Aktivitas Gunung Anak Krakatau tak perlu dikhawatirkan
BMKG temukan dua retakan di lereng gunung yang dikhawatirkan akan longsor jika terkena getaran

Jakarta Raya
Muhammad Latief
JAKARTA
Pemerintah menyatakan tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari aktivitas vulkanik Gunung Anak Krakatau di Selat Sunda, termasuk tidak ada risiko terjadi tsunami.
Kepala Badan Geologi, Kementerian Energi Dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Rudy Suhendar mengatakan saat ini gunung tersebut masih dalam fase erupsi dan ditetapkan statusnya siaga.
Masih terekam kegempaan di stasiun seismik di Pulau Sertung berupa gempa-gempa letusan, embusan, dan tremor menerus dengan amplitudo maksimum dominan 7 milimeter (mm).
“Ada ancaman lontaran material letusan, sehingga direkomendasikan untuk tidak mendekat dalam radius 5 kilo meter dari kawah. Yaitu di dalam area yang dibatasi oleh Pulau Rakata, Pulau Sertung, Pulau Panjang,” ujar Rudi, dalam siaran persnya, Rabu.
Menurut Rudi, aktivitas vulkanik tersebut tidak menimbulkan potensi tsunami.
Menurut Rudi, potensi tsunami berkurang karena pada 26 Desember 2018 lalu, terjadi letusan besar yang menghancurkan seluruh puncak gunung. Sehingga gunung tersebut berkurang tingginya dari semula 338 meter berkurang hingga hanya lebih kurang 110 meter di atas permukaan laut.
“Runtuhnya seluruh puncak dan sebagian besar tubuh tersebut tidak menimbulkan tsunami,” ujar dia.
Sedangkan adanya retakan di lereng Gunung Krakatau menurut Rudi wajar sebagai sisa-sisa proses runtuhan letusan tersebut.
“Itu hal yang wajar di dalam letusan gunung api. Tidak perlu dikhawatirkan," tandas Rudy.
Sebelumnya diberitakan Badan Meteorologi, klimatologi, dan Geofisika ( BMKG) menemukan retakan baru di lereng Gunung Anak Krakatau.
Dari pantauan BMKG, gunung tersebut sudah landai dan terlihat asap mengepul dari bawah laut. Di bagian gunung yang tersisa, ada celah yang mengepul terus mengeluarkan asap.
Kepala BMKG Dwikorita khawatir karena kondisi bawah laut Gunung Anak Krakatau saat ini terdapat jurang di sisi barat hingga selatan. Jika ada getaran, maka bisa memicu longsoran ke jurang tersebut.
Menurut perhitungannya, badan gunung yang diduga akan longsor bervolume 67 juta kubik dengan panjang sekitar 1 kilometer.
Potensi tsunami susulan volume tersebut lebih kecil dari longsoran yang menyebabkan tsunami pada 22 Desember 2018 lalu yang sekitar 90 juta kibik volume longsoran.
Menurut Dwikorita, BMKG sudah memasang alat berupa sensor pemantau gelombang dan iklim. Sensor tersebut dipasang di Pulau Sebesi yang jaraknya cukup dekat dengan Gunung Anak Krakatau.
Alat tersebut akan bekerja memantau pergerakan gelombang dan cuaca yang disebabkan aktivitas Gunung Anak Krakatau. Jika ada gelombang yang mengalami fluktuasi tinggi, sensor akan mengirim sinyal ke pusat data yang terhubung.
Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.