
Malaysia
Oleh Nor Aisyah Hanifah (*
*) Penulis adalah dosen senior di Fakultas Ilmu Pertahanan dan Manajemen Universitas Pertahanan Nasional Malaysia
KUALA LUMPUR
Sebuah pesawat Israel yang terbang di atas wilayah udara Malaysia pada minggu terakhir bulan Mei membuat heboh negara Asia Tenggara yang selama ini cukup vokal menyuarakan hak-hak Palestina.
Bertepatan dengan Perang Gaza 2021, media sosial Malaysia ikut memanas menanggapi kabar rencana Israel yang menargetkan gerakan perlawanan Palestina Hamas dan pengikutnya di Malaysia.
Namun Kementerian Perhubungan Malaysia kemudian mengklarifikasi bahwa pesawat tersebut tak menunjukkan pola penerbangan yang tidak normal dan telah mematuhi aturan yang ditetapkan oleh Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO).
Menurut aturan, Malaysia memberikan fasilitas penerbangan lintas negara atau overflights setelah menilai persepsi ancaman.
Baik Malaysia maupun Israel adalah anggota ICAO. Pesawat sipil Israel Boeing 737-400 adalah milik Israel Aerospace Industries-ELTA (IAI-ELTA). Pesawat itu terbang ke Singapura dari Maladewa. Seperti telah diketahui Singapura memiliki hubungan diplomatik yang kuat dengan Israel ketika Malaysia tidak mau mengakui Israel.
Karena letak geo-strategis yang unik di utara Singapura, Malaysia memiliki kewajiban untuk menghormati kedaulatan negara tetangganya yang memiliki hubungan diplomatik dan kerja sama pertahanan dengan Israel. Baik Malaysia dan Singapura mempraktikkan kebijakan non-interferensi dalam kebijakan luar negeri mereka guna membangun perdamaian dan stabilitas di kawasan, mengikuti semangat ASEAN.
Hubungan Singapura-Israel terjalin di era Perang Dingin. Dilema keamanan Singapura berasal dari apa yang oleh para sarjana disebut sebagai “ketakutan negara-negara kecil” atau “Dilema Liliput” ketika mengakar di antara tetangga-tetangga yang kuat, terutama setelah Singapura menarik diri dari Malaysia pada Agustus 1965. Perang Dingin adalah periode yang bergejolak di kawasan itu, semua negara menghadapi dilema keamanan.
Kerja sama pertahanan Singapura dengan Israel dipandang dapat mengatasi dilema keamanannya. Pada tahun 1965, tujuh penasihat militer dari Pasukan Pertahanan Israel (IDF) mengunjungi Singapura untuk membangun angkatan bersenjata Singapura.
Negara tersebut mengembangkan kerja sama militer dengan Israel secara diam-diam untuk menghindari provokasi dari negara-negara tetangga. Meskipun mereka secara resmi menjalin hubungan diplomatik pada tahun 1969.
Singapura juga membeli dari Israel berbagai macam persenjataan, meliputi tank, rudal udara-ke-darat Barak, sistem drone Hermes, jet tempur, dan kapal perang. Karena kedekatannya dengan Tel Aviv, Singapura mendapat julukan Israel-nya Asia Tenggara.
Selama bertahun-tahun, selain kerja sama militer, kedua negara telah memperluas hubungan yang mencakup teknologi, penelitian, pengembangan, perawatan kesehatan, dan pendidikan. Universitas Nasional Singapura dan Universitas Teknologi Nanyang memiliki hubungan dekat dengan Universitas Ibrani Yerusalem dan Universitas Tel Aviv.
Israel juga merupakan penyumbang investasi asing terbesar kedua di Singapura dari Timur Tengah. Singapura telah muncul sebagai salah satu pusat bisnis dan keuangan di dunia, yang menjelaskan hubungan perjalanan udara antara Israel dan Singapura.
Singapura juga memiliki populasi Yahudi yang signifikan, dengan banyak jalan yang dinamai dalam bahasa Ibrani seperti Nassim Road, Frankel Avenue, Zion Road, dan Elias Road. Ada sekitar 3.000 orang Yahudi di Singapura.
Migran Yahudi paling awal yang disebut Yahudi Baghdadi (Yahudi Arab dan Mizrahi) datang ke Singapura pada abad ke-18 dan ke-19. Setelah Perang Dunia II, jumlah orang Yahudi menurun ketika mereka mulai bermigrasi ke Israel. Pada tahun 1980-an jumlahnya bertambah lagi mengikuti perkembangan ekonomi Singapura.
Patut dicatat bahwa Ketua Menteri Singapura pertama David Marshall, yang menjabat pada tahun 1955 adalah orang Yahudi. Kombinasi berbagai faktor memperkuat argumen mengapa pesawat Israel dapat dilihat di Asia Tenggara, di atas wilayah udara Malaysia. Hal ini diperlukan untuk memahami wilayah ini dan jaringan globalnya. Netizen salah menafsirkan situasi untuk mengirim informasi yang menyesatkan di media sosial. Namun pemerintah Malaysia menangani masalah ini secara damai dalam perspektif yang benar tanpa membahayakan perdamaian regional.
*Opini di dalam artikel ini adalah milik penulis sendiri dan tidak mencerminkan kebijakan editorial Anadolu Agency
Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.