Nasional

LSM: Pendekatan militer bukan solusi persoalan Papua

Pendekatan militer hanya akan memperpanjang konflik dan kekerasan yang terjadi di Papua, ujar Koordinator KontraS Feri Kusuma

Nicky Aulia Widadio  | 13.12.2018 - Update : 13.12.2018
LSM: Pendekatan militer bukan solusi persoalan Papua Ilustrasi: 140 Prajurit TNI dari Batalyon Komando 465 Paskhas/Brajamusti diberangkatkan dalam rangka pengamanan Bandara di daerah Provinsi Papua pada Sabtu 17 November 2018. (Pusat Penerangan TNI - Anadolu Agency)

Jakarta Raya

Nicky Aulia Widadio

JAKARTA 

Koalisi Masyarakat Sipil menilai operasi militer bukan solusi yang tepat untuk menuntaskan akar permasalahan di Papua.

Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Feri Kusuma menilai penembakan pekerja Trans Papua di Kabupaten Nduga pada 2 Desember 2018 lalu perlu didalami lebih jauh hubungannya dengan persoalan politik dan ekonomi.

Pendekatan militer hanya akan memperpanjang konflik dan kekerasan yang terjadi di Papua, lanjut Feri.

“Pendekatan militer, berdampak sekali terhadap kehidupan masyarakat sipil. Tentu ini tidak baik untuk kehidupan berdemokrasi di Papua,” kata Feri di Jakarta, Kamis.

Feri meminta pemerintah berguru pada penetapan status ‘Daerah Operasi Militer’ di Aceh pada 1989-1998 dan 2003-2004 yang menyebabkan puluhan ribu nyawa melayang.

Konflik di Aceh akhirnya selesai setelah Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menandatangani perjanjian damai Helsinki pada 15 Agustus 2005. Feri berharap cara serupa bisa diterapkan di Papua.

“Kita berharap persoalan Papua diselesaikan secara damai. Seperti di Aceh, puluhan ribu sudah menjadi korban ternyata bisa selesai dengan perdamaian,” ujar dia.

Peneliti Imparsial Evitarossi S Budiawan menilai peristiwa penembakan di Nduga mempertegas bahwa pendekatan pemerintah kepada masyarakat Papua selama ini belum efektif.

Pendekatan ekonomi dengan membangun infrastruktur yang telah dilakukan, kata Evi, belum menyentuh akar permasalahan di Papua.

Evi meminta pemerintah duduk bersama masyarakat Papua agar menghasilkan pendekatan yang komprehensif.

“Kejadian ini jadi tamparan untuk pemerintah, pendekatan selama ini belum cukup. Itu belum menyentuh akar permasalahan di sana,” kata Evitarossi.

Berdasarkan penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada 2004-2008 berjudul ‘Papua Roadmap’ oleh Muridan S Widjojo dan tim, ada empat isu yang menyebabkan konflik di Papua.

Pertama, marjinalisasi dan diskriminasi terhadap orang asli Papua akibat pembangunan ekonomi, konflik politik, dan migrasi massal ke Papua sejak 1970.

Kedua, kegagalan pembangunan di Papua terutama di bidang pendidikan, kesehatan dan pemberdayaan ekonomi rakyat.

Ketiga, adanya kontradiksi sejarah dan konstruksi identitas politik antara Papua dan Jakarta.

Keempat, pertanggungjawaban atas kekerasan negara di masa lalu terhadap warga negara Indonesia di Papua.

“Permasalahan di Papua hanya permasalahan ekonomi itu enggak benar. Pemerintah sudah saatnya membuka mata. Harus ada dialog yang komprehensif,” ujar Evitarossi.

Pada Minggu, 2 Desember 2018 lalu, kelompok bersenjata di Papua menyerang puluhan pekerja pembangunan jalan Trans Papua di Kabupaten Nduga, Papua.

TNI-Polri masih memburu kelompok pimpinan Egianus Kogoya yang disebut bertanggung jawab atas penembakan tersebut.

Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.
Topik terkait
Bu haberi paylaşın