Cerita miris nasib si Slow Loris
Perdagangan satwa liar membuat makhluk kecil pemalu ini harus menghadapi rentetan sakit yang berujung depresi atau mati

Jakarta Raya
Megiza Asmail
BOGOR, JAWA BARAT
Raut wajah Elsa tampak ketakutan saat penutup boks kontainer plastik berwarna oranye itu dibuka oleh petugas medis. Dia terpojok, bersamaan dengan anaknya yang berusaha menyelinap di balik lengannya.
Matanya yang bulat menatap lekat wajah-wajah manusia di atas kepalanya. Tak berdecit, tak berbunyi, Elsa pasrah diangkat keluar dari dalam boks.
Kedua tangannya berpegangan di atas kepalanya. Persis seperti manusia yang menyatakan menyerah saat sedang disergap.
Elsa pun tak berdaya ketika petugas memasukkan dia ke dalam sebuah tas kain berwarna hitam. Petugas medis menimbang bobot tubuh primata itu.
Terhitung, delapan bulan sudah dia tinggal di salah satu kandang rehabilitasi Yayasan International Animal Rescue Indonesia di Bogor. Rencananya pada akhir Januari 2018 Elsa akan dilepasliarkan.
Namun, untuk meyakinkan petugas bahwa dia sudah siap untuk kembali ke alam, Elsa harus mengikuti serangkaian pemeriksaan.
Ya, sejak berhasil diselamatkan dari tangan seorang bandar satwa liar di Manonjaya, Kabupaten Tasikmalaya pada awal April lalu, Elsa menjalani pemulihan di Bogor.
Kala itu, Bidang Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Wilayah III Ciamis dan Kepolisian Resor Tasikmalaya menemukan Elsa bersama dengan 10 kukang dewasa lainnya, satu kukang anak, dan satu kukang bayi. Also, anak Elsa, lahir beberapa hari sebelum aparat menyelamatkan mereka.
Usai ditimbang berat badannya, petugas kemudian membius Elsa. Tubuh kecilnya itu perlahan terkulai lemas.
Rontgen kemudian dilakukan untuk melihat organ dalam tubuh Elsa. Masih dalam keadaan lemas, dia dipindah ke meja pemeriksaan.
Sambil menunggu hasil rontgen, berturut-turut tim dokter hewan memeriksa bagian telinga, mulut, dan sekujur tubuh Elsa. Beberapa mili-liter darah Elsa juga disedot dengan jarum suntik.
Hasil mengejutkan pun terkuak saat hasil rontgen terpampang di lampu baca x-ray. Sebuah peluru ternyata bersarang di antara tulang ketiak Elsa.
Salah satu dokter hewan yang menangani satwa di Yayasan IAR Indonesia, Nur Purba Priambada mengatakan peluru tersebut sayangnya tidak dapat diangkat. Alasannya, jika dikeluarkan maka akan merusak organ vital Elsa.
Nur Purba berujar, peluru tersebut besar kemungkinan tertanam di tubuh Elsa karena para penembak liar yang beranggapan bahwa kukang adalah satwa yang punya tubuh kuat ketika menghadapi senapan angin.
“Bagi mereka (penembak liar) menembak kukang itu memuaskan karena harus berkali-kali baru kukang ini tewas. Tapi ini tidak benar dan sangat disayangkan jika berlatih menembak dengan menembakkan peluru ke satwa,” kata Nur Purba kepada Anadolu Agency.
Berawal dari gigi
Bicara soal pemeriksaan kesehatan yang dilakukan Yayasan IAR Indonesia terhadap kukang yang direhabilitasi ternyata tak sebatas masalah fisik ataupun pencukupan nutrisi satwa-satwa tersebut.
Perkara mental atau psikologis satu-satunya primata berbisa itu pun menjadi perawatan penting yang diberikan oleh para petugas satwa.
Telah diketahui bahwa hewan bernama ilmiah Nycticebus yang diselamatkan oleh aparat ini adalah hasil dari perdagangan gelap satwa liar.
Artinya, demi meyakinkan pembeli bahwa kukang yang dijual sudah jinak, para pedagang itu telah memotong gigi hewan-hewan mungil tersebut.
Padahal, rasa nyeri karena pemotongan gigi itu punya dampak besar pada psikologis kukang.
Stres yang berujung pada prilaku abnormal hingga bunuh diri menjadi efek terburuk dari perdagangan satwa yang masuk dalam kategori terancam punah (kukang Jawa) dan rentan punah (kukang Sumatra dan Kalimantan) oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN) ini.
Nur Purba memaparkan, gigi kukang yang dipotong dengan gunting kuku atau tang pemotong itu pertama akan membuat mereka stress karena kesulitan mencari makan ketika dilepasliarkan.
