Pencarian keamanan di Teluk: jika sumber ancaman adalah israel, siapa yang akan menjamin stabilitas?
Serangan Israel ke Doha pada September lalu mengguncang fondasi keamanan kawasan Teluk dan menimbulkan pertanyaan besar: ketika ancamannya datang dari Israel—aliansi utama AS—siapa yang dapat diandalkan negara Teluk untuk menjaga keselamatannya?
ISTANBUL
Kepala Departemen Ilmu Politik dan Hubungan Internasional Universitas Mardin Artuklu, Dr. Necmettin Acar, mengulas latar belakang kunjungan Putra Mahkota Saudi Mohammed bin Salman ke Amerika Serikat dalam konteks perubahan besar arsitektur keamanan di kawasan Teluk.
Negara-negara Teluk selama puluhan tahun bergantung pada kekuatan luar untuk menjamin keamanan mereka. Sejak Perang Dunia II, keamanan kawasan ini bertumpu pada kemitraan strategis dengan Amerika Serikat yang membantu melindungi rezim-rezim Teluk dari ancaman internal maupun aktor revisionis seperti Gamal Abdel Nasser, Saddam Hussein, dan Ayetullah Khomeini.
Namun serangan Israel ke Doha pada 9 September membuka celah besar dalam arsitektur tersebut: ketika ancaman berasal dari Israel, siapa yang akan melindungi negara-negara Teluk?
Kunjungan Putra Mahkota Mohammed bin Salman ke Washington pada 18 November berlangsung pada momen sensitif ketika tatanan keamanan Timur Tengah mengalami perubahan drastis.
Pertemuannya dengan Presiden AS Donald Trump dipandang dapat membuka babak baru dalam hubungan keamanan Saudi–AS.
Namun ekspektasi bahwa Riyadh akan menegosiasikan pakta keamanan komprehensif dengan AS justru dianggap mengejutkan, mengingat pasca serangan Israel ke Qatar, negara tersebut juga memilih menandatangani perjanjian keamanan baru dengan AS.
Keduanya mencerminkan paradoks yang dihadapi negara-negara Teluk: AS memberikan jaminan keamanan, tetapi di saat yang sama mendukung agresivitas Israel di kawasan.
Ketergantungan Keamanan Teluk: Akar Struktural dan Kelemahan Abadi
Acar menilai, ketergantungan tradisional negara-negara Teluk pada kekuatan eksternal disebabkan oleh beberapa faktor struktural:
Keterbatasan kapasitas militer dan industri pertahanan
Kondisi iklim yang berat, sumber daya terbatas, wilayah yang luas namun berpenduduk jarang, serta kurangnya tenaga ahli membuat pembangunan industri pertahanan lokal sulit berkembang.Letak geografis yang strategis namun rentan
Teluk berada di persimpangan jalur energi global, menarik keterlibatan kekuatan besar maupun kompetisi regional yang meningkatkan kebutuhan keamanan.Struktur demografis dan legitimasi politik yang rapuh
Ketergantungan pada tenaga kerja asing dan lemahnya basis legitimasi sosial membuat rezim Teluk rentan terhadap ketidakstabilan internal.Lingkungan regional yang penuh rivalitas
Kedekatan dengan negara-negara berkapasitas militer besar dan berbasis ideologis kuat memperbesar kerentanan Teluk terhadap infiltrasi maupun ancaman eksternal.
Setelah Serangan Israel ke Doha: Mencari Model Keamanan Baru
Serangan Israel pada September mendorong negara-negara Teluk melihat kembali ketergantungan mereka pada AS. Riyadh merespons dengan menandatangani perjanjian keamanan dengan Pakistan, tetapi kemampuan militer dan dinamika politik Pakistan membuat langkah ini dinilai tidak menawarkan jaminan jangka panjang.
Oleh karena itu, harapan kembali diarahkan pada AS. Riyadh ingin memperkuat arsenalnya dengan sistem pertahanan modern buatan AS. Namun pertanyaannya: apakah sistem tersebut efektif menghadapi agresivitas Israel—sekutu utama AS sendiri?
Menurut Acar, ada dua kalkulasi utama Riyadh:
Memberikan konsesi finansial kepada Washington untuk menjaga kepentingan AS dan Trump tetap sejalan dengan keamanan Saudi, sehingga Riyadh dapat membeli waktu menghadapi ancaman Israel.
Mengorbankan kedekatan dengan Rusia dan China, sebagai imbalan agar AS kembali mengukuhkan dirinya sebagai penjamin keamanan utama Teluk.
Namun satu-satunya kartu besar Riyadh adalah kemungkinan normalisasi dengan Israel—sebuah langkah yang akan merombak kebijakan luar negeri Saudi dan belum tentu sejalan dengan kepentingan domestik maupun regional kerajaan.
Menuju Keamanan Teluk yang Berkelanjutan
Acar menyimpulkan bahwa model keamanan Teluk saat ini tidak cukup untuk menghadapi ancaman baru. Ketika Israel menjadi aktor agresif di kawasan dan AS justru memberikan dukungan, negara-negara Teluk harus mencari alternatif:
Mengakui Israel sebagai ancaman nyata, bukan sekadar ancaman perseptual,
Mempromosikan kerja sama keamanan intra-kawasan,
Mengembangkan kapasitas pertahanan dalam negeri,
Membangun diplomasi regional yang lebih mandiri.
Tanpa transformasi mendasar dalam arsitektur keamanan, kesepakatan baru dengan AS hanya akan memberikan kenyamanan sementara.
[Acar adalah Ketua Departemen Ilmu Politik dan Hubungan Internasional Universitas Mardin Artuklu.]
Pandangan dalam artikel ini sepenuhnya milik penulis dan tidak mencerminkan kebijakan editorial Anadolu Agency.
Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.
