Dunia

Pemerintah Gaza: Pembunuhan jurnalis Al Jazeera oleh Israel tahap awal dari pendudukan Gaza

Anas al-Sharif dan Mohamed Qraiqea termasuk di antara lima jurnalis Al Jazeera yang tewas dalam serangan di tenda dekat Kompleks Medis Al-Shifa di Gaza

Rania Abu Shamala, Betul Yilmaz  | 12.08.2025 - Update : 15.08.2025
Pemerintah Gaza: Pembunuhan jurnalis Al Jazeera oleh Israel tahap awal dari pendudukan Gaza

ISTANBUL

Pembunuhan lima wartawan oleh tentara Israel, termasuk koresponden Al Jazeera Anas al-Sharif dan Mohamed Qraiqea, merupakan awal dari rencana Israel untuk menduduki Kota Gaza sepenuhnya, kata Kantor Media Pemerintah Gaza pada hari Senin.

Koresponden Al Jazeera Anas al-Sharif dan Mohamed Qraiqea tewas pada hari Minggu, bersama dengan tiga jurnalis Al Jazeera lainnya, dalam serangan Israel yang menargetkan tenda jurnalis di dekat Rumah Sakit Al-Shifa di Kota Gaza barat, menurut Kantor Media Pemerintah Gaza.

"Penargetan jurnalis dan institusi media oleh pesawat tempur pendudukan (Israel) merupakan kejahatan perang yang bertujuan membungkam kebenaran dan menyembunyikan bukti genosida. Ini merupakan awal dari rencana kriminal pendudukan (Israel) untuk menutupi pembantaian masa lalu yang telah dilakukannya dan pembantaian di masa mendatang yang akan dilakukannya di Jalur Gaza," demikian pernyataan kantor media tersebut.

Pada Jumat lalu, Kabinet Keamanan Israel menyetujui rencana Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu untuk menduduki Kota Gaza sepenuhnya, yang memicu reaksi keras internasional dari pemerintah dan badan hak asasi manusia.

Saluran televisi yang berbasis di Qatar tersebut mengutip pernyataan direktur Kompleks Medis Al-Shifa di Gaza, yang mengatakan, "Koresponden Al Jazeera Anas al-Sharif dan Mohamed Qraiqea gugur dalam serangan Israel di tenda mereka," tanpa memberikan rincian lebih lanjut.

Jaringan Media Al Jazeera pada Senin pagi mengecam pembunuhan yang "direncanakan" terhadap koresponden dan juru kameranya di Jalur Gaza, menyebutnya sebagai "upaya putus asa untuk membungkam suara-suara menjelang pendudukan Gaza."

"Perintah untuk membunuh Anas al-Sharif, salah satu jurnalis paling berani di Gaza, dan rekan-rekannya merupakan upaya putus asa untuk membungkam suara-suara menjelang pendudukan Gaza," katanya.

Pernyataan Al Jazeera mencatat bahwa "banyak pejabat militer Israel berulang kali menghasut dan menyerukan penargetan Anas al-Sharif dan rekan-rekannya," karena menganggap "tentara pendudukan dan pemerintahnya bertanggung jawab atas penargetan dan pembunuhan timnya."

Pernyataan tersebut menambahkan bahwa “pembunuhan koresponden kami oleh pasukan pendudukan Israel merupakan serangan terang-terangan dan disengaja lainnya terhadap kebebasan pers.”

Menurut kantor media, jumlah jurnalis yang terbunuh sejak dimulainya genosida Israel di Gaza pada 7 Oktober 2023, telah meningkat menjadi 237, menyusul terbunuhnya al-Sharif dan Qraiqea, bersama tiga jurnalis lainnya.

Laporan itu mengidentifikasi jurnalis lain yang terbunuh sebagai jurnalis foto Ibrahim Dahir dan Moumin Alaywa serta asisten jurnalis foto Mohammed Noufal.

Pembunuhan itu dilakukan dengan perencanaan dan pertimbangan matang, melalui penargetan yang disengaja, terencana, dan langsung terhadap tenda para jurnalis di sekitar Rumah Sakit Al-Shifa di Kota Gaza. Kejahatan keji ini juga mengakibatkan beberapa rekan jurnalis lainnya terluka,” tambahnya.

Direktur Kompleks Medis Al-Shifa di Kota Gaza, Dr. Mohammed Abu Salmiya, mengatakan kepada Anadolu bahwa korban tewas akibat serangan di tenda di depan gerbang kompleks tersebut telah meningkat menjadi tujuh, termasuk lima wartawan.

Sementara itu, tentara Israel mengakui dalam sebuah pernyataan membunuh al-Sharif di Kota Gaza, sementara mengabaikan pembunuhan Qraiqea dan tiga jurnalis lainnya dalam serangan yang sama.

Surat wasiat terakhir yang memilukan

Dalam surat wasiatnya yang ditulis pada 6 Agustus, yang ia minta untuk dipublikasikan setelah kematiannya, al-Sharif menulis: "Ini adalah surat wasiat saya, dan pesan terakhir saya. Jika kata-kata ini sampai kepada Anda, ketahuilah bahwa Israel telah berhasil membunuh saya dan membungkam suara saya. Semoga kesejahteraan dan rahmat serta berkah Allah tercurah atas Anda."

