Nasional

Ada PLTA, ekosistem Batang Toru terancam punah

Pembangunan PLTA ini berpotensi merusak ekosistem hutan dan merampas kehidupan warga sekitar

Hayati Nupus  | 21.09.2018 - Update : 21.09.2018
Ada PLTA, ekosistem Batang Toru terancam punah Direktur Eksekutif WALHI Sumatera Utara Dana Prima Tarigan memaparkan alasan mengapa pemerintah harus menghentikan pembangunan PLTA Batang Toru, di Jakarta, Kamis, 20 September 2018. (Hayati Nupus – Anadolu Agency)​

Jakarta Raya

Hayati Nupus

JAKARTA

Lembaga Swadaya Masyarakat Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sumatera Utara, mendesak pemerintah untuk menghentikan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batang Toru.

Direktur Eksekutif WALHI Sumatera Utara Dana Prima Tarigan mengatakan alih-alih menjadi solusi menuju energi berkelanjutan, pembangunan PLTA ini justru berpotensi merusak ekosistem hutan dan merampas kehidupan warga sekitar.

“Ini pembangkit hijau, tapi caranya kotor,” ujar Dana kepada Anadolu Agency di Jakarta, Kamis.

Dana menjelaskan tiga alasan mengapa pembangunan PLTA Batang Toru harus segera dihentikan. Pertama, bagi WALHI, Batang Toru tak sekadar hutan, melainkan rimba.

Rimba ini, kata Dana, menjadi surga bagi sederet flora dan fauna seperti harimau Sumatra, trenggiling, bahkan orangutan Tapanuli (Pongo tapanuliensis) yang baru ditemukan beberapa waktu lalu dan populasinya terancam punah.

Kedua, ujar Dana, terdapat sekitar 100.000 warga yang menggantungkan hidupnya dari Sungai Batang Toru. Mereka menggunakan air itu untuk kebutuhan sehari-hari seperti mencuci, memasak, menggerakkan alat transportasi, sumber irigasi sawah, sekaligus tempat hidupnya ikan-ikan yang nelayan tangkap sehari-hari.

Jika pembangunan PLTA ini berlanjut, tutur Dana, maka akan merusak ketersediaan air, menurunkan hasil produksi sawah dan nelayan, mengganggu akses transportasi sekaligus mengganggu sumber kehidupan warga setempat.

Ketiga, kata Dana, lokasi Batang Toru berdekatan dengan sesar besar Sumatra. Pembangunan PLTA di lokasi ini berpotensi memicu terjadinya bencana gempa. Catatan WALHI, gempa berkekuatan 6 SR pada 2008 lalu hanya berjarak 4,1 kilometer dari lokasi rencana pembuatan bendungan.

Apalagi, ungkap Dana, Batang Toru memiliki kemiringan terjal, dengan intensitas hujan dan kepekaan tanah terhadap erosi begitu tinggi. Wilayah semacam ini lebih cocok jika dijadikan hutan lindung.

“Jika bendungan ini jebol akibat gempa, akan terjadi bencana yang sangat merugikan,” ujar Dana.

Alternatif sumber daya lain

Rimba Batang Toru meliputi tiga kabupaten di Sumatera Utara, yaitu Tapanuli Tengah, Tapanuli Utara dan Tapanuli Selatan. Sungai Batang Toru berhulu di Tapanuli Utara, sedang lokasi pembangunan PLTA oleh PT North Sumatra Hydro Energy (NSHE) berada di Tapanuli Selatan.

Dengan kapasitas produksi hingga 510 mw, pemerintah berharap PLTA itu akan memenuhi target pembangunan sumber energi berkapasitas 35.000 mw.

Di hulu, ungkap Dana, NSHE akan membangun bendungan air tempat turbin dan pembangkit listrik beroperasi. Bendungan itu setinggi 72,5 meter untuk membuat waduk seluas 90 hektare.

PLTA ini akan beroperasi dengan sistem peaker, menurut Dana, yaitu hanya menyuplai listrik selama enam jam setiap harinya. Pada 18 jam sisanya, air yang dibendung akan dialirkan melalui sungai bawah tanah yang membentang dari hulu ke hilir.

“Saat PLTA beroperasi sawah akan kekeringan, setelah enam jam sawah masyarakat akan kebanjiran,” ujar dia.

