Analisis

Upaya Ahmadinejad menentang Pemimpin Agung pasti gagal

Sejarah Republik Islam Iran menunjukkan bahwa sekali seorang jatuh dari posisi terhormat, dia tidak bisa kembali lagi ke posisi semula, dan sama halnya dengan Ahmadinejad.

Selim Celal  | 27.02.2018 - Update : 27.02.2018
Upaya Ahmadinejad menentang Pemimpin Agung pasti gagal

Istanbul

Selim Celal

Pakar kebijakan luar negeri dan politik domestik Iran, tinggal di Turki

ISTANBUL

Pada 14 Februari, mantan presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad membuat pernyataan paling berani sepanjang masa mengenai Pemimpin Agung Ayatollah Khamenei. Setelah ditolak menghadiri sesi persidangan kawan

dekatnya Hamid Baqaa’ee, mantan wali kota Teheran ini berdiri di tangga pintu masuk pengadilan, dan dengan nada putus asa, mengatakan bahwa bahkan Pemimpin Agung pun “lari dari tanggung jawab” dengan menyalahgunakan kekuasaan melalui pengadilan.

Pertentangan antara Ahmadinejad dengan pemimpin tertinggi Iran ini bukan hal yang baru. Sebelumnya, pada November 2017, dia menulis surat terbuka kepada Pemimpin Agung mengeluhkan soal sistem peradilan. Meski demikian, pemimpin tertinggi negeri para mullah itu masih mendukung sistem peradilan. Pada pertemuan terakhir dengan otoritas peradilan 3 Juli 2017, Ayatollah Khamenei meminta mereka yang berkepentingan untuk mengambil tindakan yang diperlukan guna melindungi orang-orang yang tertindas, seperti Ibrahim Zakzaki, seorang aktivis dari Nigeria yang baru menganut Syiah.

Kita bisa simak pernyataan Ahmadinejad mengenai Pemimpin Agung Iran pada sikapnya baru-baru ini.

Tidak seperti pendahulunya, Pemimpin Agung saat ini sangat pintar dalam memanfaatkan situasi tanpa harus berbagi tanggung-jawab.

Saat pendahulunya, Ayatollah Khomeini, cukup berani untuk menerima tanggung jawab atas keputusannya, Khamenei sangat lihai seperti diibaratkan dia “selalu berlari dengan kelinci dan berburu dengan anjing.” Seperti kami mencatatnya pada beberapa artikel terdahulu, dikatakan bahwa “manusia membuat kesalahan; manusia besar membuat kesalahan besar. Tapi orang besar juga memiliki keberanian untuk bertanggung jawab atas kesalahannya.”

Khamenei sepertinya kurang memiliki keberanian semacam ini. Dengan demikian, setidaknya, Ahmadinejad mesti diberi apresiasi untuk tindakannya yang berani “menelanjangi” salah satu dimensi penting dari karakter Pemimpin Agung pada saat tidak seorang pun berani melakukannya.

Namun demikian, kita mesti bertanya sejauh mana Ahmadinejad bisa melanjutkan kritik-kritik dan tuduhan-tuduhannya secara terbuka dan terang-terangan kepada sang Pemimpin Agung? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita perlu memiliki pemahaman yang jernih mengenai dikursus politik Iran saat ini, kondisi perimbangan politik serta dinamika sosio-politik Iran.

Ahmadinejad merupakan bagian dari kubu konservatif, sebuah kelompok minoritas di kancah politik negara itu. Jadi, posisi Ahmadinejad saat ini sebenarnya “minoritas di dalam minoritas”. Untuk menempatkan konteks ini dalam perspektif yang lebih jelas, kubu yang ditargetkan Ahmadinejad untuk mendukung dirinya adalah dari kubu garis keras yang justru menjadi pendukung Pemimpin Agung saat ini. Tentu saja, kubu garis keras lebih suka mendukung Sang Pemimpin Agung yang lebih jelas kekuasaannya ketimbang Ahmadinejad yang sudah tidak berkuasa lagi. Pemimpin Agung menikmati pengaruh yang lebih besar dan membuat mereka selalu berada di belakangnya. Bagaimanapun, dia masih berkuasa, dan kekuatan selalu persuasif.

