Cerita pilu korban darurat militer di Thailand selatan
Berdasarkan catatan JASAD, sebanyak 12.930 warga telah ditangkap otoritas Thailand sejak pemberlakuan UU Darurat Militer pada 2004
Jakarta Raya
PATTANI
Sumayyah Minka, 30, masih belum bisa melupakan wajah Abdullah Isomuso, 32, suaminya, pada malam 20 Juli 2019.
Malam itu, Abdullah digelandang tentara Thailand dan ditemukan tak sadarkan diri di kamp militer Ingkayutthaboriharn, Patani, pada keesokan harinya.
Militer mencokok Abdullah atas tuduhan terlibat pemberontakan di wilayah selatan
“Militer tak pernah memberikan bukti kepada kami,” kata Sumayyah kepada Anadolu Agency di Patani, Thailand pada Kamis.
Setelah mencari tahu keberadaan suaminya, Sumayyah akhirnya mendapatkan titik terang.
Sumayyah berhasil mendapatkan informasi suaminya dirawat di rumah sakit usai diinterogasi aparat.
Namun, nahas, saat ditemui, Abdullah tak dapat berbincang-bincang dengan istrinya.
Pria yang sehari-hari menjadi petani karet itu telah terbaring koma di rumah sakit.
“Kaki dan tangannya terlihat bekas siksaan,” cerita Sumayyah seraya menunjukkan foto-foto Abdullah dalam ruang instalasi.
Abdullah akhirnya harus menghembuskan nafas terakhir di Songkhla setelah koma selama 35 hari.
Militer dan rumah sakit, kata Sumayyah, tak pernah memberi penjelasan secara rinci kenapa suaminya koma.
“Mereka hanya bilang suami saya terpeleset di toilet,” tutur Sumayyah, yang mengaku alasan itu tak masuk akal.
Setelah Abdullah meninggal dunia, Sumayyah kini harus hidup seorang diri.
Dia juga harus mencari nafkah untuk menghidupi kedua anaknya, Fahman, 7, dan Farhan, 2.
“Saya kini menjahit untuk membiayai sekolah anak,” kata Sumayyah.
Fahman, anak pertama Sumayyah, kini duduk di kelas 1 di sebuah sekolah dasar di Patani.
“Adiknya masih sangat kecil,” kata Sumayyah.
Meski telah mengikhlaskan kepergian suaminya, Sumayyah masih terus mencari keadilan.
Bersama para warga, Sumayyah telah menyurati parlemen Thailand untuk mengusut kejadian ini.
“Saya minta pelaku harus dihukum,” ujar dia memupuk asa.
Kasus ini pun menjadi headline pemberitaan di Thailand. Sejumlah NGO pun mendesak pemerintah mengusut tuntas kasus kematian Abdulllah.
Pernyataan ini ditandatangani antara lain oleh Cross-Cultural Foundation (CrCF), Thai Lawyers For Human Rights (TLHR), Human Rights Lawyers Association (HRLA), Union of Civil Liberty (UCL), Community Resource Center (CRC), Patani Human Rights Organization Network (HAP) dan lain sebagainya.
Abdullah bukanlah orang pertama yang mengalami kekerasan militer di Thailand Selatan
Ismi bin Abdul Malik, 34, adalah korban atas kekerasan militer pada 2007 silam.
Awalnya, kata Ismi, dia ditangkap atas tuduhan terlibat terorisme.
Namun, terang Ismi, karena tuduhan itu tak terbukti, delik terhadapnya berubah menjadi keterlibatan dalam pemberontakan.
“Padahal saya hanya melakukan demonstrasi menuntut pelanggaran HAM terhadap masyarakat Patani,” jelas dia.
Ismi akhirnya harus meringkuk di penjara Thailand selama sembilan hari.
Namun dalam tiga hari pertama, dia mengaku harus mengalami siksaan beragam dari mulai dipukul dengan kayu, disetrum, hingga dihujani air es plus lalu disemprot pendingin udara.
“Saya akhirnya bebas dari penjara karena tuduhan-tuduhan itu tak terbukti,” aku dia.
Imbas darurat militer
Jaringan Mangsa dari Undang-Undang Darurat (JASAD) adalah salah satu NGO yang fokus dalam melakukan advokasi kepada korban kekerasan di Patani.
Direktur JASAD Abdullah Ngoh menyampaikan kasus-kasus kekerasan terhadap para warga tak lepas dari pemberlakuan Undang-Undang Darurat Militer dan Keputusan Darurat.
Undang-undang itu, kata Ngoh, memberi wewenang kepada perwira militer untuk mencari penduduk dan menangkap setiap orang yang dicurigai terlibat dalam masalah keamanan tanpa surat perintah resmi.
Situasi ini juga membuat pemerintah Thailand menyebar sejumlah titik pos pemeriksaan militer di jalan-jalan.
