Kamisan: cara Suciwati Munir melawan lupa, merawat ingatan
Aksi Kamisan atau Aski Payung Hitam Menolak Diam telah digelar dengan rutin di muka Istana Negara sejak 10 tahun lalu

Regional
Megiza Asmail
JAKARTA
Masuk hari ke-500 Kamisan kali ini, janda tokoh pembela hak asasi manusia Munir Said Thalib, Suciwati, mengaku berat hati tidak dapat ikut berdiri di depan Istana Negara. Sebagai pendiri sekaligus inisiator Kamisan, dia mengungkapkan sudah beberapa kali tidak sempat bergabung bersama teman-temannya di pojok Jalan Medan Merdeka Utara itu.
Enam tahun lalu, Suciwati pindah ke Malang. Sebenarnya, dia sudah mengajukan untuk mengundurkan diri dari Presidium Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) – penggagas aksi Kamisan – karena tak lagi di Jakarta. Namun teman-temannya yang merupakan keluarga korban pelanggaran HAM meminta dia untuk tetap berpartisipasi.
“Saya pindah karena anak-anak ingin di Malang. Memang saya sempat mundur tahun 2011 karena pindah. Tapi teman-teman meminta saya untuk tetap terlibat dan menjaga ruh, dan saya pikir perjuangan bukan cuma bisa dilakukan di Jakarta. Bagi saya, konsistensi tidak diukur dengan ruang dan waktu,” ujar Suciwati.
Aksi Kamisan atau Aksi Payung Hitam Menolak Diam memang telah digelar dengan rutin di muka Istana Negara sejak sepuluh tahun lalu. Tepatnya, Suciwati bersama ibu dari BM Norma Irmawan yang menjadi korban tragedi semanggi I tahun 1998, Sumarsih; dan Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 1965, Bedjo Untung, memulainya pertama kali pada 18 Januari 2007.
Satu dekade berlalu, Suciwati mengaku tidak membuat target kapan aksi Kamisan akan berakhir. Dia pun berkaca kepada teman-temannya di JSKK. Selisih usia mereka jauh lebih tua dari Suciwati. Tapi semangat meminta kejelasan akan keadilan seakan tak pernah mati.
“Saya bercermin pada teman-teman kasus 65. Teman-teman yang sudah renta tapi masih ikut Kamisan, sementara kasus mereka seakan tidak disentuh dan tidak dibawa ke pengadilan. Mereka enggak ikut pemberontakan tetapi diciduk, dan anaknya kena stigma. Mereka berjuang tidak kenal lelah,” cerita dia.
Berkaca dari sana, Suciwati pun mengenyahkan pikirannya yang sempat merasa kasus-kasus ini pasti akan gelap alias tak akan pernah dijelaskan secara gamblang oleh pemerintah.
Baginya, apa yang dilakukan lewat Aksi Kamisan adalah cara yang bisa ditempuh agar tidak ada lagi kejadian pelanggaran HAM. Tepatnya, mengingatkan kepada pemerintah bahwa warga Indonesia tidak mau lagi direnggut hak asasinya.
“Kami bekerja sama atas nama cinta karena tidak mau anak kami, cucu kami dan saudara kami yang sedang berjuang dipukuli, dipenjara apalagi diracun. Kami tidak mau lagi seperti itu. Lewat Kamisan, kami ingin melawan lupa dan merawat ingatan,” kata Suciwati.