Politik, Dunia, Analisis

Blunder Macron: semua serba terlambat?

Macron memikul tanggung jawab berat dalam kekacauan ini. Kebijakan ekonomi dan fiskalnya terbukti tidak memadai, sementara manuver politik dan strategi komunikasinya sebagian besar tidak pas

Dandy Koswaraputra  | 13.12.2018 - Update : 14.12.2018
Blunder Macron: semua serba terlambat?

Jakarta Raya

Tarek Cherkaoui

ISTANBUL

Mobilisasi massa yang besar dari "Rompi Kuning" telah mengejutkan lingkaran kekuasaan Perancis secara. Apa yang dimulai sebagai demonstrasi marginal terhadap pengenaan pajak baru telah secara perlahan berubah menjadi gerakan politik besar.

Kebijakan dan strategi Macron tidak diragukan lagi telah memperburuk situasi dan menyebabkan krisis politik saat ini. Ironisnya, segera setelah dia terpilih, Presiden Emmanuel Macron menyatakan, dalam wawancara panjang dengan Guardian (20 Oktober 2017), bahwa dia "tidak dipilih untuk memimpin dalam cuaca tenang", tetapi sebaliknya, dia "dipilih untuk badai". Namun, ketika ujian politik pertama datang kepadanya sebagai presiden, Macron tampak agak kewalahan.

Bagi banyak pengamat, kepresidenan Macron tidak lain merupakan katalog bermacam kesalahan. Keinginan kuat presiden untuk menawarkan pemotongan pajak kepada orang-orang kaya di Prancis dan membatalkan pajak kekayaan (ISF), dengan alasan bahwa langkah-langkah tersebut untuk mendorong investasi, telah terbukti menjadi kesalahan strategis.

Di satu sisi, pendekatan ini telah menyebabkan lubang 10,5 miliar euro dalam anggaran 2018, yang setara dengan penurunan 39 persen pajak total yang diterima pada tahun 2017. Di sisi lain, untuk mengkompensasi kerugian besar ini, pajak dikenakan pada orang biasa - misalnya pajak atas produk energi (TICPE), pajak pertambahan nilai (PPN) atau pajak penghasilan - telah meningkat pada tahun 2018 dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2017.

Sementara itu, kebijakan fiskal terhadap kelompok berpenghasilan rendah sedikit sekali pada - jika ada - peningkatan gaji. Sementara orang-orang yang berpenghasilan tinggi telah menikmati kekayaan mereka tumbuh 134 persen dalam 15 tahun terakhir, gaji para individu berpenghasilan rendah hanya meningkat sebesar 6 persen selama periode yang sama (ini berarti pertumbuhan tahunan bahkan tidak sampai 0,4 persen).

Akibatnya, Macron terus kalah dalam pertempuran opini publik. Menurut jajak pendapat Ifop-Fidusia untuk Paris Match dan Sud Radio, yang diterbitkan pada 4 Desember, peringkat tingkat kepercayaan kepada Macron turun menjadi 23 persen dalam jajak pendapat - turun enam poin persentase dari bulan sebelumnya. Jajak pendapat yang sama menemukan bahwa 71 persen mendukung "Rompi Kuning". Hal ini tidak mengherankan, karena banyak segmen masyarakat Prancis telah mencapai kesimpulan, benar atau salah, bahwa Macron lebih peduli pada kalangan ultra-kaya daripada kelas menengah dan kelas pekerja.

Kesalahan kedua Macron adalah mengabaikan protes pada saat-saat awal gerakan mereka. Presiden tampaknya telah meremehkan "Rompi Kuning" karena tidak jelasan struktur mereka. Mereka sangat mirip dengan Occupy Wall Street atau gerakan yang muncul di Tahrir Square Mesir. Mereka cenderung mengikuti narasi umum tetapi tidak memiliki representasi atau juru bicara yang jelas.

Karena lemahnya penilaian, presiden Prancis itu sangat lambat bereaksi. Akibatnya, keheningannya semakin memicu kemarahan para demonstran. Mereka sudah merasa ditinggalkan dan bahwa mereka termasuk "perifer Prancis", seperti yang diciptakan oleh penulis Christophe Guilluy.

