Jejak kelam perdagangan budak Transatlantik dan luka panjang Afrika
Selama bertahun-tahun, Afrika Barat menjadi pusat utama, sebelum pelabuhan-pelabuhan di Afrika Timur dan Afrika Selatan ikut menjadi titik penting seiring meningkatnya persaingan kolonial di Afrika
ISTANBUL
Perdagangan budak transatlantik yang dijalankan kekuatan-kekuatan Barat selama hampir empat abad meninggalkan luka mendalam bagi Afrika, ketika jutaan orang dipaksa dipindahkan ke benua Amerika dan menghadapi kekerasan, perpecahan keluarga, serta kematian dalam perjalanan.
Berdasarkan rangkuman informasi mengenai perdagangan budak yang berlangsung dari akhir abad ke-15 hingga paruh kedua abad ke-19, negara-negara kolonial Eropa membawa jutaan orang Afrika dengan kapal-kapal budak melintasi Samudra Atlantik menuju wilayah yang kala itu mereka sebut “Dunia Baru”.
Dalam berbagai perkiraan, sekitar 25–30 juta orang disebut terdampak oleh jaringan perdagangan budak transatlantik. Namun, para sejarawan menilai angka sebenarnya bisa lebih besar karena banyak catatan sejarah yang hilang, termasuk mereka yang meninggal sebelum mencapai pesisir, tewas di kamp-kamp penahanan, terbunuh saat digiring ke pelabuhan, atau diperdagangkan tanpa tercatat.
Selama bertahun-tahun, Afrika Barat menjadi pusat utama, sebelum pelabuhan-pelabuhan di Afrika Timur dan Afrika Selatan ikut menjadi titik penting seiring meningkatnya persaingan kolonial di Afrika.
Kapal-kapal dari Eropa mengangkut orang-orang Afrika yang ditangkap dari pedalaman—baik melalui penculikan maupun akibat konflik lokal—ke kota-kota pelabuhan, sebelum menyeberangi Atlantik.
Portugal disebut sebagai pelopor perdagangan budak transatlantik pada skala besar sejak akhir abad ke-15. Ketika ekspansi Eropa ke benua Amerika meluas, Inggris, Belanda, dan Prancis kemudian ikut terlibat. Sejumlah pelabuhan di wilayah seperti Benin, Ghana, Senegal, Gambia, Kongo, Nigeria, dan Angola digunakan sebagai pusat pengumpulan dan pengiriman budak.
Catatan periode 1501–1867 menunjukkan sekitar 12,5 juta orang Afrika dinaikkan ke kapal-kapal yang melayani rute transatlantik. Pada masa-masa tertentu, sebagian besar budak yang dibawa ke “Dunia Baru” diperkirakan ditempatkan di Brasil, sementara jutaan lainnya dikirim ke wilayah Amerika Latin seperti Kuba untuk bekerja dalam kondisi yang tidak manusiawi.
Perjalanan Afrika–Amerika yang dikenal sebagai “Middle Passage” tercatat sebagai salah satu tragedi kemanusiaan terbesar, ditandai kepadatan ekstrem di kapal, penyakit, sanitasi buruk, dan kekerasan. Dalam perjalanan itu, sedikitnya 1,8 juta orang dilaporkan meninggal di tengah Atlantik.
Tujuan utama perdagangan budak transatlantik adalah Amerika Selatan, terutama Brasil yang saat itu merupakan koloni Portugal. Rute Rio de Janeiro (Brasil)–Luanda (Angola) disebut sebagai jalur tunggal terbesar dalam perdagangan budak.
Dari total orang Afrika yang didaratkan di benua Amerika pada 1501–1867, sekitar 4,7 juta diperkirakan tiba di Brasil—dengan sebagian perkiraan lain menyebut 4,8–5 juta orang.
Selain rute segitiga Eropa–Afrika–Amerika, terdapat pula ribuan pelayaran yang dimulai dari pelabuhan-pelabuhan di Amerika, menuju Afrika, lalu kembali lagi ke Amerika.
Sejumlah perjalanan juga disebut berangkat dari pelabuhan Amerika Serikat seperti Newport (Rhode Island) dan Charleston (South Carolina).
Di Afrika Barat, Pulau Gorée di lepas pantai Senegal menjadi salah satu pusat paling penting. Banyak tawanan ditahan di “rumah-rumah budak” sebelum diberangkatkan melintasi Atlantik. Sejumlah catatan menyebut transaksi budak dapat terjadi dengan nilai tukar yang sangat murah, termasuk hanya dengan sekitar satu kilogram beras atau kentang.
Sementara itu, di Afrika Selatan dan Afrika Timur, pola perbudakan juga berkembang mengikuti kepentingan kolonial. Dalam koloni pertama Belanda di Afrika Selatan pada 1652, jumlah penduduk awal tercatat 90 orang, namun pada 1795 jumlah orang Afrika yang diperbudak meningkat menjadi 16.839; pada tahun yang sama, sejarawan memperkirakan dua pertiga populasi Cape Town terdiri atas budak.
Di Afrika Timur, wilayah Bagamoyo di Tanzania disebut berkembang menjadi pusat “Afrika Timur Jerman”, yang juga menjadi titik pengiriman budak menuju India, Iran, dan Jazirah Arab.
Perkiraan untuk abad ke-19 menyebut sebagian korban dari Afrika Timur dikirim ke Arab, Iran, dan India; sebagian lainnya ke Afrika Selatan dan Amerika; serta sebagian kecil ke Pulau Réunion dan Mauritius untuk bekerja di perkebunan tebu.
Di Kamerun, kawasan “Pelabuhan Budak Bimbia” dekat kota Limbe juga disebut sebagai salah satu pusat yang kerap terlupakan dalam perdagangan budak lintas benua. Ada klaim bahwa sekitar 10 persen perdagangan budak lintas benua melewati pelabuhan ini, dengan pengiriman menuju Amerika dan Eropa.
Perdagangan budak transatlantik berlangsung hingga abad ke-19 dan menjadi fondasi ekonomi perkebunan besar di benua Amerika. Memasuki abad ke-19, gerakan anti-perbudakan menguat seiring berkembangnya wacana hak asasi manusia.
Inggris melarang perdagangan budak pada 1807 dan menghapus perbudakan pada 1833; Prancis menghapus perbudakan pada 1848; sementara perbudakan di Amerika Serikat berakhir pada 1865 melalui Amandemen ke-13 setelah Perang Saudara.
Di benua Amerika, Brasil disebut menjadi negara terakhir yang menghapus perbudakan pada 1888 melalui “Lei Áurea” (Undang-Undang Emas). Meski sistem perbudakan resmi berakhir, dampak demografis, sosial, dan ekonomi yang ditinggalkan terus dirasakan, dan banyak negara Afrika masih menghadapi warisan periode tersebut hingga kini.
Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.
