Ekonomi, Nasional

Pengamat sebut RAPBN 2020 belum mampu dongkrak pertumbuhan

Alokasi belanja dan target penerimaan 2020 dirancang lebih tinggi, sementara target capaian pertumbuhan ekonomi 2020 sebesar 5,3 persen hampir sama dengan target 2019 yang sebesar 5,2 persen

İqbal Musyaffa  | 19.08.2019 - Update : 20.08.2019
Pengamat sebut RAPBN 2020 belum mampu dongkrak pertumbuhan Ilustrasi: Deretan bangunan pencakar langit di Jakarta. (Eko Siswono Toyudho - Anadolu Agency)

Jakarta Raya

JAKARTA

Pengamat ekonomi yang tergabung dalam Institute for Development of Economic and Finance (INDEF) mengatakan rencana anggaran pendapatan dan belanja negara (RAPBN) 2020 yang dibacakan Presiden pada Nota Keuangan 16 Agustus lalu tidak mampu mendorong pertumbuhan ekonomi.

Wakil Direktur INDEF Eko Listiyanto mempertanyakan alokasi belanja dan target penerimaan dalam RAPBN 2020 yang dirancang lebih tinggi, sementara target capaian pertumbuhan ekonomi 2020 yang sebesar 5,3 persen hampir sama dengan target 2019 yang sebesar 5,2 persen.

“Kenapa berani targetkan penerimaan belanja lebih tinggi tetapi target pertumbuhan tidak?” Eko mengkritisi dalam diskusi ‘RAPBN 2020 Solusi atas Perlambatan Ekonomi?’ di Jakarta, Senin.

Dalam RAPBN 2020 penerimaan negara ditargetkan sebesar Rp2.221,5 triliun sementara target penerimaan pada 2019 sebesar Rp2.165,1 triliun.

Eko beranggapan kenaikan target penerimaan pajak terlalu optimistis dan perlu dilihat kembali mengingat saat ini terjadi stagnasi perekonomian.

“Potensi shortfall yang tinggi akan mencetak utang baru lewat penerbitan SBN,” kata Eko.

Dia berasumsi bahwa kebijakan fiskal tidak mampu menstimulus perekonomian sehingga target pertumbuhan ekonomi 5,3 persen menurut pemerintah menjadi cukup realistis di tengah perlambatan pertumbuhan ekonomi global.

Eko menilai kebijakan fiskal pada 2019 lebih banyak bermuatan politik sehingga target pertumbuhan ekonomi tidak tercapai.

“Kalau memang anggaran belanja 2020 didesain lebih besar, maka harus berani menargetkan pertumbuhan ekonomi yang lebih besar,” ketus Eko.

Eko mengatakan faktor eksternal sering kali menjadi kambing hitam tidak tercapainya target pertumbuhan ekonomi.

Banyak negara juga mengeluhkan dan merasa pesimistis terkait kondisi global pada 2020 dengan adanya perang dagang yang sudah mulai mengarah pula kepada perang nilai tukar dan juga kemungkinan adanya perang investasi.

“Jadi risiko ini menimbulkan tantangan,” imbuh Eko.

Dia mengatakan berdasarkan data IMF pertumbuhan ekonomi global diperkirakan turun dari 3,6 persen menjadi 3,2 persen.

Eko menjelaskan pada 2020 hubungan dagang AS dan China diperkirakan masih memanas karena apabila perang dagang mengendur, maka elektabilitas partai Republik ataupun Demokrat akan turun, sehingga secara politis AS mewacanakan perang dagang terus berlangsung.

“Tapi implikasinya besar ke dunia terkait ketidakpastian,” kata Eko.

Eko mengatakan postur RAPBN 2020 perlu dilihat kembali karena tidak menggambarkan kondisi perekonomian global secara keseluruhan.

Dia menguraikan pada level global diperkirakan akan terjadi perlambatan investasi di negara maju, namun proyeksi investasi di negara berkembang justru meningkat, termasuk dalam perdagangan.

“Berdasarkan World Investment Indicator, tren FDI di emerging market naik. Ini bisa jadi peluang buat kita, tetapi belum menjadi concern pemerintah,” cetus Eko.

Dia menambahkan untuk menghadapi tantangan 2020 akan bergantung pada strategi negara masing-masing, seperti mengubah daftar negatif investasi ataupun menghapus hambatan dalam berinvestasi.

“Pemerintah sepertinya mengarah untuk mengundang investasi asing, tetapi kita belum lihat detail realisasinya,” kata dia.

Eko juga mengatakan target inflasi 3,1 persen pada tahun depan agak sulit dicapai, khususnya terkait inflasi bahan pangan dan transportasi khususnya penerbangan.

“Kalau mau capai 3,1 persen, syaratnya kendalikan harga pangan,” imbuh Eko.

Selanjutnya, Eko mengatakan defisit transaksi berjalan juga belum mampu diredam sehingga melebar ke 3 persen pada triwulan II tahun ini dengan jumlah USD8,4 persen.

“Ini menjadi alarm bahaya bagi stabilitas nilai tukar rupiah di tengah situasi global yang tanpa kejelasan arah,” ungkap Eko.

Dalam RAPBN pemerintah menargetkan nilai tukar rupiah pada 2020 sebesar Rp14.400.

Namun, Eko mengatakan tanpa upaya serius dalam mengatasi pelebaran defisit, maka nilai tukar rupiah bisa berfluktuasi liar terhadap dolar.

Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.