Nasional

Menunggu implementasi hukuman kebiri pertama di Indonesia

IDI menolak menjadi eksekutor kebiri kimia, sementara Komnas Perlindungan Anak menilai kekerasan seksual pada anak adalah kejahatan kemanusiaan yang pantas mendapat hukuman kebiri

Nicky Aulia Widadio  | 06.09.2019 - Update : 09.09.2019
Menunggu implementasi hukuman kebiri pertama di Indonesia Ilustrasi: Beberapa pil dan alat suntik terlihat di Ankara, Turki pada 14 November 2018. (Doğukan Keskinkılıç - Anadolu Agency)

Jakarta Raya

JAKARTA

Pengadilan Negeri Mojokerto telah menjatuhkan hukuman kebiri kimia terhadap Muhammad Aris, pelaku pemerkosaan sembilan orang anak.

Ini merupakan kali pertama lembaga peradilan di Indonesia menjatuhkan hukuman kebiri sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang perlindungan anak.

Muhammad Aris, 20, ditangkap pada 2018 setelah aksinya memerkosa seorang anak terekam CCTV. Aris kemudian diketahui pernah memerkosan sembilan orang anak.

Jaksa mulanya menuntut Aris dengan hukuman 17 tahun penjara dan denda Rp100 juta, namun hakim memvonis Aris selama 12 tahun penjara, denda Rp100 juta serta pidana tambahan berupa kebiri kimia.

Sampai saat ini kejaksaan belum bisa mengeksekusi hukuman kebiri kimia karena belum ada petunjuk teknis mengingat ini merupakan vonis kebiri kimia pertama di Indonesia.

Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejaksaan Tinggi Jawa Timur Richard Marpaung mengatakan hakim tentunya memiliki pertimbangan sendiri setelah melihat fakta-fakta persidangan hingga menjatuhkan hukuman kebiri kepada Aris.

Namun dia mengaku belum mengetahui bagaimana eksekusi kebiri kimia tersebut.

Apalagi Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang berkompeten dalam hal ini menolak terlibat dalam eksekusi hukuman kebiri kimia karena bertentangan dengan Kode Etik Profesi Dokter.

Aris saat ini baru menjalani hukuman penjara sesuai pidana pokok yang telah dijatuhkan hakim. Kebiri kimia terhadap Aris baru akan dilaksanakan 12 tahun lagi, setelah masa tahanannya selesai.

“Kebiri ini merupakan hukuman pidana tambahan, yang penting dia menjalankan dulu pidana pokok dulu sambil kami meminta petunjuk teknis dari Kejaksaan Agung karena ini pertama kalinya,” ujar Richard kepada Anadolu Agency, Selasa.

Sementara itu, Kejaksaan Agung menyatakan akan berkoordinasi dengan Kementerian Kesehatan dan IDI tentang bagaimana eksekusi kebiri kimia dilaksanakan. Sebab vonis ini telah berkekuatan hukum tetap atau inkrah dan mau tidak mau mesti dilaksanakan.

“Saat ini memang belum bisa dilaksanakan, tapi tunggu saja petunjuk teknisnya,” tutur Kepala Pusat Penerangan dan Hukum Kejaksaan Agung, Mukri.

Kebiri kimia sebagai “tindakan pencegahan”

Di dalam UU 17/2016, kebiri kimia disebutkan sebagai salah satu tindakan pencegahan kekerasan seksual terhadap anak selain pemasangan alat pendeteksi elektronik dan rehabilitasi bagi pelaku.

UU tersebut mengatur bahwa tindakan kebiri dapat dikenakan terhadap pelaku pemerkosaan yang menimbulkan korban lebih dari satu orang.

Jika mengacu pada poin tersebut, maka pelaku pemerkosaan seperti Aris masuk ke dalam kategori yang bisa dikenakan tindakan kebiri karena korbannya berjumlah sembilan anak.

UU itu kemudian juga mengatur bahwa kebiri kimia dilakukan selama dua tahun setelah terpidana menjalani hukuman pokok.

Sekretaris Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan (KPPPA) Anak Pribudiarta Nur Sitepu mengatakan kebiri kimia menurut pandangan pemerintah adalah bagian dari rehabilitasi terhadap pelaku.

Hal penting yang saat ini perlu dilakukan, lanjut dia, adalah menyiapkan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) terkait bagaimana tindakan kebiri kimia dilakukan.

Ada sejumlah indikator yang mesti diperhatikan ketika kebiri dilakukan seperti kondisi biologis, psikologis dan psikososial dari si pelaku.

“Kalau sudah memenuhi semua faktor itu, sebetulnya ini kan bagian dari rehabilitasi terhadap pelaku,” kata dia.

Meski menimbulkan pro dan kontra, Pribudiarta berkukuh bahwa kebiri kimia akan menimbulkan efek jera terhadap pelaku.

“Kebiri kimia itu efektif menimbulkan ketakutan kepada pelaku supaya masyarakat tahu hati-hati kalau melakukan pelecehan seksual terhadap anak,” ujar Pribudiarta.

Namun penolakan untuk terlibat datang dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebagai pihak yang paling berkompeten secara medis dalam eksekusi kebiri kimia.

KPPPA sendiri tidak memusingkan penolakan oleh IDI untuk terlibat dalam eksekusi kebiri kimia.

“Ini kan tindakan medis untuk penegakan hukum dan sudah menjadi Undang-undang. Kan kita di negara hukum, harus patuh hukum,” tutur Pribudiarta.

Penolakan ini sebetulnya telah disuarakan IDI sejak 2016 lalu, ketika Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU terkait kebiri kimia. Sikap IDI hingga kini belum berubah.