Dalam pantauan Anadolu Agency, sejumlah personil tentara dan polisi berjaga-jaga di setiap ruas jalan untuk menjaga keamanan.
“Dengan undang-undang ini, militer bebas melakukan penangkapan meski hanya berbekal kecurigaan,” kata dia.
Ngoh sendiri adalah korban penangkapan militer Thailand pada 2010, 2013, dan 2016. Rata-rata dia harus meringkuk di jeruji besi dari mulai 30-35 hari karena berbagai macam tuduhan pemberontakan.
“Saya selalu dibebaska karena mereka tak memiliki bukti,” ucap Ngoh.
Berdasarkan catatan JASAD, sebanyak 12.930 warga telah ditangkap otoritas Thailand sejak pemberlakuan UU Darurat Militer pada 2004.
Sedangkan sejak Januari 2019 hingga saat ini, tercatat 123 warga telah ditangkap di wilayah Provinsi Patani dan Songkhla.
Empat di antaranya adalah wanita.
Dari jumlah tersebut, kata Ngoh, sebanyak 77 orang berhasil bebas dan 46 lainnya harus meringkuk dalam tahanan.
“Militer Thailand tak pernah memberikan penjelasan detail kenapa mereka ditangkap,” kata Ngoh yang kerap menghadapi militer untuk melakukan advokasi.
Menurut dia, banyak warga tak tahu apa yang harus mereka lakukan dan ke mana harus mencari keadilan.
“Rata-rata mereka buta hukum,” kata Ngoh.
Untuk itu, lanjut Ngoh, JASAD fokus melakukan advokasi dan pelatihan hukum dan HAM bagi para warga.
Tak hanya itu, kata Ngoh, lembaganya juga terus memenuhi kebutuhan ekonomi para istri usai suaminya dipenjara.
Menurut dia, banyak kasus para istri bercerai dengan suaminya karena tak lagi mendapat nafkah.
“Untuk sekedar menjenguk suami, banyak dari mereka tak punya uang,” ujar dia.
JASAD juga memberikan terapi mental korban, bantuan rehabilitasi, dan pemulihan bagi mereka yang terkena dampak penyiksaan dalam penjara.
Berkat kiprahnya dalam bidang HAM, JASAD mendapatkan dukungan dari United Nations Fund for Victims of Torture atau badan PBB untuk korban penyiksaan sejak 2016.
“Mereka membantu menggelar training seputar hukum,” jelas Ngoh.
Ngoh berharap konflik dapat berakhir di Patani. Untuk itu, dia meminta Pemerintah Thailand mau berdialog secara sungguh-sungguh kepada masyarakat Patani.
“Penengahnya adalah dunia internasional. Bisa Persatuan Bangsa-Bangsa atau Uni Eropa,” pinta dia.
Dialog terhenti
Sejak 2004, konflik bersenjata di empat provinsi di selatan Thailand telah menewaskan 7.000 jiwa.
Pada 2013, Thailand pertama kalinya menandatangani perundingan damai bersama Barisan Revolusi Nasional (BRN) Melayu Patani, salah satu gerakan kemerdekaan Patani, yang diwakili Hasan Thoiyib.
Perundingan pada waktu itu ditengahi pemerintahan perdana menteri Malaysia Najib Abdul Razak.
Namun, perundingan antara BRN dan Pemerintah Thailand berhenti pada 2014 karena kudeta militer yang dipimpin Prayuth Chan-ocha terhadap pemerintahan Yingluck Shinawatra.
Prayut Chan-ocha kembali memperbarui proses perundingan yang hampir melahirkan zona aman antara kedua pihak.
Dialog damai tersebut diwakili Majelis Syura Patani (Mara Patani) dari pihak Muslim selatan.
Mara Patani adalah payung organisasi Muslim yang mewakili beberapa kelompok Thailand selatan.
Namun sejauh ini dialog antara kedua belah pihak itu menemui jalan buntu.
Pembicaraan damai telah tertunda menyusul kegagalan kedua pihak melakukan pertemuan yang sedianya dilakukan Februari 2019.
Saat itu, kepala tim perdamaian Thailand Jenderal Udomchai Thammasarorat tak menghadiri pertemuan dengan Mara Patani di Kuala Lumpur, Malaysia.
Juni lalu, Abdul Rahim bin Mohammad Noor, fasilitator baru Malaysia untuk pembicaraan damai di Thailand Selatan, melakukan kunjungan selama dua hari ke wilayah tersebut.
Kunjungan ini adalah pertama dilakukan oleh mantan kepala polisi Malaysia tersebut sejak ditunjuk pemerintah Mahathir Mohammad menggantikan Ahmad Zamzamin Hashim.
Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad berjanji membantu mengakhiri siklus kekerasan di selatan Thailand.
Menurut Mahathir, konflik Thailand Selatan merupakan kesempatan bagi kedua negara untuk menunjukkan persahabatan satu sama lain.
Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.