Belum lagi perkara pengandangan oleh si pemelihara yang sudah memicu stress yang lain bagi kukang.
Jika awalnya mereka terbiasa hidup bebas dan liar dan yang aktif di malam hari, namun karena dipelihara dan dimainkan oleh manusia di siang hari, tentu psikologis kukang akan berubah.
“Kondisi abnormal itu sebenarnya muncul semenjak dia dipelihara. Dia depresi. Karena awalnya liar, tahu-tahu ditangkap, ditaruh di kandang yang kadang itu adalah kandang burung. Badannya terpentok sana-sini. Makanya stress,” ujar Nur Purba.
Abnormal, imbuh dia, dapat dilihat ketika kukang sering mondar-mandir di dalam kandang, menggoyang-goyangkan kepala, menggesek-gesekan tubuh ke material kandang, atau bahkan mencabut bulu mereka sendiri.
“Atau karena biasa hidup sendirian terus kita kandangin di rehabilitasi dengan yang lain itu membuat mereka bingung, berantem, stress pun muncul karena enggak bisa menerima kehadiran individu lain,” jelas dia.
Dengan penyebab yang kompleks itu, Nur Purba menyebut, masalah perilaku dan kesehatan hingga rentan mati pun bakal membuntuti nasib hidup si kukang.
Dia pun mencontohkan, Yayasan IAR pernah menerima kukang depresi. Kala itu, kukang yang seharusnya aktif di kandang, tapi karena stress akhirnya lebih suka duduk lama di dalam kandang.
“Kemudian pantatnya infeksi hingga bolong, terus akhirnya dia semakin stress dan ada dari mereka yang bisa sampai menggigit tangan hingga hancur,” sebut Nur Purba.
Rehabilitasi demi menyulut naluri liar
Dengan berbagai latar belakang penyebab stress, ratusan kukang yang kini tinggal di Yayasan IAR Indonesia juga menjalani program pengayaan (enrichment). Harapannya, kukang-kukang dapat mengeluarkan sifat liar mereka kembali.
Bentuk pengayaan, kata Nur Purba, bisa bermacam-macam. Mulai dari pemasangan ranting-rantingan, membuat jalur dari karet ban, hingga pemberian makanan yang diberi dengan cara yang lebih rumit menjadi beberapa cara untuk memancing naluri alami kukang.
“Kalau di alam kan mereka cari serangga dengan ngulik-ngulik. Nah di sini kita kadang kasih amplop isinya buah-buahan. Kemudian satu kantong kertas itu diisi serangga,” jelas Nur Purba.
Selain mengajarkan motorik dan naluri mereka supaya kembali liar, imbuh Nur Purba, kegiatan seperti itu juga bisa mengisi waktu kukang-kukang tersebut.
Saat ini Yayasan IAR Indonesia sedang menyiapkan beberapa ekor kukang yang akan dilepasliarkan pada akhir Januari mendatang. Nur Purba berharap, kesehatan kukang kandidat rilis dapat stabil hingga tanggal yang sudah ditentukan.
Meski begitu, kata Nur Purba, bukan tidak mungkin kukang kandidat rilis batal untuk dilepasliarkan. Hal itu bisa terjadi jika kukang dianggap tidak mampu hidup mandiri di alam.
“Ada yang bertahun-tahun di kandang tidak dilepas karena giginya sudah habis. Artinya dia enggak punya pertahanan untuk dirinya lagi. Ya, kita sama saja membahayakan mereka kalau mereka dilepas dalam kondisi seperti itu,” tukas Nur Purba.
Menghitung nasib kukang dalam angka
Yayasan IAR Indonesia mencatat pada tahun 2016 pemajangan kukang di pasar mulai tertutup karena adanya kegiatan penindakan hukum terhadap pedagang. Namun, perdagangan online semakin berkembang.
Pada tahun yang sama sebanyak 625 individu kukang diperdagangkan oleh 50 grup jual beli hewan di media sosial facebook.
Sedangkan barang bukti penegakkan hukum yang didapat ada sebanyak 52 individu, dan hasil penyerahan pemelihara sebanyak 48 individu.
Dari hasil penelusuran, ditemukan bahwa 30 persen kukang akhirnya mati dalam proses perpindahan dari lokasi perburuan ke perdagangan atau pemelihara.
Artinya, sepanjang 2015-2016 ada 1698 individu kukang yang diambil paksa dari habitat dan menjadi korban perdagangan dana tau pemeliharaan.
Di pasar-pasar penjual kukang seperti Pasar Barito dan Pasar Pramuka ataupun online, rata-rata harga pasaran kukang dijual berkisar Rp 300ribu-Rp 400 ribu. Padahal, biaya rehabilitasi satu individu kukang setidaknya mencapai Rp. 20juta.
Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.