Regional

Aktivis kembali desak pemerintah Myanmar cabut blokir internet

Pemadaman internet melanggar hak asasi manusia dan berdampak buruk secara ekonomi serta sosial bagi konstituen, ujar anggota Partai Arakan Nasional

Hayatı Nupus  | 26.12.2019 - Update : 27.12.2019
Aktivis kembali desak pemerintah Myanmar cabut blokir internet Ilustrasi. (Foto file-Anadolu Agency)

Jakarta Raya

JAKARTA 

Sekitar 50 aktivis berunjuk rasa di Taman Mahabandoola, Yangon, Myanmar, menuntut dicabutnya blokir internet di utara Negara Bagian Rakhine yang sudah berlangsung selama enam bulan.

Anggota Partai Arakan Nasional (ANP) dari Majelis Rendah untuk Mrauk-U, U Oo Hla Saw, yang turut dalam demonstrasi tersebut mengatakan bahwa pemadaman internet melanggar hak asasi manusia dan berdampak buruk secara ekonomi serta sosial bagi konstituennya.

“Burma [Myanmar] berada dalam transisi demokratis, tapi kita masih tidak dapat sepenuhnya menikmati hak-hak demokratis itu, terutama orang-orang Rakhine,” ujar U Oo Hla Saw, kutip Myanmar Times.

Warga Rakhine, lanjut U Oo Hla Saw, mengalami kekerasan komunal, konflik militer, sekaligus tak dapat mengakses internet seperti warga Myanmar lainnya.

“Ini tidak adil,” tambah U Oo Hla Saw.

Demonstran lainnya, Ma Thinzar Shunlei Yi, mengatakan pemblokiran itu adalah “alarm jelas” bagi konsumen dan investor ekonomi digital Myanmar, karena pemerintah bisa menarik akses “kapan saja dan dengan alasan berbeda.”

“Kalangan bisnis, masyarakat sipil dan media memiliki tanggung jawab untuk mendorong pemerintah mencabut larangan internet dan memastikan ini tak akan terjadi lagi di Myanmar,” kata dia.

Pemblokiran internet di Rakhine yang hingga enam bulan adalah periode terpanjang sedunia.

Pemerintah Myanmar memblokir internet sebagai cara untuk menangani konflik etnis di negaranya.

Hingga saat ini, Pemerintah Myanmar belum membuat pengumuman apa pun untuk menanggapi seruan publik agar segera memulihkan koneksi internet di empat kota kecil di Rakhina, yaitu Ponnagyun, Mrauk-U, Kyauk Daw dan Minbya.

“Hari ini Rakhine, besok bisa jadi Shan, Kachin, atau bahkan ketika ada protes di Yangon,” ujar Direktur Free Expression Myanmar Ma Yin Yadanar Thein, beberapa waktu lalu.

Sabtu kemarin, 20 organisasi masyarakat sipil juga menyerukan pernyataan bersama yang mengutuk pemblokiran itu.

Menurut mereka, alasan pemerintah soal keamanan nasional tidak dapat dibenarkan dan “tak proporsional”, bahkan memperparah konflik.

“Meski ada kecaman global, termasuk dari PBB, pemerintah tetap tak memulihkan akses internet,” ujar koalisi organisasi masyarakat sipil, di antaranya Organisasi Aktivis Kebebasan Berekspresi (ATHAN), Myan ICT for Development Organization (MIDO), Progressive Voice, dan Jaringan Generasi Baru Rakhine Youth.

November lalu, PBB bergabung dengan seruan kelompok itu dan menyebutnya “hambatan signifikan” bagi pekerjaan dan komunikasi di wilayah itu.

Pemblokiran layanan internet itu dilakukan mulai 21 Juni lalu dan tanpa batas waktu.

Pemerintah meminta empat operator telekomunikasi dengan alasan demi “menjaga stabilitas, hukum dan ketertiban di daerah-daerah ini.”

Juli lalu, anggota parlemen Kota Rathedaung Daw Khin Saw Wai mengajukan mosi darurat untuk memulihkan layanan internet namun ditolak pembicara parlemen.

Pemblokiran itu mengganggu mata pencaharian, mengancam keselamatan masyarakat dan memperburuk kemanusiaan.

Sekaligus mempersulit akses bantuan pengungsi, mengganggu sistem pembayaran digital, bahkan investasi.

Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.