Nasional

KPAI: Situasi perlindungan anak pada 2019 belum membaik

Ada 4.369 kasus pelanggaran hak anak dari hasil pengawasan dan pengaduan yang diterima KPAI sepanjang 2019

Nicky Aulia Widadio  | 18.02.2020 - Update : 19.02.2020
KPAI: Situasi perlindungan anak pada 2019 belum membaik Anak-anak korban tsunami Palu, Sulawesi Tengah mengunjungi sisa-sisa bangunan yang hancur karena bencana itu. (Anton Raharjo - Anadolu Agency)

Jakarta Raya

JAKARTA

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengatakan situasi perlindungan anak di Indonesia belum membaik pada 2019.

Ketua KPAI Susanto mengatakan ada 4.369 kasus pelanggaran hak anak dari hasil pengawasan dan pengaduan yang diterima lembaga tersebut.

Secara kuantitas, jumlah kasus menurun sebesar 5,5 persen dibandingkan 2018 lalu sebanyak 4.885 kasus.

Data menunjukkan masih ada anak Indonesia yang berhadapan dengan hukum (2.685 kasus), menjadi korban pornografi dan cyber crime (1.332 kasus), serta trafficking dan eksploitasi (573 kasus).

Selain itu, anak-anak Indonesia juga masih berhadapan dengan pelanggaran hak pengasuhan keluarga, hak pendidikan, kesehatan dan narkotika, pelanggaran hak agama dan budaya, serta dalam kondisi darurat.

Di tengah situasi itu, kajian KPAI pada 2019 terhadap 119 responden di 23 provinsi menunjukkan bahwa hanya 48,3 persen hak rehabilitasi anak yang tuntas sehingga kualitas perlindungan anak belum optimal.

“Proses rehabilitasi tidak dapat dilaksanakan secara tuntas karena faktor korban pindah, keluarga korban menolak, dan anggaran lembaga (rehabilitasi) terbatas,” kata Susanto melalui siaran pers, Selasa.

Proses rehabilitasi anak ternyata juga memiliki batas waktu sehingga ketika tenggat itu habis, lembaga rehabilitasi akan mengembalikan korban kepada orang tua meski prosesnya belum tuntas.

KPAI menilai pemerintah masih memiliki pekerjaan rumah untuk dijadikan prioritas dalam program perlindungan anak 2020.

Pertama, memastikan perlindungan anak sejalan dengan hak dan kemerdekaan dalam mengenyam pendidikan di sekolah.

“Mengingat kasus kekerasan dan bullying di sekolah masih menjadi persoalan serius maka integrasi perlindungan anak perlu dilakukan,” kata Susanto.

KPAI juga menilai pentingnya pencegahan perkawinan anak lewat pengawasan yang efektif.

Pencegahan perkawinan anak telah didukung dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 yang menetapkan batas minimal usia perkawinan anak menjadi 19 tahun.

Namun data dari Mahkamah Agung menunjukkan bahwa mayoritas perkawinan terjadi di luar hukum atau tanpa dispensasi pengadilan sehingga pengawasannya lebih sulit dilakukan.

Data Mahkamah Agung menunjukkan hanya 13.880 perkara dispensasi kawin yang diajukan ke Pengadilan Agama pada 2018. Padahal, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ada 1,2 juta perkawinan anak pada tahun yang sama.

Isu lain yang dinilai krusial adalah perlindungan anak berbasis siber yang jumlahnya terus meningkat dan semakin kompleks.

Susanto mengatakan perlu ada pengaturan penggunaan gawai di lingkungan pendidikan.

Selain itu, KPAI meminta pemerintah mengawasi anak dari potensi menjadi korban perdagangan orang (human trafficking) serta infiltrasi radikalisme terorisme.

Pasalnya, modus indoktrinasi jaringan terorisme semakin sulit terdeteksi dengan pola-pola siber.

“Sementara itu proses pengembalian anak kepada lingkungan masih memiliki masalah pada stigma masyarakat dan keluarga terhadap anak,” tutur Susanto.

Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.