Analisis, Regional

OPINI - Militer Myanmar dan kudeta

Dengan tank, kendaraan lapis baja di jalanan, militer mengirim pesan ke publik: 'kami masih di sini sebagai penengah demokrasi'

Ekip  | 02.02.2021 - Update : 05.02.2021
OPINI - Militer Myanmar dan kudeta Seorang demonstran Burma berkumpul di depan Kedutaan Besar Myanmar di Bangkok saat militer Myanmar menahan Negara Konselor Myanmar Aung San Suu Kyi dan menyatakan keadaan darurat sambil merebut kekuasaan di negara itu selama setahun setelah kalah dalam pemilu melawan Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD). ( Guillaume Payen - Anadolu Agency )

Yangon

Maung Zarni

- Penulis adalah koordinator Burma Free Rohingya Coalition dan anggota Genocide Documentation Center di Kamboja.

LONDON

Militer Myanmar melakukan kudeta, menahan pemimpin de facto Aung San Suu Kyi dan Presiden U Win Myint pada Senin pagi. Hanya beberapa jam sebelum dimulainya sesi pertama parlemen baru.

Militer juga memberlakukan keadaan darurat selama satu tahun.

Pekan lalu, spekulasi tentang kemungkinan kudeta militer terhadap pemerintah sipil Aung San Suu Kyi di ibu kota Naypyidaw sudah meningkat.

Tank dan kendaraan lapis baja bergerak di sekitar Yangon, Mandalay dan kota-kota lain.

Sementara kehadiran pasukan keamanan di Naypyidaw dan protes jalanan pro-militer dan rally pro militer juga meningkat.

Perkembangan ini memicu kekhawatiran dari berbagai pihak termasuk AS, Australia, Uni Eropa, dan Kantor Sekretaris Jenderal PBB, serta dewan Buddha Order di Myanmar.

Pada 28 Januari, juru bicara Sekretaris Jenderal PBB Stephane Dujarric mengeluarkan pernyataan yang mendesak "semua aktor [Myanmar] untuk berhenti dari segala bentuk hasutan atau provokasi, menunjukkan kepemimpinan, mematuhi norma-norma demokrasi dan menghormati hasil pemilu November. Semua sengketa pemilu harus diselesaikan melalui mekanisme hukum yang ada."

Keesokan harinya, 14 biksu Myanmar, yang mengendalikan setengah juta biksu di negara itu, mengadakan pertemuan virtual dan mengeluarkan seruan untuk menyelesaikan sengketa pemilu November secara damai dan sesuai hukum dan peraturan negara.

Pada Sabtu pagi, di tengah keprihatinan tentang spekulasi kudeta terhadap pemerintah Aung San Suu Kyi, Kantor Panglima Tertinggi Min Aung Hlaing mengeluarkan pernyataan klarifikasi dengan bahasa Burma dan Inggris.

Pernyataan itu menepis spekulasi kudeta dan menyalahkan organisasi tertentu karena mendistorsi konferensi video jenderal senior yang ditujukan pada kelas National Defense College pada 27 Januari.

Di dalamnya, Min Aung Hlaing dilaporkan menyinggung penghapusan konstitusi 2008 dan kekalahan telak Partai Pembangunan dan Solidaritas Serikat (USDP) yang didukung militer dari NLD akibat kecurangan 8 juta suara saat pemilu.

“Hukum dan peraturan pemilu dilanggar [oleh partai NLD yang terpilih kembali dan Komisi Pemilihan Umum Myanmar],” kata dia.

Di pagi yang sama Myawaddy News, yang merupakan media corong militer, menggemakan pernyataan Panglima Militer Myanmar yang menarik paralel antarak kecurangan pemilu masa lalu, korupsi dan kekerasan politik yang militer kaitkan dengan partai politik sipil, terutama Liga Kebebasan Rakyat Anti-Fasis atau AFPFL.

Didirikan bersama oleh ayah Suu Kyi, Aung San, sebagai tokoh front revolusioner melawan pendudukan fasis Jepang selama Perang Dunia II dan kemudian gerakan politik massa menentang kembalinya pemerintahan kolonial Inggris, AFPFL setara dengan NLD saat ini karena hampir mendominasi total sistem parlementer.

Pernyataan Panglima Tertinggi itu menggambarkan militer dan para pemimpinnya sebagai penjaga patriotik Uni Burma (Sekarang Myanmar) yang jujur, bebas korupsi, sangat kontras dengan realitas politisi partai mereka yang egois, serakah, korup di era parlementer pasca kemerdekaan pada 1950-an dan 1960-an, era yang tiba-tiba berakhir dengan kudeta 1962.

Setelah pemilu 8 November, telah terjadi perselisihan antara Komisi Pemilihan Umum Myanmar yang dibentuk Presiden Win Myint dan Partai USDP yang sebagian besar terdiri dari mantan jenderal serta orang-orang yang dibesarkan militer.

Warga Myanmar pergi ke tempat pemungutan suara pada 8 November. Mereka memberi Suu Kyi dan NLD mandat kembali memimpin negara dalam pemilu paling menentukan dalam sejarah pasca-kemerdekaan negara itu.

Hasilnya, NLD berhasil menang telak melawan USDP: dari 476 kursi di Parlemen, mantan jenderal hanya mendapatkan 33 kursi, sedangkan NLD meraih 396.

Hal ini memberi NLD kendali penuh di badan legislatif, sesuatu yang sekarang dituding militer sebagai aturan anti-demokrasi satu partai yang bertentangan dengan semangat dan tujuan para perumus militer di Konstitusi 2008.

