PSBB sarat kompromi, bisakah landaikan kurva kasus Covid-19?
Epidemiolog Griffith University, Dicky Budiman menuturkan kebijakan PSBB kali ini sarat dengan kompromi terhadap beberapa sektor ekonomi yang diizinkan tetap beroperasi

Jakarta Raya
JAKARTA
Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) kembali berlaku di Jakarta mulai hari ini, Senin, setelah laju penularan Covid-19 meningkat signifikan dalam dua bulan terakhir.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah meminta agar kantor-kantor memaksimalkan sistem kerja dari rumah dan hanya mengizinkan karyawan yang masuk sebanyak maksimal 25 persen.
Tempat wisata, tempat hiburan, dan kegiatan publik dilarang. Sedangkan tempat ibadah hanya boleh dibuka untuk warga setempat.
Seorang karyawan swasta di Jakarta, Filani Olyvia, 28, mengatakan kantornya kembali menerapkan sistem bekerja dari rumah setelah pemerintah mengumumkan PSBB.
“Yang tetap bekerja dari kantor hanya para head dan beberapa senior,” kata Filani kepada Anadolu Agency.
Filani menuturkan PSBB setidaknya membuat dia bisa bekerja lebih nyaman karena tidak bertemu orang banyak atau menggunakan transportasi umum di tengah meningkatnya kasus Covid-19 di ibu kota.
“Dengan enggak ke kantor, jadi enggak perlu pakai masker terlalu sering atau sering semprot desinfektan karena emang enggak terpapar apa-apa,” ujar dia.
Meski demikian, Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Sambodo Purnomo Yogo mengatakan tidak terlihat perubahan signifikan dari arus lali lintas ibu kota pada hari pertama PSBB.
Sambodo mengatakan pada hari pertama PSBB ruas jalan protokol ibu kota lebih padat oleh kendaraan pribadi jika dibandingkan dengan pekan lalu karena kebijakan ganjil-genap plat nomor kendaraan ditiadakan.
“Ganjil genap tidak diberlakukan otomatis Jalan Sudirman-Thamrin lebih padat, tapi ini kan baru hari pertama PSBB, kita lihat perkembangannya,” kata Sambodo
Sebaliknya, PT Kereta Commuter Indonesia (KCI) selaku operator KRL melaporkan jumlah penumpang mereka menurun 19 persen dibandingkan Senin pekan lalu.
Penurunan jumlah penumpang terlihat di Stasiun Bogor dan Stasiun Bekasi yang biasanya menjadi jalur terpadat pengguna KRL menuju Jakarta.
Fasilitas kesehatan terancam kolaps
Epidemiolog dari Griffith University Australia, Dicky Budiman mengatakan Jakarta sangat membutuhkan penerapan PSBB yang efektif jika dilihat dari indikator epidemiologi belakangan ini.
Jakarta saat ini memiliki 12 ribu kasus aktif, persentase kasus positif (positivity rate) sebesar 15 persen pada sepekan terakhir, dan 17 persen dari total kasus kematian di ibu kota terjadi pada September.
Sementara itu, tempat tidur di ruang isolasi di Jakarta telah terisi 78 persen dan ruang ICU terisi 85 persen pada sepekan terakhir.
Fasilitas kesehatan di Jakarta terancam kolaps pada pertengahan September jika tidak ada pembatasan kegiatan masyarakat.
“Indikator-indikator itu adalah argumen yang sangat kuat untuk kembali menerapkan PSBB,” kata Dicky, kepada Anadolu Agency.
Dicky menyarankan agar PSBB dilakukan setidaknya selama satu bulan untuk memberi napas bagi tenaga kesehatan.
Selain terancam kolaps, jumlah dokter dan tenaga medis di Indonesia saat ini terus berkurang setelah 115 dokter meninggal hingga Senin. Sebanyak 15 orang di antaranya berada di Jakarta.
Juru bicara Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Halik Malik menuturkan ada satu hingga dua dokter yang meninggal akibat Covid-19 dalam sebulan terakhir.
Situasi ini mengakibatkan beban fasilitas kesehatan bertambah berat di tengah berkurangnya jumlah tenaga medis dan meningkatnya jumlah kasus.
“Akibatnya sebagian dokter terpaksa bekerja overload dan overtime, kelelahan di tengah minimnya perlindungan,” jelas Halik.
