Ekonomi, Nasional

Kesejahteraan petani dari industri tembakau hanya mitos

Kelompok pro pengendalian tembakau desak Indonesia ratifikasi Framework Convention on Tobacco Control atau (FCTC) dalam tempo satu tahun

Muhammad Nazarudin Latief  | 17.09.2018 - Update : 18.09.2018
Kesejahteraan petani dari industri tembakau hanya mitos Petani membawa daun tembakau di Desa Reco, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah pada 12 Agustus 2018. Bulan Agustus - September - Oktober adalah musim panen bagi para petani tembakau di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. (Surya Fachrizal Aprianus - Anadolu Agency)

Jakarta Raya

Muhammad Latief

BALI

Pernyataan bahwa industri tembakau membawa berkah bagi petani dan pekerja hanya mitos semata, ujar seorang peneliti senior dari India, salah satu negara dengan konsumsi tembakau tertinggi di dunia.

Vandana Shah, Direktur Program Asia Selatan Campaign for Tobacco Free Kids (CTFK), mengatakan petani dan pekerja industri tembakau dimanipulasi dan dieksploitasi oleh perusahaan rokok besar.

Faktanya, kata Vandana, industri menempatkan petani dan pekerja tembakau dalam lingkaran kematian dan sulit untuk keluar. Karena itu, mereka sebenarnya adalah pihak yang tepat untuk diajak masuk dalam gerakan pengendalian tembakau, bukan sebaliknya, sekutu dari industri rokok.

“Petani tembakau terjebak pada lingkaran utang dan penyakit. Sangat penting untuk menyediakan mereka pertanian alternatif,” ujar Vandana dalam Asia Pacific Conference on Tobacco or Health ke 12 (Apact12th) di Bali, Sabtu pekan lalu.

Umumnya di negara-negara Asia, industri tembakau menempatkan petani dan pekerja sebagai alasan paling kuat untuk melawan usaha-usaha pemerintah dan kelompok sosial lain dalam pengendalian tembakau.

Di India para pekerja yang memproduksi beedi – sejenis rokok lintingan tangan sama seperti kretek di Indonesia- yang tereksploitasi dan mengalami “green sickness”. Ini adalah sejenis keracunan nikotin yang dialami seseorang saat memegang tembakau.

Aktivis pengendalian tembakau, menurut Vandana perlu berbicara lebih intensif dengan petani dan pekerja tentang bagaimana mereka selama ini tereksploitasi oleh industri tembakau.

Menurut dia berdasarkan pengalaman bekerja dengan petani serta buruh, industri tembakau pada dasarnya tidak menguntungkan dua pihak ini, namun hanya pemilik industri dalam skala besar.

Di India, Bangladesh dan Filipina, koalisi antara petani dan buruh industri ini malah berperan besar dalam pengendalian tembakau, kata Vandana.

Kunci untuk mengeluarkan mereka dari pertanian tembakau adalah mengganti komoditas mereka. Upaya tersebut membutuhkan komitmen dan dukungan kuat dari pemerintah untuk membantu dalam budidaya hingga pemasaran produk baru, kata dia.

Sedangkan Indonesia, kata Hasbullah Thabrani, ahli dari Social Security Studi di Universitas Indonesia (UI), adalah surga bagi industri-industri besar tembakau, bukan petani apalagi buruh-buruhnya.

Industri tembakau bersembunyi di balik merek dan nama lokal untuk mempertahankan kelangsungan usahanya. Industri inilah yang menikmati longgarnya aturan pemerintah dalam pengendalian tembakau dan besarnya pasar perokok di Indonesia.

Industri tembakau di Indonesia dijalankan hanya oleh perusahaan-perusahaan besar, kata Hasbullah. Buktinya, dari 700 perusahaan tembakau yang terdaftar, hanya separuhnya yang benar-benar aktif.

“Industri tembakau menikmati kebijakan upah murah yang sangat menguntungkan, tapi di satu sisi mereka meningkatkan jumlah mesin untuk menggantikan sumber daya manusia yang tidak efisien,” ujar dia.

Gerakan pengendalian tembakau di Indonesia perlu melibatkan petani dan pekerja industri rokok serta komunitas lain di masyarakat dalam sebuah gerakan inklusif, ujar Hasbullah.