Selain itu, seperti halnya budaya politik kebanyakan negara dunia ketiga, fenomena mengkultuskan individu seperti ini memainkan peran penting di Iran; dan Ahmadinejad tidak memiliki hak istimewa seperti itu. Orang-orang Iran pada umumnya lebih menyebut dia sebagai “Commedinejad”. Dengan tidak dimilikinya kharisma individu, politisi ambisius manapun perlu menutup kekosongan kharisma tersebut dengan menawarkan pemikiran yang unik.

Sebagai contoh, mantan Presiden Mohammad Khatami (1997-2005) melakukannya dengan baik. Dia menawarkan wacana reformasi pada tingkat nasional, dan dibumbui dengan “dialog antar kebudayaan” pada tingkat internasional. Presiden Hassan Rouhani juga berhasil – meskipun sebagian – menjual wacana “moderat” dalam periode pertama kepemimpinannya.

Sejauh menyangkut Ahmadinejad, dia tidak menawarkan dialog yang memadai, atau setidaknya, pemikiran yang “marketable”. Dia selalu memulai setiap pidatonya dengan berdoa untuk kebangkitan Imam Mahdi, imam ke-12 kaum Syiah, sehingga membuat pidatonya menjadi bahan tertawaan, dan bahkan membuat banyak orang Iran muak. Ini karena publik Iran sudah sekian lama mengabaikan dia. Isu politik yang dapat dimanfaatkan saat ini di Iran adalah adalah “kebebasan” dan “referendum”.

Perlu juga dicatat bahwa hanya satu versi khusus dari referendum yang dapat ditawarkan; dilakukan di bawah pengawasan pengamat internasional dan memberi kesempatan kepada masyarakat Iran untuk memilih apakah tetap bertahan dengan sistem politik teokratis saat ini atau beralih ke tatanan politik demokratis sekuler yang baru.

Contohnya, ini terjadi pada 11 Februari lalu, Presiden Rouhani – dalam acara peringatan kemerdekaan Revolusi Iran ke-39 – mengusulkan kepada para petinggi di Iran yang hadir di acara tersebut untuk melakukan referendum. Meskipun sebagai presiden dia jauh lebih penting dari Ahmadinejad, tapi pernyataan dia tidak dianggap serius oleh publik, karena dia berbicara dalam level kebijakan dan bukan dalam level sistem. Apa yang dimaksud dengan referendum di sini adalah kekuatan-kekuatan politik yang ada harus bisa menyelesaikan masalahnya melalui referendum di dalam kerangka sistem teokratis saat ini.

Tidak mudah bagi politisi di Iran meraih kekuasaan untuk kedua kalinya. Pada hakikatnya, jatuh dan bangun dalam lingkungan politik yang sehat adalah sesuatu yang biasa. Sebut saja dua contoh, Winston Churchill dari Inggris yang jatuh dari kekuasaannya pada 1945, tetapi bangkit lagi pada 1951. Dan Cyril Ramaphosa, yang sebelumnya dianggap “pewaris” Nelson Mandela, dijauhi selama bertahun-tahun, tapi beberapa hari kemudian muncul kembali dan berhasil menggantikan Jacob Zuma sebagai Presiden Afrika Selatan. Namun demikian, dalam sejarah Republik Islam Iran, khususnya bagi kubu konservatif, menunjukkan bahwa sekali seseorang jatuh dari kekuasaannya, dia tidak akan bisa meraih kembali kehormatan itu, tidak terkecuali Ahmadinejad. Dia tidak lebih pintar dari pendahulunya Rafsanjani. Kita jangan coba berpikir bahwa suatu saat Rafsanjani akan kembali mencicipi kekuasaan dalam hidupnya. Dia sepertinya muncul kembali hanya karena dia mengubah jalur politiknya. Dengan kata lain, dia muncul kembali hanya ketika dia diundang oleh kubu reformis, dan sekali lagi ini tidak terjadi pada Ahmadinejad.

