Dunia

AS khawatirkan repatriasi 'prematur' Rohingya

Komisaris Tinggi PBB untuk HAM mendukung repatriasi sukarela Rohingya ke Myanmar namun khawatir karena kondisi di negara itu tidak cukup kondusif

Maria Elisa Hospita  | 14.11.2018 - Update : 14.11.2018
AS khawatirkan repatriasi 'prematur' Rohingya Ilustrasi: Pengungsi Rohingya. (Foto file - Anadolu Agency)

Washington DC

Umar Farooq

WASHINGTON

Amerika Serikat (AS) menyatakan kekhawatirannya terhadap rencana Myanmar untuk memulangkan Muslim Rohingya ke negara bagian Rakhine dari Bangladesh karena kondisi yang tak kondusif.

Sesuai dengan kesepakatan Bangladesh dan Myanmar, proses repatriasi dijadwalkan mulai awal tahun ini, tetapi berulang kali tertunda.

Myanmar sepakat menerima kepulangan Rohingya mulai 15 November. Pada Minggu, mereka menyatakan siap menerima para pengungsi.

Pemerintah Myanmar juga merilis sebuah pernyataan bahwa mereka akan menerima gelombang awal pengungsi sebanyak 2.251 jiwa.

Menurut Amnesty International, lebih dari 750.000 pengungsi Rohingya, sebagian besar anak-anak dan perempuan, melarikan diri dari Myanmar ke Bangladesh setelah pasukan keamanan Myanmar melancarkan operasi militer pada Agustus 2017.

Sebagai tanggapan, AS mengatakan bahwa kondisi yang kondusif belum terealiasi untuk memulangkan para pengungsi, sehingga pemerintah Myanmar perlu menciptakan kondisi yang memungkinkan kebebasan bergerak di seluruh negeri.

"Kami telah mengungkapkan keprihatinan serius kami pada kedua pemerintah di tingkat tertinggi tentang pemulangan yang terlalu dini. Kami mendesak repatriasi secara sukarela, aman, dan bermartabat," kata seorang juru bicara Departemen Luar Negeri AS.

"Orang-orang yang kembali ke Burma [Myanmar] harus memiliki kebebasan bergerak dan tidak terbatas pada kamp-kamp saja," kata dia lagi.

AS juga mendesak Myanmar untuk memberikan akses kemanusiaan dan meminta mereka yang terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia bertanggung jawab.

Komisaris Tinggi PBB untuk HAM mendukung repatriasi sukarela Rohingya ke Myanmar tetapi mengatakan bahwa kondisi di negara itu tidak cukup kondusif.

"Saya belum melihat otoritas Myanmar mengambil langkah nyata untuk menciptakan lingkungan di mana Rohingya dapat kembali ke tempat asal mereka dan tinggal di sana dengan aman, sekaligus hak-hak fundamental mereka dijamin," kata Yanghee Lee, pelapor khusus tentang hak asasi manusia di Myanmar, dalam sebuah pernyataan.

Rohingya, yang disebut-sebut PBB sebagai kaum paling teraniaya di dunia, telah menderita serangkaian kekerasan sejak puluhan Rohingya tewas dalam kekerasan komunal pada 2012.

Badan Pembangunan Internasional Ontario (OIDA) mengungkapkan, sejak 25 Agustus 2017, hampir 24.000 Muslim Rohingya telah dibunuh oleh pasukan keamanan Myanmar.

Dalam laporannya yang berjudul "Migrasi Paksa Rohingya: Pengalaman yang Tak Terungkapkan", lebih dari 34.000 Rohingya juga dibakar hidup-hidup, sementara 114.000 lainnya dipukuli.

Sekitar 18.000 perempuan Rohingya diperkosa oleh tentara dan polisi Myanmar dan 115.000 rumah Rohingya dibakar habis.

PBB mendokumentasikan adanya pemerkosaan massal, pembunuhan, pemukulan brutal, dan penghilangan paksa oleh pasukan keamanan Myanmar. Dalam laporannya, penyidik PBB mengatakan bahwa pelanggaran itu termasuk kejahatan kemanusiaan.

Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.