Lebih penting lagi, pemerintah harus menghasilkan lebih banyak perubahan untuk mengurangi prevalensi merokok, terutama pada pemuda. Tapi sayangnya ini tidak selalu terjadi.

Menurut Hasbullah, Menteri Keuangan dua tahun lalu malah memberikan penghargaan pada empat perusahaan rokok yang berkontribusi pada hampir 90 persen penerimaan dari cukai, padahal sebenarnya konsumen rokoklah yang membayar cukai tersebut.

“Pemerintah harus lebih banyak berdiskusi dengan gerakan tembakau kontrol dan melihat fakta bahwa gerakan itu dibutuhkan oleh bangsa,” ujar dia.

Di Tiongkok, kenaikan pajak rokok yang cukup substansial pada 2015 berhasil menurunkan market share rokok dengan harga menengah dan tinggi, namun market share rokok murah naik hingga 6 persen.

Menurut Rong Zheng, Direktur Pusat Kolaborasi untuk Ekonomi Tembakau WHO, Industri tembakau di Tiongkok dikendalikan oleh The State Tobacco Monopoly Administration sebuah badan milik pemerintah.

Karena itu, pemerintah Tiongkok memegang peranan strategis jika dapat menjalankan fungsi sebagai inisiator kebijakan, maka negara-negara lain akan dapat mengubah sistem perpajakan mereka, utamanya peningkatan pajak dan cukai rokok.

“Dengan prinsip-prinsip keadilan, pengendalian tembakau harus bekerja pada sisi petani dan buruh serta industri,” ujar dia.

Ratifikasi FCTC dalam satu tahun

Hasil tiga hari konferensi pada pekan lalu itu antara lain mendesak Indonesia untuk meratifikasi konvensi pengendalian tembakau melalui Framework Convention on Tobacco Control atau (FCTC) dalam tempo satu tahun.

Hingga kini, Indonesia adalah satu-satunya negara di Asia yang belum meratifikasi konvensi ini, meski sejak awal sudah mengikuti pembahasannya. Konvensi ini berisi kewajiban-kewajiban pemerintah melakukan pengendalian tembakau untuk menjaga kesejahteraan perekonomian dan kesehatan masyarakat.

Ketua Komite Nasional Pengendalian Tembakau Nafsiah Mboi mengakui saat konvensi ini ditandatangani pada 2013 oleh negara-negara anggota WHO, Indonesia selangkah lagi juga ikut menandatanganinya. Namun tiba-tiba dibatalkan.

Menurut Nafsiah ada banyak tantangan untuk mendesak agar Indonesia meratifikasi konvensi ini, namun itu bukan pekerjaan yang mustahil.

“Kita tidak tahu siapa presiden berikutnya atau presiden terpilih nanti akan berubah pikiran (menandatangani FCTC),” ujar dia di Bali.

Pemerintah dan kelompok sipil lain menurut Nafsiah harus bekerja sama menghadapi industri rokok yang sangat besar.

Resolusi lain yang dihasilkan Apact12th adalah mendesak negara di kawasan Asia Pasifik meningkatkan pajak penjualan, minimal 75 persen dari harga eceran produk tembakau. Kemudian meminta badan pekerja dunia secepatnya memutus kerja sama dengan industri tembakau.

Selan itu meminta pemerintah agar melarang memampang di toko-toko retail dan melarang semua iklan rokok di media sosial.

Kolonialisasi baru

Di sisi lain, beberapa kelompok masyarakat yaitu Komunitas Kretek, Komite Nasional Pelestarian Kretek, Asosiasi Petani Tembakau Indonesia, dan Asosiasi Petani Cengkeh Indonesia menganggap FCTC adalah kolonialisasi gaya baru dalam bentuk perjanjian internasional.

Menurut mereka, FCTC bertujuan mematikan industri hasil tembakau, karena ada 38 pasal yang secara eksplisit mengatur pelarangan penyebaran produk hasil tembakau.

“Mereka memiliki agenda besar penghancuran salah satu komoditas strategis nasional,” Aditia Purnomo, perwakilan dari Komunitas Kretek.

Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.
Topik terkait
Bu haberi paylaşın