Ekonomi, Nasional

Ekspor CPO Indonesia tertinggi akibat perang dagang India-AS

Biodiesel catat potensi besar setelah banyak negara canangkan program pengurangan emisi

Muhammad Nazarudin Latief  | 30.08.2018 - Update : 30.08.2018
Ekspor CPO Indonesia tertinggi akibat perang dagang India-AS Pekerja mengangkut kelapa sawit di Deli Serdang, Sumatra Utara, January 18, 2017. (Jefri Tarigan - Anadolu Agency)

Jakarta Raya

Muhammad Latief

JAKARTA

Ekspor minyak kelapa sawit dan produk turunannya pada Juli mencapai 3,22 juta ton atau naik 27 persen dibanding Juni yang hanya 2,54 juta ton, menjadikannya angka ekspor paling tinggi sepanjang 2018.

Menurut Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Mukti Sardjono, kenaikan ekspor komoditas tersebut salah satunya dipicu oleh perang dagang antara India dan Amerika serikat yang masing-masing menaikkan bea masuk impor sejumlah komoditas unggulannya.

Mukti mengatakan peningkatan volume ekspor komoditas sawit tersebut disebabkan kebijakan India yang kembali membeli CPO Indonesia setelah menaikkan bea masuk impor minyak nabati termasuk kedelai, bunga matahari dan rapeseed.

Selain itu Tiongkok juga semakin tertarik dengan produk biodiesel asal Indonesia.

“Secara umum harga minyak kelapa sawit di dunia sedang murah, jadi memicu pembelian,“ ujar dia, Kamis.

India sebenarnya sudah mengurangi belanja minyak kelapa sawit Indonesia, namun pada Juli ini menggenjot kembali hingga mencapai 652,7 ribu ton. India sebelumnya menerapkan bea masuk untuk produk kelapa sawit hingga 43 persen dan produk turunannya sebesar 54 persen.

Menurut Mukti, hal ini sudah tidak lagi menjadi faktor penghambat karena pada awal Juli lalu India juga menaikkan tarif bea masuk untuk kedelai, rapeseed, bunga matahari dan kacang tanah.

“Karena harga yang lebih murah dan perselisihan dagang dengan AS (Amerika Serikat) membuat India memacu impor dari Indonesia hingga 40 persen lebih tinggi dibanding bulan sebelumnya,” ujar Mukti.

India berselisih dagang dengan AS setelah Presiden Trump menaikkan tarif impor aluminium dan baja. India meresponsnya dengan mengajukan keberatan pada World Trade Organization (WTO) disertai daftar produk yang akan menjadi subjek retaliasi pajak bea masuk, termasuk gandum, minyak kedelai dan rifine palm olein.

Sedangkan Tiongkok mengimpor minyak sawit dan turunannya sebanyak 350 ribu ton meningkat 6 persen dari Juli lalu yang tercatat 330,4 ribu ton.

Menurut Mukti, Tiongkok adalah pasar potensial biodiesel Indonesia. Mereka pertama kali membelinya pada Juni sebanyak 185 ribu ton dan meningkat menjadi 210 ribu ton pada Juli.

Tiongkok ini mulai menggunakan biofuel untuk mengurangi tingkat emisi yang terlalu tinggi di negara itu. Uji coba penggunaan bioethanol telah dilakukan di Shanghai dan akan segera ditiru daerah lain.

Tiongkok menurut Mukti sepertinya akan membuat kebijakan wajib bahan bakar nabati dengan memberi batas emisi yang lebih ketat pada kendaraan bermotor.

“Ini berita bagus dan peluang biofuel untuk berbisnis ke Tiongkok,” ujar dia.

Negara yang mencatatkan peningkatan impor minyak kelapa sawit lainnya adalah kawasan Afrika yang mencapai angka sangat signifikan yaitu 137 persen dan Bangladesh sebesar 86 persen.

Namun, impor minyak kelapa sawit dari Indonesia turun di Pakistan, Amerika Serikat dan Uni Eropa. Pakistan sedang diambang krisis karena defisit neraca perdagangan yang besar, sementara AS mengurangi impor karena stok kedelai yang tinggi. Sedangkan Uni Eropa mengurangi impor karena membeli kedelai yang harganya sedang jatuh.

Dari sisi produksi, ada kenaikan sekitar 8,5 persen dari 3,9 juta ton menjadi 4,2 juta ton.

“Meski ekspor naik, stok kelapa sawit naik terus hingga Juli ini yang mencapai 4,9 juta ton,” ujar dia.

Industri kelapa sawit mendapat pengaruh positif kebijakan mandatori pencampuran biodiesel sebanyak 20 persen pada bahan bakar minyak (B20). Program ini juga akan mengurangi pasokan global sehingga bisa mendongkrak harga minyak kelapa sawit di pasaran dunia.

“Kita harus dorong terus untuk kebijakan mandatori B30. Ini berperan untuk mengurangi belanja impor sehingga neraca perdagangan bisa sehat kembali, “ujar dia.

Sebelumnya, pengusaha senior Tantri Abeng meminta pemerintah menggenjot hilirisasi industri kelapa sawit untuk memaksimalkan nilai tambah. Indonesia tertinggal jauh dengan Malaysia yang sudah menguasai industri ini dari sisi produksi hingga pemasaran internasional.

Indonesia menurut Abeng memang mendapatkan keuntungan dari perkebunan sawit milik pengusaha Malaysia, namun terlambat membangun industri berbasis sawit. Nilai tambah produk ini, menurut Abeng jatuh ke tangan negara tersebut.

“Dulu BUMN Indonesia menguasai sekitar 38 persen produksi CPO (crude palm oil) sekarang tinggal 7-8 persen. Jumlah yang berkurang itu diambil Malaysia,” ujar dia.

Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.
Topik terkait
Bu haberi paylaşın