paling teraniaya di dunia, menghadapi ketakutan yang terus meningkat sejak puluhan orang terbunuh dalam kekerasan komunal pada tahun 2012.
Menurut Badan Pembangunan Internasional Ontario (OIDA), sejak 25 Agustus 2017, lebih dari 24.000 Muslim Rohingya telah dibunuh oleh tentara Myanmar.
Lebih dari 34.000 orang Rohingya juga dibakar, sementara lebih dari 114.000 lainnya dipukuli, menurut laporan OIDA yang berjudul 'Migrasi Paksa Rohingya: Pengalaman yang Tak Terkira'
Sekitar 18.000 perempuan Rohingya diperkosa oleh tentara dan polisi Myanmar dan lebih dari 115.000 rumah Rohingya dibakar sementara 113.000 lainnya dirusak.
Menurut Amnesty International, lebih dari 750.000 pengungsi, sebagian besar anak-anak dan perempuan, telah melarikan diri dari Myanmar dan menyeberang ke Bangladesh setelah pasukan Myanmar melancarkan tindakan kekerasan terhadap komunitas Muslim minoritas pada Agustus 2017.
PBB mendokumentasikan perkosaan massal, pembunuhan - termasuk bayi dan anak kecil - pemukulan brutal, dan penculikan yang dilakukan oleh personil keamanan.
Dalam laporannya, penyelidik PBB mengatakan bahwa pelanggaran-pelanggaran tersebut merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan.