Budaya

Dokter berusia 79 tahun di garda terdepan penanganan Covid-19

Dengan APD terbatas, sang dokter kadang harus menangani pasien hingga pukul 3 pagi

Hayati Nupus  | 08.04.2020 - Update : 15.04.2020
Dokter berusia 79 tahun di garda terdepan penanganan Covid-19 Dr Handoko Gunawan, saat diisolasi di RS Persahabatan, Jakarta. (Foto dokumentasi pribadi-Anadolu Agency)

Jakarta Raya

JAKARTA 

Usia 79 tahun tak menghalangi Handoko Gunawan, dokter spesialis paru, untuk turut berjuang di garda terdepan melawan epidemi Covid-19.

Salah satu pasien Handoko adalah perempuan dengan bercak luka di paru-paru, seperti tampak pada hasil foto rontgennya. Disertai demam tinggi, sel darah putih yang rendah dan batuk dengan sedikit dahak, Handoko yakin betul jika pasiennya terinfeksi virus korona baru.

“Tanpa tes swab pun saya yakin jika dia terinfeksi Covid-19,” ujar Handoko kepada Anadolu Agency, pada Rabu.

Pada pekan pertama Maret itu, tes swab adalah fasilitas langka dan Handoko tak bisa mendapatkannya untuk pasien tersebut.

Begitu pula, pasien itu tak bisa dirujuk ke rumah sakit khusus penanganan korona. Saat itu, rumah sakit rujukan Covid-19 hanyalah RS Sulianti Saroso dan RS Persahabatan. Sementara Handoko berpraktik di RS Grha Kedoya, Jakarta Barat.

“Semua rumah sakit rujukan penuh,” keluh Handoko.

Setelah beberapa hari diopname, pasien itu menghembuskan napasnya yang terakhir.

Sementara dua pasien lain yang dia rawat telah pulih, bersisa satu pasien yang kini tengah ditangani tim medis di Wisma Atlet.

Keluarga keberatan

Sejak awal, keluarga keberatan jika Handoko tetap berpraktik di tengah wabah Covid-19. Sebab lansia seperti Handoko adalah kelompok paling rentan terinfeksi virus mematikan itu. Di waktu-waktu tertentu, Handoko harus berpraktik hingga pukul 3 pagi pula.

Apalagi alat pelindung diri (APD) untuk petugas medis terbatas. Tak jarang, Handoko mendapati perawat atau dokter yang harus menggunakan jas hujan karena APD tak lagi tersedia.

“Saya khawatir [terinfeksi] juga, tapi saya berani-beranikan saja, itu sudah tugas saya sebagai dokter,” kata kakek dengan lima cucu itu.

Sampai suatu hari Handoko merasakan tubuhnya sempoyongan. Tahu-tahu dia sudah berada di kursi roda dan sebuah mobil mengantarkannya pulang ke rumah.

Esoknya, Handoko diisolasi di RS Persahabatan, rumah sakit rujukan untuk pasien Covid-19. Dokter di rumah sakit itu menyatakan Handoko sebagai Pasien dalam Pengawasan, karena telah merawat pasien dengan Covid-19.

Di ruangan isolasi itu, Handoko sekamar berdua dengan pasien positif terinfeksi Covid-19. Pasien itu adalah seorang dokter yang berusia enam tahun lebih muda.

Saban malam, pasien itu berteriak kesakitan. “Heboh pokoknya, saya jadi tidak kesepian,” kelakar Handoko.

Handoko berpikir, kondisi yang harus dia alami di ruangan isolasi itu sudah terlanjur buruk. Jadi dia lebih memilih untuk menyamankan diri.

Tak seperti pasien itu, Handoko lebih beruntung. Hasil tes membuktikan dia negatif dari Covid-19. Seusai delapan hari diisolasi di RS Persahabatan, Handoko bisa pulang ke rumah dan menjalani karantina mandiri selama 14 hari.

“Lebih lega, meski tetap tidak bisa memeluk cucu. Saya hanya boleh melihatnya dari jauh,” kata Handoko.

Handoko memang tinggal terpisah dari anak dan cucunya. Saban malam, Handoko melepas kerinduan kepada anak cucu itu dengan berkomunikasi lewat video conference.

“Rasa kangen jadi sedikit terobati,” kata dia.

Rabu ini adalah hari pertama karantina mandiri Handoko rampung. Handoko lega, dia sudah dapat berinteraksi kembali dengan keluarga.

Meski kini dia tak bisa lagi berpraktik, hingga wabah ini rampung. Sebab Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) mengimbau agar dokter paru yang berusia di atas 65 tahun tidak lagi mengurusi pasien Covid-19.

Perjuangan belum usai

Handoko mengatakan perjuangan untuk melawan wabah itu belum usai, meski kini dirinya telah kembali pulih. Di luar sana, jumlah pasien terus bertambah.

Catatan pemerintah, hingga Rabu terdapat 2.956 kasus positif Covid-19. Sebanyak 240 pasien di antaranya meninggal, dan 222 lainnya sembuh.

Handoko menyayangkan, pemerintah tak bisa menjamin ketersediaan APD untuk pekerja medis di garis terdepan. Sejumlah pekerja medis malah harus membeli sendiri APD itu dengan harga berlipat.

“Ibaratnya mereka maju ke medan perang cuma pakai bambu runcing, sementara virusnya mematikan, tidak seimbang,” kata Handoko.

Handoko juga mengkritisi soal penelusuran kasus pasien yang tidak tuntas. Makanya, jumlah pasien terus bertambah, sementara ada banyak kasus infeksi Covid-19 yang tanpa gejala.

Jika terus begini, imbuh Handoko, Indonesia akan lebih lama menghadapi pandemi Covid-19. Sementara puluhan pekerja medis harus meregang nyawa.

Apalagi musim mudik menanti, seiring lebaran menjelang. Perantau di kota akan kembali ke kampung halaman, membawa oleh-oleh berikut virus yang melekat.

“Setelah itu jumlah pasien akan melonjak,” ujar Handoko.

Handoko merumuskan 3T untuk menangani epidemi Covid-19: tracing atau penelusuran, test, dan treat atau penanganan.

Pemerintah, kata Handoko, harus menemukan sebanyak mungkin potensi pasien Covid-19, mengetesnya, dan merawat mereka dengan obat yang ada.

“Ini tidak boleh dipandang enteng, virus ini jahat,” kata Handoko.

Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.
Topik terkait
Bu haberi paylaşın