Ketua Majelis Pengembangan Pelayanan Keprofesian (MPPK) IDI, dr Pudjo Hartono mengatakan eksekusi kebiri kimia bertentangan dengan kode etik kedokteran karena diberikan sebagai hukuman.

Jika kebiri kimia itu dilakukan sebagai tindakan rehabilitasi dan didasari oleh kemauan pelaku, maka IDI bersedia terlibat.

“Dokter itu kan mengobati. Kalau sebagai pasien enggak masalah, tapi ketika dihukum kode etik menekan kita untuk tidak melakukan itu,” kata Pudjo kepada Anadolu.

Menurut Pudjo, meminta dokter mengeksekusi kebiri kimia sama seperti meminta dokter menganiaya seseorang, juga seperti melawan kekejaman dengan kekejaman lainnya.

“Apalagi dokter,yang berurusan dengan nyawa semacam melakukan penganiayaan, sumpah dokter saya kira kita menghormati kehidupan insani,” ujar dia.

Pudjo menegaskan pada prinsipnya IDI sepakat agar pelaku kejahatan seksual terhadap anak dihukum seberat-beratnya.

Dalam pandangan dia, penerapan kebiri kimia belum tentu efektif tanpa assessment terhadap pelaku terutama terkait faktor-faktor yang memicu tindakan kriminal itu.

Kebiri kimia dilakukan dengan memberi obat yang dapat menekan hormon testosteron sehingga diharapkan gairah seksual menurun.

Pudjo menjelaskan kebiri kimia tidak bersifat permanen. Obat yang dapat menekan hormon testosteron itu diberikan secara berkala.

“Minum pil misalnya, setelah pil itu enggak diminum ya sudah kembali lagi. Atau pakai obat suntik misalnya, ada yang jangka waktunya sebulan, setelah itu hilang. atau setelah 3 bulan ya hilang,” jelas Pudjo.

Selain itu, hormon testosteron bukan satu-satunya faktor yang memunculkan dorongan seksual pada seseorang.

Kebiri kimia pun memiliki sejumlah efek samping seperti osteoporosis, anemia, hingga menurunnya kekuatan otot.

“Itu kan target organnya saja, katakan lah penis. Kalau penisnya tidak berfungsi, dia akan menderita tidak bisa melakukan apa-apa,” kata dia.

Sementara bentuk pelecehan seksual, tutur Pudjo, tidak melulu mesti dilakukan menggunakan alat kelamin.

“Kalau center di otaknya masih terobsesi dengan itu, atau mungkin karena digitukan malah dendam dan melampiaskan kan menjadi susah,” jelas Pudjo.

Tanpa kemauan dari si pelaku untuk berubah, maka kebiri kimia selama dua tahun menjadi tidak ada artinya.

Bertentangan dengan HAM

Kritik datang dari sejumlah pihak yang memandang vonis kebiri kimia justru tidak manusiawi meski telah berlandas pada Undang-undang.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menyatakan penerapan kebiri kimia seperti membalas kekejaman dengan kekejaman.

Amnesty sepakat bahwa pelaku kejahatan seksual terhadap anak harus dihukum seberat-beratnya, namun bukan berarti hukuman yang diberikan bersifat kejam, tidak manusiawi, merendahkan martabat dan melanggar hak asasi manusia.

“Otoritas di Indonesia harus mencari alternatif penghukuman lain untuk memerangi kejahatan seksual terhadap anak,” kata Usman.

Amnesty juga memahami bahwa pemerintah berupaya menunjukkan ketegasan dalam memerangi kejahatan seksual terhadap anak yang telah menjadi masalah serius lewat tindakan kebiri.

Kebiri kimia dipandang sebagai “cara instan” yang dipilih pemerintah alih-alih mereformasi instrumen hukum dan kebijakan terkait perlindungan anak.

Menurut Usman, salah satu cara membuat pelaku jera adalah dengan memenjara dalam waktu lama dan menyertakan pelaku dalam program-program penyadaran.

Pengamat hukum pidana dari Universitas Trisaki Abdul Fickar mengatakan mau tak mau vonis kebiri kimia terhadap Aris harus dilaksanakan karena telah berkekuatan hukum tetap.

Langkah ini dapat dikatakan progresif dari sudut pandang hukum, namun juga masih bisa ditafsirkan sebagai kekerasan fisik.

“Karena itu sejauh mungkin hukuman kebiri ini dihindari, lebih baik terpidana dihukum seumur hidup,” kata Fickar.

Kebiri kimia berpihak pada korban

Di sisi lain, Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) mendukung penerapan kebiri kimia terhadap Muh Aris dan pelaku kejahatan seksual lainnya.

Ketua Komnas PA Arist Merdeka Sirait mengatakan pihaknyalah yang mengusulkan ke Presiden Jokowi agar hukuman kebiri kimia diterapkan.

“Saya kira pertimbangan hakim sangat luar biasa, karena berpihak pada korban,” ujar Arist.

Dia menegaskan kejahatan yang dilakukan pelaku sendiri sangat tidak manusiawi, melanggar hak asasi anak, serta berdampak panjang bagi korban.

“Yang dilakukan pelaku adalah kejahatan kemanusiaan yang ada konsekuensinya. Konsekuensinya bisa dihukum kebiri, dihukum mati,” lanjut dia.

Arist menilai penolakan IDI tak perlu diributkan, sebab aturan hukumnya saja belum menyebut pihak yang menjadi eksekutor kebiri.

Begitu juga dengan pertanyaan-pertanyaan terkait efektivitas hukuman kebiri.

“Nanti kita lihat saja dulu. Kalau tidak efektif ya kita gugat Undang-undangnya. Untuk saat ini kita harus hormati putusan hakim,” kata Arist. 

Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.