Tetapi ini adalah bentuk Orwellian dan sikap oportunistik karena para pemimpin militer Burma tidak pernah menginternalisasi nilai-nilai demokrasi atau bekerja untuk membangun sistem apa pun yang sesuai dengan istilah demokrasi.

Di sinilah orang dapat melihat jalur kesamaan antara mayoritas pendukung akar rumput Presiden AS Donald Trump dan 70% pendukungnya di Kongres AS dan cara di mana pejabat militer Myanmar, baik yang masih aktif maupun veteran, melihat diri mereka masing-masing sebagai pemenang pemilu yang berhadapan Biden dan para pemilihnya serta NLD dan pendukungnya di seluruh negeri.

Terlepas dari pemilu yang bebas, transparan, dan adil di AS dan Myanmar pada 2020, baik Trump (dan Partai Republik) dan partai USDP yang didukung militer Burma memiliki cara pandang yang salah bahwa mereka mengklaim sebagai pihak yang dirugikan dalam pemilu hanya karena adanya tudingan kecurangan pemilu. Tapi di sinilah letak kesamaan AS dan Myanmar berakhir.

Tidak seperti AS, transisi demokrasi Myanmar paling rapuh, dan lebih buruk lagi hanyalah lelucon. Ini adalah gambaran untuk memperjelas yang sudah jelas bahwa AS sudah berpengalaman lebih dari 200 tahun dan memiliki sistem politik check and balances jika kultur demokrasi bergolak.

Enam tahun lalu, dunia mengalami euforia politik dan kegilaan yang luar biasa menyusul hasil pemilu Myanmar saat Suu Kyi dan partainya menang telak atas USDP. Kemenangan ini membawa Suu Kyi menjabat "Penasihat Negara Myanmar," yang berada “di atas kantor politik presiden” tempat dia berperan sebagai dalang presiden Htin Kyaw dan Win Myint.

Merespons histeria massa atas kejadian ini, saya berpendapat bahwa pemenang utama dari pemilihan umum 2015 adalah para jenderal Burma. Para pemimpin militer negara, yang menjalankan institusi paling kuat, tidak pernah dipaksa untuk membuat konsesi nyata. Mereka praktis diberi izin masuk sebagai imbalan atas akses strategis dan ekonomi ke negara itu, sementara Barat dan yang lainnya meneriakkan "Musim Semi Myanmar".

Begitulah lelucon demokrasi Myanmar mendapatkan legitimasi internasional dan penerimaan di dalam negeri. Konstitusi yang terlebih dahulu melegalkan kudeta militer adalah dasar dari apa yang disebut sebagai "demokrasi yang rapuh". Fakta yang tidak menyenangkan adalah para jenderal Burma, tua atau muda, pensiunan atau yang masih menjabat, tidak pernah merasa harus melepaskan kendali efektif mereka atas negara, dengan cara atau bentuk apa pun.

Pada tahun 2008, para jenderal menciptakan dan mengadopsi Konstitusi yang menegaskan militer sebagai pemegang kekuasaan yang sebenarnya. Konstitusi ini dirancang khusus untuk memungkinkan militer mengendalikan semua tuas kekuasaan penting seperti kementerian keamanan Dalam Negeri, Urusan Perbatasan dan Pertahanan, hak veto - melalui jatah 25% kursi parlemen - berkat amandemen konstitusi yang signifikan yang akan memberikan keseimbangan kekuasaan untuk rakyat, cengkeraman kuat pada amandemen Departemen Administrasi Umum yang menjalankan kontrol administratif negara atas populasi hingga ke dusun terkecil dan kontrol eksklusif atas sebagian besar ekonomi nasional melalui konglomerat ekonomi.

Selain itu, Suu Kyi tidak akan pernah diizinkan menjabat sebagai presiden negara di bawah Konstitusi militer.

Mengingat keunggulan dan dominasi militer dalam proses reformasi negara, saya sama bingungnya dengan siapa pun saat melihat gambar tank di jalan-jalan kampung halaman saya di Mandalay dan bekas ibu kota Yangon dan membaca berita Panglima Tertinggi Min Aung Hlaing secara terang-terangan mengungkapkan kemungkinan penghapusan Konstitusi 2008 dan juru bicara militer Brigadir Zin Min Htun secara efektif memicu spekulasi populer bahwa tank di jalanan pasti sinyal terjadinya kudeta.

Tiga dekade lalu, San Francisco Chronicle (16 Mei 1990) memuat analisis berjudul "Vote will be change nothing: Military Pledges to Retain Power after May 27 Exercise" yang ditulis James Goldstein di mana jurnalis Amerika yang cerdik itu menulis: "Jika Anda pernah membutuhkan bukti bahwa pemilu tidak dengan sendirinya memastikan bahwa pemerintah melindungi hak asasi warganya, itulah Burma." Memang, pemungutan suara itu tidak mengubah secara fundamental persamaan kekuasaan di Myanmar.

Sudah lama sekali PBB, Uni Eropa, AS, dan media global membanjiri cerita-cerita lucu tentang "transisi demokrasi yang rapuh" Myanmar di bawah peraih Nobel Aung San Suu Kyi. Dengan menyakitkan, Suu Kyi telah menunjukkan wajah aslinya sebagai otokrat rasis pembela genosida Rohingya, sementara rekannya dalam kejahatan, para jenderal Burma, hanya mengarak tank mereka. Pesan militer kepada publik yang sangat pro-NLD jelas dan keras: militer tetap menjadi bos yang sebenarnya, terlepas dari putaran demokrasi.

* Pendapat yang diungkapkan dalam artikel ini adalah milik penulis dan tidak mencerminkan kebijakan editorial Anadolu Agency.

Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.