Meskipun Ahmadinejad menggunakan bahasa yang paling banyak dihindari orang lain, dia menipu diri sendiri jika dia menganggap dirinya sebagai pemimpin kelompok opisisi. Publik Iran tidak akan lupa saat mereka turun ke jalan berhari-hari dua bulan lalu, Ahmadinejad diam seribu bahasa, dan hingga saat ini dia tidak berkomentar sepatah katapun terhadap aksi yang paling besar dan merata di sepanjang sejarah Republik Islam.

Ahmadinejad sepertinya ingin menggunakan peluru terakhirnya. Dia kemungkinan tidak akan mau melangkah terlalu jauh, meskipun mungkin dia akan membuat pernyataan-pernyataan kontroversial lagi. Tapi pernyataan semacam itu tidak akan memiliki pengaruh besar. Sejauh ini, pernyataannya telah menarik liputan media, namun gagal menghasilkan gerakan yang nyata di akar rumput. Pernyataan dia yang terbaru juga bisa dilihat dalam konteks ini. Ini mungkin menolong dia mengkonsolidasikan diri dengan para pengikut terdekatnya, tapi dalam konteks riil seseorang harus menjadi korban sistem terlebih dahulu, baru dari situ dia bisa mulai meraih kepercayaan publik.

Di sisi lain, jika ada kata-kata Ahmadinejad yang menimbulkan dampak sosial, dia akan ditempatkan di bawah tahanan rumah sejak lama. Dalam sebuah sistem politik di mana sosok berkarakter santun seperti Muhammad Khatami pernah dilarang muncul di publik, gaya terus-terang Ahmadinejad dinilai oleh penguasa tidak akan memunculkan ancaman serius. Mungkin, inilah kenapa penguasa tidak tertarik untuk menghentikan Ahmadinejad secara serius. Alih-alih membungkam, malah bisa jadi menjadikan dia sebagai pahlawan. Tidak ada upaya juga dari penguasa untuk mengakomodasi Ahmadinejad. Penguasa Iran secara terbuka menganggap dia sebagai “hooligan dengan kelainan mental yang tidak perlu jadi perhatian”.

Mengomentari pernyataan Ahmadinejad pada 28 November, Mohseni Ezhe’ee, juru bicara pengadilan mengatakan: “Seorang penjahat, yang tidak mendapat perhatian, datang ke alun-alun utama kota dan mulai memfitnah orang lain. Beberapa orang berkumpul di sekelilingnya. Seorang bijak yang lewat mengatakan: orang ini melakukannya hanya untuk mendapat perhatian, dan jika Anda tertarik, maka niatnya terpenuhi.”

Pada kenyataannya, yang menyakitkan bagi Ahmadinejad adalah, meski gayanya yang ceplas-ceplos, dia tidak mendapat perhatian baik dari publik secara umum maupun dari penguasa. Namun demikian, nasehat yang paling bermanfaat dan gratis bagi Ahmadinejad adalah dia mesti legowo untuk tidak mempertahankan 8 tahun kekuasaannya dan sebaliknya dia harus mawas diri. Hal paling penting adalah dia mesti membuka kotak hitam kontroversi Pemilu Presiden 2009, dan menjelaskan apa yang terjadi selama Pemilu, bagaimana manipulasi terjadi, serta siapa saja yang terlibat dalam manipulasi dan tindakan kekerasan yang berbuntut menjadi kerusuhan pasca pemilihan.

Hanya dengan cara itu mungkin dia baru dapat mengambil hati rakyat. Dengan melakukan sesuatu yang tidak terlalu besar, dia akan tetap seperti dirinya: seseorang dengan masalah pribadi tanpa dampak sosial yang signifikan.

*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis sendiri dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Anadolu Agency

Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.
Topik terkait
Bu haberi paylaşın