Nasional

Gagal hadirkan bukti, LBH Masyarakat somasi JPU ke Jaksa Agung

Paparan saksi maupun bukti lainnya tak menyimpulkan bahwa Sadikin bersalah, ujar LBH Masyarakat

Hayati Nupus  | 19.11.2018 - Update : 19.11.2018
Gagal hadirkan bukti, LBH Masyarakat somasi JPU ke Jaksa Agung (kiri ke kanan) Pengacara publik LBH Masyarakat Raynov Tumorang dan Ma’ruf Bajammal, serta Pakar hukum Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI-FHUI) Joshua Satria Collins, dalam konferensi pers mengenai somasi LBH Masyarakat soal ketidakprofesionalan jaksa dalam persidangan, di Jakarta, Senin, 19 November 2018. (Hayati Nupus - Anadolu Agency)

Jakarta Raya

Hayati Nupus

JAKARTA

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat melakukan somasi terhadap Jaksa Penuntut Umum (JPU) Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang menolak menghadirkan bukti dakwaan tersangka Sadikin Arifin, penerjemah Bahasa Taiwan yang terancam hukuman mati.

Surat somasi itu dilayangkan LBH Masyarakat ke Jaksa Agung Republik Indonesia hari ini.

Pengacara publik LBH Masyarakat Ma’ruf Bajammal mengatakan bukti dakwaan berupa rekaman pembicaraan itu merupakan satu-satunya kunci karena paparan saksi maupun bukti lainnya tak cukup menyimpulkan bahwa Sadikin bersalah.

“Pada persidangan tanggal 13 September 2018 JPU secara eksplisit menyatakan tidak sanggup untuk menghadirkan bukti rekaman percakapan ke hadapan persidangan, artinya JPU tidak serius melakukan tugasnya,” ujar Ma’ruf, Senin, di Jakarta.

Ma’ruf mengatakan rekaman tersebut berupa pembicaraan antara Sadikin dengan kliennya Huang Jhong Wei, seorang bandar narkoba asal Taiwan.

Sejak awal melayani kliennya, tutur Ma’ruf, secara konsisten Sadikin mengatakan tak pernah mengetahui jika Wei seorang pengedar narkoba.

Wei, lanjut Ma’ruf, hanya mengatakan pada Sadikin jika dia sedang mencari peluang bisnis di Indonesia dan membutuhkan penerjemah Bahasa Taiwan.

Namun Sadikin tertangkap Badan Narkotika Nasional (BNN), tambah Ma’ruf, saat menemani Wei mengambil barang di Ancol yang ternyata berisikan 50 kg sabu.

BNN, kata Ma’ruf, menangkap Wei bersama supir taksi online yang juga tidak mengetahui kejadian itu.

Polisi, ujar Ma’ruf, menembak mati Wei yang mencoba kabur dan menyeret Sadikin ke penjara.

Sadikin yang tidak terkait langsung dengan penjualan narkoba itu, kata Ma’ruf, terancam Pasal 111, 112, 113 dan 114 UU No 35 tahun 2009 tentang Narkotika dengan pidana minimal 4 tahun dan maksimal hukuman mati.

Selain tak menghadirkan bukti kuat, lanjut Ma’ruf, JPU telah enam kali menunda persidangan dengan alasan majelis hakim tidak lengkap.

Jika tidak ada penundaan, ujar Ma’ruf, seharusnya jadwal sidang berikutnya membahas tuntutan JPU.

Ma’ruf mengatakan tindakan JPU bertentangan dengan Pasal 50 KUHAP yang menyatakan bahwa seorang terduga melakukan tindak pidana memiliki hak untuk tidak dibuat terkatung-katung nasibnya, terutama mereka yang dikenakan penahanan.

Ma’ruf menuturkan jika tindakan JPU itu sewenang-wenang dan tidak professional, sehingga perlu dilakukan upaya koreksi.

“Kami meyakini bahwa ketidakprofesionalan JPU dalam kasus ini merupakan satu dari sekian banyak kasus yang tidak terangkat atau tersorot media,” ujar Ma’ruf.

Kasus lain yang menunjukkan ketidakprofesionalan JPU, lanjut Ma’ruf, adalah kasus Baiq Nuril, korban pelecehan seksual.

Pada pengadilan tingkat pertama, kata Ma’ruf, Nuril divonis bebas karena JPU tidak sanggup menghadirkan barang bukti berupa ponsel dan rekaman percakapan ke persidangan.

Namun JPU, ujar Ma’ruf, terus melanjutkan proses hukum itu dengan melayangkan kasasi ke Mahkamah Agung.

Somasi terhadap JPU ini, kata Ma’ruf, berupa teguran sekaligus pengingat bahwa tindakan kesewenangan jaksa harus berhenti.

“Hal tersebut kami lakukan juga dengan harapan agar Jaksa Agung dapat segera mengembalikan marwah konstitusi Kejaksaan kea rah tegaknya keadilan, demi terselenggaranya engara hukum yang melindungi harkat dan martabat manusia, seperti amanat konstitusi,” ujar Ma’ruf panjang lebar.

Pakar hukum Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI-FHUI) Joshua Satria Collins mengatakan ada tiga temuan krusial yang melanggar asas pada kasus Sadikin.

Pertama, ujar Joshua, beberapa penundaan sidang itu dilakukan melalui telepon, bukan diputuskan lewat persidangan terbuka oleh Majelis Hakim, dan tanpa alasan yang jelas.

Kedua, lanjut Joshua, penundaan sidang sebanyak enam kali itu dilakukan dengan alasan JPU belum siap merumuskan tuntutan sidang.

Sesuai amanat Pasal 50, tambah Joshua, JPU yang menunda sidang tanpa alasan jelas secara hukum dapat dikenakan hukuman disiplin hingga hukuman berat.

Ketiga, ujar Joshua, tidak bersedianya JPU menyodorkan bukti rekaman menjadikan proses pemeriksaan tidak berimbang.

MaPPI berharap ada langkah konkrit dari aparat untuk mengevaluasi kasus persidangan tersebut, sehingga pengadilan memperoleh putusan adil dan berimbang.

Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.
Topik terkait
Bu haberi paylaşın