Nasional

AJI: Kekerasan dan persekusi online terhadap jurnalis meresahkan

Muncul tren doxing, yaitu pelaku melakukan pelacakan dan pembongkaran identitas jurnalis yang menulis tidak sesuai aspirasi politik pelaku, lalu menyebarkannya ke media sosial untuk tujuan negatif

Muhammad Nazarudin Latief  | 31.12.2018 - Update : 02.01.2019
 AJI: Kekerasan dan persekusi online terhadap jurnalis meresahkan Sejumlah jurnalis membawa poster solidaritas untuk jurnalis Jamal Khashoggi dalam aksi demonstrasi di depan Kedutaan Besar Arab Saudi di Jakarta pada 19 Oktober 2018. (Pizaro Gozali - Anadolu Agency)

Jakarta Raya

Muhammad Latief

JAKARTA

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat terjadi 64 kasus kekerasan terhadap jurnalis pada 2018, seperti kekerasan fisik, pengusiran dan pemidanaan terhadap karya jurnalistik.

Menurut Ketua AJI Abdul Manan dalam keterangan “Catatan Akhir Tahun 2018”, jumlah ini lebih banyak dari tahun lalu yaitu 60 kasus, namun masih di bawah 2016 yang mencapai 81 kasus. Kasus kekerasan terendah pada jurnalis terjadi pada 2009, sebanyak 38 kasus.

“Kasus kekerasan fisik masih dominan. Tapi ada jenis kekerasan baru,” ujar Manan Senin.

“Yaitu pelacakan dan pembongkaran identitas jurnalis yang menulis tidak sesuai aspirasi politik pelaku, lalu menyebarkannya ke media sosial untuk tujuan negatif. Ini disebut doxing, atau persekusi secara online.”

Menurut Manan, setidaknya ada tiga kasus persekusi online tahun ini yang terkait dengan demonstrasi sekelompok massa pendukung Riziek Shibab, seorang pimpinan organisasi Front Pembela Islam (FPI).

Jurnalis Kumparan.com dipersekusi dan diancam di akun Instagram miliknya setelah medianya menerbitkan tulisannya berjudul “Menjinakkan Rizieq”. Pendukung Rizieq menilai laporan tersebut tidak menghormati pemimpin mereka, karena tidak menyematkan kata 'habib'.

Jurnalis detik.com dipersekusi terkait berita tentang pernyataan Juru Bicara Persaudaraan Alumni 212 Novel Bamukmin dan saat meliput “Aksi Bela Tauhid” 2 November 2018.

Detik.com memuat pernyataan Novel, “Bu, mau masuk surga? Pinta sama Allah, pinta sama Rasulullah, pinta sama Prabowo, pinta sama Sandiaga Uno. Betul? Takbir. Insyaallah masuk surga,” kata Novel.

Novel merasa dirugikan karena kata “cinta” berubah menjadi “pinta”. Redaksi Detik.com merasa tulisan tersebut sesuai dengan orasi Novel.

Detik Novel mengajukan hak jawab atas berita itu, namun doxing dan persekusi terhadap jurnalis detik.com tetap terjadi.

Jurnalis detik.com juga mengalami persekusi saat meliput “Aksi Bela Tauhid” pada 2 November 2018. Fotografer itu diintimidasi saat memotret sampah di area demonstrasi. Video peristiwa ini disebar ke media sosial dengan keterangan, "Wartawan Detik terciduk ingin membuat aksi bela tauhid buruk dengan memfoto sampah.

Buntut peristiwa itu ada akun akun Instagram dan Facebook yang mengunggah data pribadi di KTP dan kartu pers milik jurnalis tersebut diserta dengan kalimat bernada ancaman kekerasan.

Sebelumnya pada 2017 jurnalis TopSkor Zulfikar Akbar dipersekusi secara online karena membuat cuitan tentang pria yang dikenal sebagai ustadz Abdul Somad yang ditolak kehadirannya di Hong Kong oleh otoritas setempat. Zulfikar dianggap oleh netizen pendukung Somad sebagai melakukan penistaan.

“Cuitan di media sosial harus dilihat sebagai bagian dari kebebasan berbicara jangan disikapi dengan merisak jati diri seseorang, perburuan dan kekerasan, bahkan pemidanaan,” ujar Manan.

Kekerasan terhadap media dan jurnalis juga menimpa Harian Radar Bogor yang didatangi massa Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan. Mereka memprotes pemberitaan pada Rabu, 30 Mei 2018 berjudul 'Ongkang-ongkang Kaki Dapat Rp. 112 juta'.

Berita ini menulis besarnya pendapatan Megawati Soekarno Putri, Ketua Umum PDI Perjuangan, yang diangkat Presiden Joko Widodo menjadi Ketua Dewan Pengarah Badan Pengarah Ideologi Pancasila. Massa menilai pemberitaan ini menyudutkan Ketua PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri.

Sekjen AJI Revolusi Riza mengatakan tahun ini ditandai dengan banyaknya perkembangan yang terjadi di bidang jurnalisme dan media.

“Secara keseluruhan situasinya belum sepenuhnya menggembirakan dalam soal situasi kebebasan pers dan profesionalisme jurnalis dan media di Indonesia,” ujar dia.

Situasi kebebasan pers di Indonesia menurut Riza menempati peringkat 124 dari 180 versi Reporter Sans Frontiers atau Reporter Without Borders, tidak beda dengan tahun lalu.

“Indonesia berada di papan bawah. Masih lebih baik dari Filipina, Myanmar, Kamboja, Malaysia, Singapura, Brunei, Laos, dan Vietnam. Tapi dibelakang Timor Leste,” ujar dia.

Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.