Di atas aliran sungai bawah tanah itu, tambah Dana, di samping jalan akses sepanjang 50 kilometer, NSHE juga akan membangun transmisi listrik bertegangan tinggi yang akan mengalirkan listrik dari hulu ke hilir.

“Transmisi listrik bertegangan tinggi itu akan mengganggu kehidupan orangutan Tapanuli yang memang habitatnya di sekitar wilayah itu,” kata Dana.

Dana menuturkan jika sebelumnya proyek ini pernah menarik minat International Finance Corporation, sebuah sister organization Bank Dunia. Lembaga tersebut kemudian mundur pada 2015, sejak kajian lingkungan dan sosial dilakukan.

Namun proyek tetap berlanjut, ujar Dana, dengan duit pinjaman dari Bank of China. Kontrak pembangunan PLTA diberikan kepada BUMN Republik Rakyat China, yaitu Sinohydro.

Dana mafhum, Sumatera Utara kekurangan pasokan listrik. Sejumlah wilayah belum terakses listrik karena PLN enggan memasang transmisi ke lokasi itu. Saat ini kondisi listrik di Sumatera Utara surplus 15 persen berkat bantuan perusahaan Turki.

Sebetulnya, ujar Dana, Sumatera Utara memiliki beragam potensi pembangkit listrik ramah lingkungan, seperti angin, tenaga matahari, bahkan energi panas bumi.

“Kalau banyak potensi lain mengapa tidak itu saja yang dimaksimalkan,” kata dia.

Orangutan Tapanuli terancam punah

Ketua Forum Konservasi Orangutan Sumatera (FOKUS) Kusnadi Oldani mengatakan pembangunan PLTA ini berlokasi persis di habitat orangutan Tapanuli. Lokasi ini memiliki kepadatan orangutan paling tinggi di Batang Toru, 26-57 persen.

Kusnadi mengatakan habitat orangutan hanya berada di Indonesia dan Malaysia. Orangutan Tapanuli bahkan hanya berada di ekosistem Batang Toru.

Orangutan Tapanuli, tutur Kusnadi, baru ditemukan November 2017 lalu, dengan populasi yang amat terbatas, tak sampai 800 ekor.

Tanpa adanya PLTA pun, menurut Kusnadi, kehidupan orangutan Tapanuli terancam punah. Ini merupakan jenis orangutan yang paling lambat berkembang biak. Dengan amsa reproduksi di usia 15 tahun dan jarak kehamilan sekitar 8-9 tahun, artinya orangutan ini hanya akan beranak 2-3 kali dalam hidupnya.

“Statusnya kritis,” kata dia.

Selain itu, ujar Kusnadi, kehidupan orangutan Tapanuli amat bergantung pada hutan. Hutan menjadi habitat dan sumber makanan. Mereka tak bisa pula hidup tanpa pohon, sekaligus menghindari interaksi dengan manusia.

Saat ini, kata Kusnadi, populasi orangutan Tapanuli terbagi dalam tiga wilayah. Di Blok Barat, terdapat sekitar 600 ekor, Blok Timur, 160 ekor dan Sibualbuali 30 ekor. Pembangunan PLTA membelah Blok Timur dengan Blok Barat dan Sibualbuali.

Dengan habitat terisolasi dan polupasi terbatas itu, ujar Kusnadi, orangutan akan kawin sedarah. Dampak berikutnya, mereka akan melahirkan anak cacat dan tidak produktif.

“Tak sampai 9 tahun mereka akan punah,” kata dia.

Selain itu, ujar Kusnadi, sepanjang pembangunan PLTA, lalu lintas alat berat akan mengganggu kehidupan orangutan. Mereka pun terancam menjadi target perburuan, seiring beroperasinya PLTA.

Pegiat Walhi Golfrid Siregar mengatakan WALHI bersama 34 orang pengacara menggugat NSHE ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) 8 Agustus 2018 lalu. Dengan tuntutan dua hal, yaitu meminta pemerintah untuk menunda pembangunan PLTA yang sedang berjalan, sekaligus meminta pemerintah membatalkan pemberian izin pembangunan PLTA itu.

Golfrid menerangkan jika masyarakat menolak menjual lahannya ke perusahaan karena ganti rugi yang diberikan amat rendah, hanya sepertiga dari harga seharusnya. Namun mereka tak memiliki pilihan lain dengan adanya ancaman, jika menolak, uang ganti rugi akan dibayarkan lewat pengadilan.​

Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.
Topik terkait
Bu haberi paylaşın