Ekonomi

Impor tekstil dan produk tekstil perlu moratorium

Perbaikan sektor TPT bisa mencegah dampak negatif lainnya terhadap perekonomian makro di Indonesia

İqbal Musyaffa  | 09.09.2019 - Update : 10.09.2019
Impor tekstil dan produk tekstil perlu moratorium Tekstil produksi Indonesia, salah satu komoditas ekspor ke luar negeri. (Foto file - Anadolu Agency)

Jakarta Raya

JAKARTA

Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) sedang bermasalah akibat banyaknya produk impor sehingga perlu ada penghentian sementara impor TPT.

Ikatan Ahli Tekstil Indonesia (Ikatsi) meminta pemerintah menghentikan impor TPT selama enam bulan, kecuali untuk kepentingan ekspor melalui kawasan berikat dan kemudahan impor tujuan ekspor (KITE) agar industri TPT dapat diselamatkan.

Ketua Umum Ikatsi Suharno Rusdi mengatakan penghentian impor sementara perlu dilakukan hingga ada perbaikan aturan impor TPT.

Rusdi mengatakan aturan impor yang perlu diperbaiki adalah Peraturan Menteri Perdagangan nomor 64 tahun 2017 yang menurut dia merupakan salah satu penyebab maraknya produk tekstil impor masuk ke Indonesia.

“Permintaan itu sudah disampaikan melalui surat kepada Presiden dan beberapa kementerian terkait,” jelas dia, dalam diskusi di Jakarta, Senin.

Selain itu, dia mengatakan perlu ada perbaikan dalam penguasaan pasar domestik untuk mendorong substitusi impor dengan menerapkan trade remedies.

Penerapan trade remedies dalam jangka menengah selama tiga tahun menurut Rusdi diharapkan bisa meningkatkan daya saing industri TPT dalam negeri.

Sementara strategi jangka panjang pembenahan industri TPT adalah dengan mendorong peningkatan daya saing produk TPT sehingga bisa diekspor dengan adanya perbaikan daya saing bahan baku, energi, sumber daya manusia, keuangan, teknologi, dan juga lingkungan.

“Pembenahan TPT menjadi strategis untuk membuat neraca perdagangan secara umum menjadi positif,” kata dia.

Rusdi beranggapan dengan perbaikan sektor TPT bisa mencegah dampak negatif lainnya terhadap perekonomian makro di Indonesia karena apabila kinerja TPT negatif, maka akan menjalar ke berbagai sektor.

Rusdi menegaskan meskipun berdasarkan data BPS industri TPT pada triwulan II tumbuh 20,71 persen, namun bukan patokan umum gambaran dari kondisi industri ini.

Pertumbuhan tersebut lebih karena adanya kenaikan nilai ekspor garmen. Sementara pada sektor produksi serat, benang, dan kain justru berbeda.

“Pernyataan beberapa pihak yang mengatakan industri TPT nasional baik-baik saja 100 persen tidak valid,” tegas dia.

Sementara itu, pada kesempatan yang sama Sekretaris Jenderal Asosiasi Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta mengatakan pasar domestik untuk produk kain dan garmen telah direnggut produk impor.

Redma mengatakan meskipun ada pertumbuhan konsumsi masyarakat sekitar 100 ribu ton pada 2018, namun peningkatan konsumsi tersebut tidak dinikmati oleh produsen lokal karena maraknya produk impor yang masuk.

Redma menambahkan selain Permendah 64 tahun 2017, perlu ada perbaikan pada sejumlah kebijakan lainnya yang cenderung lebih mendukung produk tekstil impor.

Salah satu kebijakan yang pro impor tersebut adalah sulitnya ekspor dan penjualan domestik untuk pengusaha di Pusat Logistik Berikat (PLB), sementara industri lain di luar kawasan berikat juga tertekan.

“Kemudian juga ada pembiaran praktik under invoice dan under volume seperti harga impor dari China jauh lebih murah dari harga impor negara lainnya,” kata Redma.

Menurut dia, pemerintah perlu memperbaiki sejumlah aturan, seperti barang dari PLB agar diperbolehkan masuk ke pasar lokal.

Selain itu, Redma juga mendorong agar pemerintah membenahi Angka Pengenal Importir Produsen (API-P) yang fiktif melalui verifikasi dan penyertaan rekening listrik dan BPJS Ketenagakerjaan pada saat mengajukan impor.

Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.