Analisis

ANALISIS - Pion Salafi dalam pusaran konflik Libya

Banyak pengamat di Libya waspada terhadap kelompok Madkhali, terutama karena memprioritaskan kepentingan politik dan keamanan Arab Saudi

Pızaro Gozalı Idrus  | 10.01.2020 - Update : 16.01.2020
ANALISIS - Pion Salafi dalam pusaran konflik Libya Ilustrasi: Suasa di Libya. (Foto file - Anadolu Agency)

Istanbul

Oleh Dr. Tankut Oztas

Penulis adalah peneliti di TRT World Research Centre dan memegang gelar PhD dan MA dalam Ekonomi Politik Internasional dari King's College London. Penelitiannya berfokus pada politik keamanan global, risiko geopolitik, dan ekonomi transnasional. Dia memiliki spesialisasi terkait Eropa, Timur Tengah, dan Afrika Utara.

ISTANBUL (AA) - Seorang jenderal panglima perang yang jahat, dengan dukungan negara-negara seperti UEA dan Prancis, berusaha meraih kendali atas Libya lewat berbagai cara termasuk kekuatan militer dan propaganda.

Dalam perangnya melawan Pemerintahan Kesepakatan Nasional (GNA) yang didukung PBB di Libya, panglima Khalifa Haftar telah menggunakan propaganda palsu untuk mengeksploitasi perpecahan bangsa Libya.

Media sosial adalah salah satu saluran Haftar untuk menyebarkan informasi guna menggalang dukungan demi mengambil alih Tripoli, ibu kota GNA.

Sejatinya upaya Haftar untuk memasuki Tripoli telah gagal sejak pertama meluncurkan serangan pada April 2019. Namun baru-baru ini serangan Haftar mendapatkan momentum setelah keberhasilan koleganya dalam memanfaatkan keberadaan kelompok-kelompok di kota pesisir Sirte.

Situasi di Sirte, yang berada di barat laut Libya, penting karena dikenal sebagai lokasi yang strategis di mana Salafi Madkhali dan suku Qadhadhfa berada di sana.

Sebelumnya, kelompok-kelompok ini melawan pasukan yang setia kepada Haftar, seperti yang mereka lakukan terhadap Daesh. Namun, baru-baru ini, mereka telah mengalihkan dukungan dan sekarang berkoordinasi dengan Haftar untuk mengambil alih kota strategis.

Qadhadhfa adalah salah satu cabang dari suku Houara dan terkenal sebagai suku mantan Pemimpin Muammar Khaddafi. Selama era Khaddafi, Qadhadhfa berkembang menjadi salah satu suku paling kuat dan berpengaruh di Libya. Pengaruh mereka masih terasa di Sirte, dan aliansi mereka dengan pasukan Haftar telah melemahkan otoritas GNA di kota itu.

Selain itu, pembelotan Brigade ke-604, yang terdiri dari milisi Salafi Madkhali, dipandang sebagai ancaman serius bagi GNA. Hal ini karena mereka akan mendorong kelompok-kelompok bersenjata yang dipengaruhi Salafi lainnya di Misrata - seperti unit anti-kejahatan dan ruang operasi bersama - untuk bergabung dengan barisan mereka.

Sementara beberapa analis berpendapat Madkhalis selalu terang-terangan mendukung Haftar dan GNA mengetahui dengan baik bahwa mereka cepat atau lambat akan beralih dukungan.

Bagi mereka, keputusan kelompok-kelompok ini untuk mengubah arah dukungan menandakan meningkatnya keterlibatan Arab Saudi dalam perang saudara Libya.

Adalah fakta nyata banyak tokoh agama Madkhali, Rabi 'al-Madkhali sendiri - pendiri gerakan Madkhalisme - termasuk, yang terhubung dengan baik ke lingkaran politik, ekonomi, dan intelektual di Arab Saudi.

Joffe (2018) menggambarkan Madkhalisme sebagai "kuda Troya" untuk pengaruh Saudi di Libya [1]. Orang Madkhalis adalah pengikut teolog garis keras Saudi Rabi 'al-Madkhali yang mengajarkan Salafisme versi ultra-konservatif yang sepenuhnya dikooptasi Saudi.

