Ekonomi, Budaya, Nasional

Pidana rokok di Singapura, bagaimana aturan di Indonesia?

Di Singapura, perusahaan yang tak menggunakan kemasan dan peringatan standar akan didenda hingga USD10.000 atau Rp140 juta, sementara di Indonesia Rp500juta

Hayati Nupus  | 02.07.2019 - Update : 03.07.2019
Pidana rokok di Singapura, bagaimana aturan di Indonesia? Ilustrasi. (Foto file - Anadolu Agency)

Jakarta Raya

Hayati Nupus

JAKARTA

Singapura akan mempidana perusahaan dan penjual produk tembakau jika tak menggunakan kemasan standar serta persyaratan peringatan kesehatan grafis dengan hukuman penjara dan denda hingga USD10.000. Aturan ini mulai berlaku 1 Juli 2020 mendatang.

Lantas bagaimana aturan rokok di Indonesia?

Sudah sejak 2012 Indonesia memberlakukan Peraturan Pemerintah Nomor 109 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif berupa Produk tembakau Bagi Kesehatan. Aturan ini mewajibkan perusahaan atau importir produk tembakau untuk mencantumkan peringatan kesehatan berupa gambar dan tulisan soal bahaya merokok.

Bila tidak, produsen terancam pidana dengan jumlah lebih besar ketimbang Singapura, yaitu penjara paling lama lima tahun dan denda maksimal Rp500 juta.

Hasil riset Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan, mencatat kerugian makroekonomi akibat konsumsi produk tembakai di Indonesia pada 2015 mencapai Rp596,61 triliun. Jumlah ini merupakan akumulasi dari pengeluaran untuk membeli rokok Rp208,83 triliun, kerugian masa produktif akibat kematian dan cacat serta kelahiran prematur Rp374,06 triliun.

Pengeluaran medis untuk mengobati penyakit yang berhubungan dengan tembakau Rp13,67 triliun untuk pasien rawat inap dan Rp53,44 miliar untuk pasien rawat jalan.

Jumlah kerugian itu hampir lima kali lipat lebih besar ketimbang penerimaan jumlah cukai rokok di tahun yang sama, yaitu Rp123,2 triliun.

Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Anung Sugihantoro mengatakan mulanya pemerintah menargetkan akan mengurangi jumlah perokok remaja dalam empat tahun masa pemerintahan Joko Widodo.

“Nyatanya target itu tidak tercapai hingga tahun keempat,” kata Anung, kepada Anadolu Agency, beberapa waktu lalu.

Anung memetakan sejumlah faktor menjadi penyebab prevalensi perokok remaja meningkat, yakni harga rokok masih relatif murah, aturan terkait iklan rokok lebih longgar, peringatan kesehatan bergambar belum efektif, pola pemasaran rokok yang memungkinkan dibeli ‘ketengan’, serta pengaruh pergaulan dan budaya masyarakat.

Berkali-kali Kementerian Kesehatan memaparkan data terkait bahaya rokok dalam rapat kabinet terbatas, namun selalu berhadapan dengan isu lain yang tak terelakkan, seperti tenaga kerja.

Kementerian Perindustrian pada 2016 lalu mencatat industri tembakau dan rokok melibatkan sekitar 6 juta tenaga kerja dengan perincian 4,28 juta di sektor manufaktur dan distribusi serta 1,7 juta orang di sektor perkebunan.

“Setiap kementerian juga punya argumentasi, lapangan kerja misalkan, juga produktivitas dan lahan. Kalau kita melarang tembakau lalu petaninya bagaimana?” kata Anung.

Sebaliknya dari sisi kesehatan, Anung menyebut semua penyakit tidak menular berkorelasi dengan perilaku merokok secara langsung maupun tidak langsung, seperti hipertensi, diabetes, stroke, dan kanker.

Penurunan industri

Sementara Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau, dan Bahan Penyegar Kementerian Perindustrian, Abdul Rochim mengatakan tidak naiknya tarif cukai memberi ruang bagi industri rokok di Indonesia untuk bernapas.

Menurut Rochim, jumlah pabrik rokok menurun sekitar 80,83 persen dari 2.540 pabrik pada 2011 menjadi 487 pabrik pada 2017.

Rochim mengatakan kenaikan tarif cukai merupakan salah satu faktor menurunnya industri rokok, terutama pada tataran industri kecil dan menengah.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat melambatnya pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) industri pengolahan tembakau.

PDB industri pengolahan tembakau hanya tumbuh pada 0,84 persen pada 2017, lebih rendah dari pertumbuhan PDB pada 2016 sebesar 1,58 persen.

Meski tren industri rokok terus menurun, performa sejumlah perusahaan rokok skala besar cenderung stabil.

Berdasarkan laporan keuangan tahun 2017 Gudang Garam, perusahaan mendapat laba bersih sebesar Rp7,70 triliun atau naik 16,8 persen dari perolehan laba bersih 2016 sebesar Rp6,59 triliun.

Sementara itu, Sampoerna mengalami penurunan laba bersih sebesar 0,39 persen dari Rp12,53 triliun pada 2016 menjadi Rp12,48 triliun pada 2017.

Padahal pada 2016, Sampoerna memperoleh kenaikan laba bersih hingga 20,94 persen dibanding perolehan 2015 sebesar Rp10,36 triliun.

Dalam laporan keuangan tahunannya, Sampoerna menjelaskan bahwa penurunan industri rokok dipicu oleh melemahnya konsumsi ritel, perubahan perilaku konsumen, dan kenaikan harga jual yang dipicu kenaikan pajak cukai yang lebih tinggi dari tingkat inflasi.

“Mudah-mudahan tarif cukai tidak naik ini bisa membuat industri lebih stabil,” ujar Rochim ketika dihubungi.

Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.