Dunia

Enam negara desak penghentian konflik Libya

"Kita perlu menghidupkan kembali mediasi PBB, mempersiapkan pemilihan parlemen dan presiden yang kredibel," kata pernyataan bersama

Rhany Chairunissa Rufinaldo  | 17.07.2019 - Update : 18.07.2019
Enam negara desak penghentian konflik Libya Pasukan pemerintah Libya yang diakui PBB (Libyan National Accord / NAG) tengah bersiap melakukan operasi menghadang serangan militer dari pasukan pemberontak daerah timur Libya pimpinan Jenderal Khalifa Haftar di derah Al-Falah, Tripoli, Libya pada 8 April 2019. Foto Jendral Haftar tampak ditempel di kaca depan kendaraan tempur. ( Hazem Turkia - Anadolu Agency )

Ankara

Beyza Binnur Donmez

ANKARA 

Mesir, Prancis, Italia, Uni Emirat Arab (UEA), Inggris dan Amerika Serikat menegaskan kembali kekhawatiran mereka terkait konflik Libya dan mendesak negara tersebut untuk kembali ke proses politik dengan mediasi PBB.

Dalam sebuah pernyataan bersama yang dirilis pada Selasa, keenam negara itu menyerukan agar pertikaian segera dikurangi dan dihentikan.

"Tidak ada solusi militer di Libya," tegas pernyataan itu.

Keenam negara menyuarakan keprihatinan tentang upaya yang sedang dilakukan oleh kelompok-kelompok teroris untuk mengeksploitasi kekosongan keamanan di Libya dan menyerukan semua pihak dalam konflik memisahkan diri dari segala bentuk teroris.

"Kita perlu menghidupkan kembali mediasi PBB, yang bertujuan untuk mempromosikan pemerintahan transisi yang mewakili semua warga Libya, mempersiapkan pemilihan parlemen dan presiden yang kredibel, memungkinkan alokasi sumber daya yang adil dan mendorong penyatuan kembali Bank Sentral Libya dan lembaga kedaulatan lainnya," ungkap pernyataan tersebut.

Kekerasan yang terjadi secara terus-menerus di Libya menewaskan hampir 1.100 orang, menelantarkan lebih dari 100.000 orang dan memicu peningkatan kondisi darurat kemanusiaan di negara itu.

"Konfrontasi yang sedang berlangsung telah mengancam akan mengacaukan sektor energi Libya dan memperburuk tragedi migrasi manusia di Mediterania," tambahnya.

Libya dilanda gejolak sejak 2011, ketika pemberontakan yang didukung NATO menewaskan Presiden Muammar Gaddafi setelah lebih dari empat dekade berkuasa.

Sejak itu, perpecahan politik Libya telah menghasilkan dua kursi kekuasaan yang saling bersaing. Satu di Tobruk, dan satu lagi di Tripoli.


Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.