Ulama ini telah dikaitkan erat dengan Saudi sepanjang karirnya. Dia menjadi dekan Fakultas Hadis di salah satu lembaga pemikiran keagamaan utama yang didanai pemerintah Saudi yakni Universitas Islam Madinah.

Dia kemudian menjadi bagian dari gerakan ulama Salafi yang dikenal sebagai "al-Jami" (dipimpin oleh ulama Muhammad Amān al-Jāmī), hanya untuk melampaui mentornya dan menjadi pendukung setia monarki Al Saud.

Jika dilihat dari sisi ini, tidak mengherankan kelompok-kelompok Madkhali telah dilindungi dan dimanfaatkan oleh Saudi. Inilah sebabnya mengapa banyak pengamat di Libya waspada terhadap kelompok-kelompok Madkhali, yang memprioritaskan kepentingan politik dan keamanan Arab Saudi.

Dukungan nyata Riyadh atas serangan yang dipimpin Haftar terhadap Tripoli pada awal April 2019 telah memperkuat ketakutan semacam itu. Bahkan, beberapa laporan telah mengungkap peran Saudi dalam konflik yang sedang berlangsung di Libya (Crisis Group 2019 hal.30; Joffe 2018). Brigade Tareq ben Ziyad, misalnya, adalah unit yang didominasi Madkhali yang terus memainkan peran penting dalam pasukan Haftar saat bergerak menuju Tripoli (Crisis Group 2019, hal.13) [2].

Tentara Nasional Libya (LNA) yang berada di bawah Haftar juga merekrut Mahmoud al-Werfalli ini, komandan Brigade Al-Saiqa dan tokoh terkemuka di kalangan Salafi Madkhali.

Mahkamah Pidana Internasional (ICC) sebelumnya telah mengeluarkan surat perintah penangkapan bagi Al-Werfalli pada Agustus 2017 atas tuduhan pembunuhan di luar pengadilan yang dapat dianggap sebagai kejahatan perang.

Hal ini sehubungan dengan kematian 33 orang dari 3 Juni 2016 hingga 17 Juli 2017. Namun demikian, panglima perang Khalifa Haftar baru-baru ini mempromosikannya menjadi letnan kolonel dan terus memimpin pasukan elit di pasukannya.

Ini adalah contoh nyata pertama terkait posisi Madkhalis yang dimanfaatkan dalam konflik militer, dilengkapi dengan persenjataan paling canggih, dan memiliki unit militer di bawah kendali mereka.

Karenanya, ini adalah situasi yang memprihatinkan tidak hanya untuk Libya tetapi juga untuk negara-negara tetangga. Misalnya, selama wawancara untuk laporan tentang Madkhalis oleh Crisis Group (2018, p30), menunjukkan beberapa pejabat Mesir prihatin dengan meningkatnya kekuatan dan pengaruh Madkhalis yang melintasi perbatasan di Libya timur dan bagaimana mereka dapat mempengaruhi Madkhalis di Mesir.

Konflik antara suku dan kelompok ideologis di Libya menjadi semakin kompleks sejak jatuhnya rezim Gaddafi. Situasi ini semakin komplek dengan keterlibatan negara-negara asing di wilayah tersebut dan situasi ini terbukti semakin kontraproduktif bagi semua pihak yang terlibat.

Jika ingin melihat Libya kembali bangkit berkembang, kita perlu melihat semua pemain regional bekerja menuju perdamaian dan masyarakat berkeadilan di Libya. Kalau tidak, perang saudara yang berkelanjutan akan terus mengirimkan gelombang kekerasan ke seluruh wilayah.



[1] Joffe, G. (2018). The Trojan horse: the Madkhali movement in North Africa, The Journal of North African Studies, 23:5, 739-744, DOI: 10.1080/13629387.2019.1539696

[2] Crisis Group. (2019). Addressing the Rise of Libya’s Madkhali-Salafis Middle East and North Africa. Report No: 200. Retrieved from: https://d2071andvip-0wj.cloudfront.net/200-libyas-madkhali-salafis.pdf

* Opini dalam artikel ini adalah milik penulis dan tidak mencerminkan kebijakan editorial Anadolu Agency.

Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.