Indonesia merupakan negara dengan rasio dokter terendah kedua di Asia Tenggara, yakni 0,4 dokter per 1.000 penduduk berdasarkan data Bank Dunia pada 2018.
Kehilangan 115 dokter sama dengan hilangnya akses 287.500 penduduk terhadap dokter.
PSBB sarat kompromi
Epidemiolog Dicky Budiman menuturkan kebijakan PSBB kali ini sarat dengan kompromi terhadap beberapa sektor ekonomi yang diizinkan tetap beroperasi.
Salah satunya nampak dari aturan bahwa pusat perbelanjaan (mal) masih boleh buka dengan kapasitas maksimal 50 persen, sedangkan pada Mei lalu mal tidak diizinkan untuk buka.
Kantor juga masih dibolehkan buka dengan kapasitas maksimal 25 persen, sedangkan pada PSBB fase pertama dulu, hanya 11 sektor esensial yang boleh beraktivitas.
“Dengan kebijakan yang tidak sekeras yang direncanakan, PSBB ini seperti kompromi antara kesehatan dan ekonomi,” kata Dicky.
Dia menilai aturan PSBB yang diterapkan dan durasi yang ditetapkan selama dua minggu tidak cukup memadai untuk melandaikan kurva.
Pemerintah masih memiliki pekerjaan rumah untuk melakukan penelusuran kontak terhadap sumber penularan di masyarakat.
Di sisi lain, Dicky juga meminta masyarakat mematuhi aturan dan protokol kesehatan untuk mengurangi risiko penularan.
“Jangan sampai ongkos ekonomi sosial yang dikeluarkan dua minggu ini tidak efektif karena banyak yang tidak patuh,” lanjut dia.
Sebelumnya, Menteri Perekonomian Airlangga Hartanto mengatakan keputusan Gubernur Anies Baswedan untuk menerapkan PSBB total telah berdampak pada turunnya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sebesar 5 persen.
Airlangga juga sempat mengatakan bahwa tidak ada fasilitas kesehatan yang terbatas dan pemerintah memiliki dana yang cukup untuk menambah kapasitas.
Pemerintah pusat kemudian menggelar serangkaian rapat dengan Gubernur Anies Baswedan dan beberapa kepala daerah hingga akhirnya PSBB yang diterapkan tidak seketat Mei lalu.
Tak mengherankan, IHSG dibuka menguat 43,31 poin atau 0,86 persen ke posisi 5.060,02 pada hari pertama PSBB berlaku kembali.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan kebijakan PSBB total justru diperlukan untuk memberikan kepastian ekonomi yang lebih konsisten.
Menurut Tauhid, kontraksi ekonomi pada kuartal ketiga 2020 tidak terhindarkan karena Jakarta menyumpang porsi 17 persen terhadap angka nasional.
Namun jika PSBB total tidak diterapkan, kasus Covid-19 yang semakin meningkat justru bisa menyebabkan pemulihan ekonomi menjadi lebih lama.
Krisis kesehatan harus diselesaikan lebih dulu agar orang aman untuk beraktivitas,” kata dia.
Sebagai konsekuensinya, Tauhid mengingatkan agar pemerintah memastikan masyarakat dan pelaku usaha mendapatkan bantuan agar keseimbangan antara ekonomi dan kesehatan terjaga.
Sementara itu, ekonom Indef lainnya Bhima Yudhistira senada bahwa PSBB kali ini pasti akan berdampak lebih negatif pada perekonomian bila dibandingkan dengan PSBB sebelumnya.
Dia mengatakan banyak pekerja di Jakarta berasal dari luar Jakarta, sehingga dengan adanya pembatasan ini akan membuat pertumbuhan konsumsi rumah tangga terkontraksi.
“Yang lebih mendesak adalah upaya memaksimalkan PSBB di Jakarta dengan disiplin tanpa pandang bulu,” ungkap Bhima.
Dia beranggapan apabila penularan penyakit bisa ditekan, maka masyarakat akan yakin untuk berbelanja lagi.
“Momentum natal dan tahun baru di akhir kuartal keempat jangan sampai terlewat untuk pemulihan, dengan syarat PSBB kali ini berhasil menekan penularan,” kata Tauhid.