Budaya, Nasional

Pengalaman WNI di negara karantina: Liputan hingga menggalang dana

Di beberapa negara yang dikarantina, mahasiswa Indonesia mencoba tetap bertahan, termasuk membuat dapur umum

Hayati Nupus, Pizaro Gozali Idrus  | 02.04.2020 - Update : 03.04.2020
Pengalaman WNI di negara karantina: Liputan hingga menggalang dana Rieska Wulandari, WNI yang tinggal di Italia. (Foto Dok Rieska - Anadolu Agency)

Jakarta Raya

JAKARTA

Sejak pemerintah Italia memberlakukan karantina wilayah untuk mencegah penyebaran Covid-19 pada 10 Maret lalu, Rieska Wulandari, WNI yang tinggal di Milan, tak bisa bepergian kemana pun.

Pemerintah setempat mengharuskan setiap warga yang tinggal di Italia untuk tetap berada di rumah. Aktivitas bisnis dan ritel pun wajib tutup, kecuali untuk penjualan barang kebutuhan pokok dan obat-obatan.

“Ini pengalaman baru bagi saya, sebelumnya hanya tahu dari sejarah bahwa Milan pernah dikarantina,” ujar Rieska, Kamis, kepada Anadolu Agency.

Liputan di tengah ancaman Covid-19 di Italia

Rieska menuturkan bahwa pemerintah Italia hanya mengizinkan warga keluar rumah untuk alasan tertentu, terkait kesehatan, belanja kebutuhan pokok dan farmasi, atau bekerja di sektor yang harus tetap berfungsi meski sedang dikarantina. Seperti sektor logistik, pengiriman barang, dan kesehatan.

Seperti warga Italia lainnya, Rieska dan suami, harus bekerja dari rumah. Begitu pula dengan kedua anaknya, belajar dari rumah.

Sebisa mungkin, jurnalis salah satu televisi di Indonesia ini memproduksi berita dari rumah. Dia mewawancarai narasumber lewat telepon atau video call. Sesekali dia mengikuti konferensi pers soal kondisi terkini Covid-19 di Italia secara online, yang diinisiasi oleh asosiasi jurnalis.

Meski begitu, kadang-kadang Rieska tetap harus turun ke lapangan untuk mengambil gambar.

“Liputan di luar harus selektif, karena angka yang terinfeksi masih tinggi, tidak bisa sembarangan, saya harus hati-hati,” papar Rieska.

Italia memutuskan untuk mengkarantina wilayahnya ketika kasus Covid-19 di negara itu meningkat menjadi 9.172, dengan 463 pasien meninggal. Di Italia, jumlah lansia lebih banyak dan mereka aktif secara sosial.

“Mereka sering berkumpul, sehingga penyebaran lebih cepat, selain karena imunitas mereka lebih lemah dan memiliki penyakit-penyakit tertentu,” jelas Rieska.

Italia juga mencatat jumlah kasus tertinggi. Pada Rabu, ada 4.782 kasus baru dengan total menjadi 110.574.

Sedang pasien meninggal pada hari yang sama adalah 727 orang, sehingga total 13.155 kematian sejak 21 Februari 2020. Jumlah ini lebih tinggi ketimbang China, negara awal yang menjadi pusat epidemi, dengan 3.193 kematian.

Namun Rieska bersyukur, dia menghadapi peristiwa menegangkan ini di usia muda, ketika tubuhnya masih sehat dan memiliki imunitas tinggi.

“Kami tetap dapat beraktivitas meski di dalam rumah. Sekarang ini fokus kami adalah menjaga diri dan keluarga agar tetap sehat, tidak terkontaminasi, dan tak menjadi carrier [penyebar penyakit] bagi orang lain,” urai dia.

Senin lalu, Italia memperpanjang masa karantina yang harusnya rampung Jumat ini menjadi 13 April.

Galang donasi di Malaysia

Seperti Rieska, Hardjito juga tinggal di negara yang menetapkan karantina wilayah karena Covid-19, yaitu Malaysia.

Negeri jiran itu resmi menetapkan Perintah Kawalan Pergerakan atau Movement Control Order (MCO) sejak 18 Maret lalu. Mereka yang melanggar aturan karantina, terancam pidana dua tahun atau denda RM200 atau sekitar Rp700.000.