Perasaan bahwa secara geografis, politik, dan ekonomi terpencil, menurut Guilluy, dimiliki oleh 60 persen populasi Perancis dan ditemukan di antara 80 persen dari pekerjaan paling populer: pekerja, karyawan, petani kecil, pengrajin kecil, dan pemilik usaha kecil, yang umumnya tinggal di luar kota-kota besar di Prancis.

Namun, pada fase awal, tuntutan "Rompi Kuning" ditanggapi dingin oleh Presiden Prancis. Macron memilih untuk mengabaikan keluhan mereka, tetap pantang menyerah dalam orientasi kebijakannya, dan bahkan tidak berbicara dengan orang-orang Prancis secara langsung tentang masalah ini selama lebih dari sebulan.

Ini dianggap sebagai penghinaan yang terang-terangan bagi rakyat dan akhirnya meradikalisasi tuntutan gerakan. Akibatnya, "Rompi Kuning" bergerak dari menuntut penghapusan pajak bahan bakar hingga akhirnya meminta pemecatan Macron sendiri. Jadi, ketika Perdana Menteri Edouard Philippe mengumumkan penangguhan selama enam bulan kenaikan pajak bahan bakar, ini dianggap oleh para pengunjuk rasa sebagai terlalu sedikit, terlambat.

Sebuah kesalahan tambahan yang mahal adalah karena pemerintahnya menggunakan pendekatan yang berat terhadap protes, yang pada awalnya sepenuhnya damai. Otoritas Prancis berharap untuk menggambarkan gerakan ini sebagai semacam "gerilya kota," sehingga menciptakan irisan antara demonstran dan populasi umum. Gambar preman merusak properti, yang disebut oleh "Rompi Kuning" sebagai agitator profesional yang bekerja sama dengan polisi, gagal menciptakan efek psikologis yang diinginkan orang-orang.

Penggunaan kendaraan lapis baja Gendarmerie dan metode agresif lainnya oleh polisi anti huru-hara dirancang untuk menakut-nakuti para demonstran dan menciptakan iklim psikosis di antara penduduk. Permainan yang terakhir adalah untuk narasi keamanan yang mendahului narasi keadilan sosial. Namun, taktik-taktik ini terbukti kontraproduktif.

Sebuah video dari mahasiswa Perancis, di mana mereka diwajibkan untuk berlutut dalam diam dengan tangan mereka di belakang kepala mereka di bawah pengawasan polisi anti huru-hara dengan peralatan sangat lengkap, menyebabkan kemarahan masyarakat, setelah diposting di media sosial. Tindakan tersebut menyebabkan banyak politisi Perancis mengkritik metode-metode ini. Misalnya, mantan kandidat presiden Benoit Hamon menggambarkan adegan itu sebagai "mengerikan”, sementara Eric Coquerel, seorang anggota Parlemen, mencirikan metode ini sebagai "tidak dapat diterima dan memalukan".

Di sisi lain, agak tidak nyaman bagi para pembuat keputusan Prancis, yang biasanya tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk memberi kuliah kepada negara-negara lain tentang hak asasi manusia, mendapat kritik internasional terkait insiden ini.

Secara keseluruhan, Macron memikul tanggung jawab yang berat dalam kekalutan saat ini. Kebijakan ekonomi dan fiskalnya terbukti tidak memadai, sementara manuver politik dan strategi komunikasinya sebagian besar tidak pasi.

Sekarang dengan me-rebranding dirinya sebagai seorang yang cinta dialog, akhirnya dia memutuskan untuk berbicara dengan orang-orang Perancis di televisi, membuka jalan bagi beberapa tawaran politik terbatas dan potensi bujukan ekonomi. Akibatnya, dia akan berkewajiban untuk bernegosiasi dan membuat konsesi yang jauh lebih besar di tengah-tengah lingkungan politik yang kurang menguntungkan dan krisis parlementarisme dan perwakilan demokratis yang lebih luas.

[Tarek Cherkaoui adalah Manajer di TRT World Research Center dan penulis "The News Media at War: The Clash of Western and Arab Networks in the Middle East." Dr. Cherkaoui adalah seorang ahli di bidang komunikasi strategis.]

* Pendapat yang dikemukakan dalam artikel ini adalah opini pribadi penulis dan tidak selalu mencerminkan kebijakan editorial Anadolu Agency.


Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.