"Allah tahu bahwa saya telah mengerahkan segenap upaya dan kekuatan yang saya miliki untuk menjadi pendukung dan suara bagi umat saya, sejak saya membuka mata terhadap kehidupan di gang-gang dan jalanan kamp pengungsi Jabalia. Harapan saya adalah agar Allah memperpanjang umur saya agar saya dapat kembali bersama keluarga dan orang-orang terkasih ke kampung halaman kami di Asqalan (al-Majdal) yang diduduki. Namun, kehendak Allah lebih utama, dan ketetapan-Nya telah terlaksana," ujarnya.

"Saya telah mengalami penderitaan dalam segala bentuknya, dan merasakan duka serta kehilangan berkali-kali. Namun, saya tak pernah ragu menyampaikan kebenaran apa adanya, tanpa distorsi atau pemalsuan, berharap Allah akan menjadi saksi bagi mereka yang tetap diam, mereka yang menerima pembunuhan kami, mereka yang mencekik napas kami, dan yang hatinya tak tergerak oleh tubuh anak-anak dan perempuan kami yang tercerai-berai, dan yang tidak menghentikan pembantaian yang telah dialami rakyat kami selama lebih dari satu setengah tahun."

“Saya mendesak Anda untuk berpegang teguh pada Palestina, permata mahkota umat Islam, dan detak jantung setiap orang merdeka di dunia ini."

"Saya mendesak Anda untuk peduli pada rakyatnya, pada anak-anak kecilnya yang dizalimi, yang tidak diberi cukup waktu dalam hidup untuk bermimpi atau hidup aman dan damai, yang tubuh mereka yang murni hancur di bawah ribuan ton bom dan rudal Israel, terkoyak dan berserakan di tembok."

"Saya mendesak kalian untuk tidak membiarkan rantai membungkam kalian, atau perbatasan menghalangi kalian. Jadilah jembatan menuju pembebasan tanah dan rakyatnya, hingga matahari martabat dan kebebasan terbit di atas tanah air kita yang dirampas."

"Aku mohon, jagalah keluargaku. Jagalah buah hatiku, putriku tercinta, Sham, yang tak pernah kulihat tumbuh besar seperti yang kuimpikan."

“Dan merawat putraku tersayang, Salah, yang kuharapkan dapat mendukung dan berjalan di sampingnya sampai ia cukup kuat untuk menanggung bebanku dan melanjutkan misi.

"Aku mohon, jagalah ibuku tercinta, yang doa-doanya yang penuh berkah telah membawaku ke tempatku berada saat ini, yang doanya menjadi bentengku, dan yang cahayanya menuntun jalanku. Semoga Allah menghibur hatinya dan memberinya pahala yang berlimpah atas kebaikanku."

“Juga jagalah pendamping hidupku, istriku tercinta, Umm Salah, Bayan, yang telah terpisahkan dariku oleh perang selama berhari-hari dan berbulan-bulan, namun ia tetap setia pada ikatan kami, teguh bagaikan pangkal pohon zaitun yang tak pernah goyah, sabar dan tawakal kepada Allah, memikul tanggung jawab saat aku tiada dengan segenap kekuatan dan iman."

"Aku mengajak kalian untuk berdiri di samping mereka dan menjadi pendukung mereka setelah Allah SWT. Jika aku mati, maka aku mati dengan teguh pada prinsip-prinsipku, dan aku bersaksi di hadapan Allah bahwa aku rela dengan takdir-Nya, beriman dalam pertemuan dengan-Nya, dan yakin bahwa apa yang ada di sisi Allah lebih baik dan kekal."

"Ya Allah, terimalah aku di antara para syuhada, ampunilah dosa-dosaku yang telah lalu dan yang akan datang, dan jadikanlah darahku cahaya yang menerangi jalan kebebasan bagi umatku dan keluargaku. Ampunilah aku jika aku telah berbuat salah, dan doakanlah agar aku mendapatkan rahmat, karena aku telah setia pada perjanjian, tak pernah berubah dan goyah."

“Jangan lupakan Gaza… Dan jangan lupakan aku dalam doa tulus kalian untuk pengampunan dan penerimaan Allah,” tulis dia.

'Kejahatan brutal Israel'

Kelompok Palestina Hamas mengutuk pembunuhan jurnalis Al Jazeera, menyebutnya sebagai “kejahatan brutal yang melampaui batas fasisme dan kriminalitas.”

Hamas menganggap penargetan jurnalis secara terus-menerus oleh Israel di Jalur Gaza sebagai “indikasi keruntuhan total nilai-nilai dan hukum internasional, di bawah kebisuan internasional yang telah mendorong pendudukan (Israel) untuk terus membunuh jurnalis tanpa pencegahan atau akuntabilitas.”

Israel menghadapi kecaman yang semakin meningkat atas perang genosida di Gaza, yang telah menewaskan lebih dari 61.400 korban sejak Oktober 2023. Kampanye militer tersebut telah menghancurkan daerah kantong tersebut, yang kini menghadapi bencana kelaparan.

Pada November lalu, Pengadilan Kriminal Internasional mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanannya Yoav Gallant atas kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Gaza.

Israel juga menghadapi kasus genosida di Mahkamah Internasional atas perangnya di daerah kantong tersebut.

Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.
Topik terkait
Bu haberi paylaşın