Hardjito menuturkan bahwa pekerja migran Indonesia yang berada di Malaysia terkena dampak buruk atas karantina itu. Ada banyak pekerja migran yang mengalami kondisi keuangan menipis karena tidak memperoleh penghasilan selama masa karantina.

“Mereka mengirim foto bersama anaknya yang kekurangan makan,” ujar laki-laki yang berasal dari Jawa Tengah ini kepada Anadolu Agency.

Bersama teman-teman, jurnalis salah satu media asing ini menggalang dana bantuan untuk meringankan para buruh migran Indonesia. Setiap orang dapat mendonasikan minimal 30 ringgit atau sekitar Rp115 ribu.

“Kami tergabung dalam satu induk ormas-ormas yang diinisiasi oleh Pensosbud [Penerangan, Sosial, dan Budaya] KBRI Kuala Lumpur, ada belasan ormas yang membantu,” terang Hardjito.

Kerja keras itu berbuah hasil tak sedikit. Hingga kini Hardjito bersama para WNI di Malaysia telah mengumpulkan RM17.000 atau sekitar Rp60 juta.

“Dana itu kami bagikan kepada buruh migran yang pekerjaannya serabutan,” ujar pria berusia 43 tahun ini.

Penyaluran ini, kata Hardjito, mencakup sejumlah wilayah Malaysia, antara lain Bandar Baru Ampang, Kuantan, Port Dickson, Selayang, Pandan Jaya, Sentul, Serdang, dan lain sebagainya.

Berbekal uang yang ada, kata Hardjito, para pekerja dapat membeli bahan pokok agar mereka dapat bertahan di tengah situasi.

Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia pada 2018 mencatat Malaysia merupakan negara tujuan utama TKI, yaitu mencapai 90.671 pekerja atau hampir sepertiga dari total TKI yang bekerja di luar negeri.

Sedangkan Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) mencatat sebanyak 11.566 pekerja migran Indonesia di Malaysia yang pulang ke tanah air akibat wabah Covid-19.

Hardjito mengatakan walaupun dirinya berprofesi jurnalis, pikirannya tetap terbagi untuk membantu para pekerja migran agar tetap mendapatkan keperluan sehari-sehari di tengah wabah Covid-19.

“Saya konsentrasi ke mereka. Mereka di rumah tidak bekerja,” kata Hardjito.

Dapur bersama mahasiswa Indonesia di Wuhan

Wilayah lain yang sempat menghadapi karantina adalah Kota Wuhan, Provinsi Hubei, China, yang pertama kali menjadi episenter Covid-19.

Hasan Hidayat, 23 tahun, warga Ciputat, Tangerang, yang berkuliah di program studi Administrasi Bisnis Wuhan University of Technology mengatakan mahasiswa Indonesia yang ada di Wuhan dilarang keluar asrama dan harus menimbun makanan demi bisa bertahan hidup.

Sejumlah mahasiswa membuat dapur bersama untuk memenuhi kebutuhan penghuni asrama.

“Kondisi psikis teman-teman berbeda, ada yang mentalnya kuat, ada yang khawatir,” tutur Hasan.

Sejumlah kampus turut mendukung agar mahasiswa internasional tak turut terinfeksi. Ada kampus yang rutin mengirimkan masker setiap hari ke asrama tiap mahasiswa.

Ada pula kampus yang rajin mendistribusikan makanan ke asrama-asrama. Kampus tertentu memberikan informasi jadwal toko logistik buka.

Ketua PPIT Wuhan Nur Musyafak mengatakan saat itu tercatat ada 245 WNI di Provinsi Hubei. Mereka tersebar di Wuhan, Xianning, Huangshi, Jingzhou, Enshi, Yichang dan Songzi.

Kini, sebagian besar mahasiswa Indonesia di Hubei telah kembali ke tanah air. Sebelum kembali ke rumah, mereka telah menjalani masa karantina selama dua pekan di Natuna.

Pemerintah China akan mencabut masa karantina di Wuhan pada 8 April esok. Sejak beberapa waktu lalu, tak lagi ada kasus harian domestik infeksi Covid-19 yang muncul di China.

Semoga kabar baik itu segera menyusul pula di negara-negara lainnya.

Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.
Topik terkait
Bu haberi paylaşın