Nasional

MK tolak gugatan masyarakat Papua terkait UU hasil Penentuan Pendapat Rakyat

Hakim MK Anwar Usman mengatakan mahkamah tidak bisa mengabulkan gugatan ini karena UU yang digugat merupakan tindak lanjut dari Pepera sebagai sebuah peristiwa internasional

Nıcky Aulıa Wıdadıo  | 06.01.2020 - Update : 07.01.2020
MK tolak gugatan masyarakat Papua terkait UU hasil Penentuan Pendapat Rakyat Suasana sidang gugatan UU Pembentukan Provinsi Papua Barat. (Nicky Aulia - Anadolu Agency)

Jakarta Raya

JAKARTA

Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan perwakilan masyarakat Papua yang merasa hak konstitusionalnya dilanggar hasil Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) atau Act of Free Choice pada 1969.

Pemohon gugatan mengajukan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1969 Pembentukan Propinsi Otonom Irian Barat dan Kabupaten-kabupaten Otonom di Provinsi Irian Barat.

Kuasa hukum pemohon, Yan Warinussy mengatakan UU tersebut bertentangan dengan beberapa pasal terkait hak asasi manusia (HAM) yang tercantum dalam konstitusi negara.

Pepera, kata dia, telah mengakibatkan pelanggaran terhadap hak kebebasan orang untuk berserikat dan berkumpul.

“Ketika itu dicatat di UU Nasional, itu jadi satu masalah. Ketika orang mempersoalkan hal itu, selalu dihadapkan persoalan makar dan lain-lain ini merugikan hak konstitusional masyarakat Papua,” kata Warinussy di Jakarta, Senin.

Hakim MK Anwar Usman mengatakan mahkamah tidak bisa mengabulkan gugatan ini karena UU yang digugat merupakan tindak lanjut dari Pepera sebagai sebuah peristiwa internasional.

Peristiwa itu, menurut MK, bahkan diakui keabsahannya oleh PBB lewat resolusi nomor 2504.

“Mendalilkan adanya kerugian hak konstitusional dari UU 12 Tahun 1969 yang merupakan tindak lanjut dari peristiwa hukum internasional sama saja dengan memaksa MK menilai keabsahan tindakan PBB,” kata Anwar Usman.

Pepera atau Act of Free Choice digelar pada 14 Juli hingga 2 Agustus 1969 untuk menentukan apakah penduduk Papua menghendaki bergabung dengan Indonesia atau tidak.

Pepera diikuti oleh 1.026 anggota Dewan Musyawarah Pepera (DMP) yang mewakili 815.904 penduduk Papua.

Anggota DMP terdiri dari 400 orang kepala suku dan adat, 360 orang dari unsur daerah, 266 orang dari unsur organisasi masyarakat. DMP kemudian memilih agar Papua menjadi bagian dari Republik Indonesia.

Namun sebagian masyarakat Papua merasa hasil Pepera tersebut tidak mewakili keinginan mereka yang seutuhnya.

Mereka memelesetkan istilah “act of free choice” menjadi “act of no choice“ karena merasa pemilihan itu berlangsung di bawah intimidasi militer.

Warinussy mengatakan hasil Pepera yang tidak representatif selalu menjadi ganjalan masyarakat Papua dalam menjalani integrasinya dengan Indonesia.

Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.