Ekonomi

Pengamat: Pertamina rugi Rp40 triliun dari jualan Premium, Pertalite

Kerugian Pertamina berasal dari harga minyak mentah dunia yang meroket dan nilai tukar rupiah yang melemah terhadap dolar AS

İqbal Musyaffa  | 18.10.2018 - Update : 19.10.2018
Pengamat: Pertamina rugi Rp40 triliun dari jualan Premium, Pertalite Ilustrasi. (Ali Balıkçı - Anadolu Agency)

Jakarta Raya

Iqbal Musyaffa

JAKARTA

Pengamat energi menilai keputusan pemerintah membatalkan kenaikan harga Premium dan tidak menaikkan harga Pertalite membuat Pertamina berpotensi rugi hingga Rp40 triliun.

Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan dalam diskusi di Jakarta, Kamis, mengatakan kerugian Pertamina itu berasal dari harga minyak mentah dunia yang mencapai lebih dari USD80 per barel dan nilai tukar rupiah yang lebih dari Rp15 ribu per dolar AS.

Mamit menambahkan setiap harinya Pertamina mengimpor 250 ribu barel bahan bakar minyak (BBM) dalam bentuk produk dan 300 ribu barel per hari minyak mentah. Depresiasi rupiah, menurut dia, salah satunya juga karena impor minyak menggunakan dolar AS seluruhnya untuk pembayaran.

Dia juga mengatakan nilai jual Premium berdasarkan hitungan rupiah Rp15 ribu per dolar AS dan Mean of Platts Oil Singapore (MOPS) sebesar USD75 per barel seharusnya sebesar Rp9.500 per liter.

Saat ini harga jual Premium sebesar Rp6.500 per liter. Selisih harga tersebut, lanjut dia, menjadi beban yang harus ditanggung Pertamina dengan jumlah kerugian sekitar Rp23,6 triliun dari kuota Premium selama setahun sebesar hampir 12 juta kilo liter.

Sementara itu, kerugian yang harus ditanggung Pertamina akibat tidak menaikkan harga Pertalite adalah sebesar Rp24,4 triliun dengan kuota Pertalite per tahun 14 juta kilo liter. Saat ini harga jual Pertalite tetap Rp7.800 per liter.

Meski begitu, Mamit mengatakan Pertamina secara keseluruhan tetap tidak akan rugi karena memiliki bisnis sektor hulu migas yang kuat dengan harga minyak dunia yang saat ini sedang tinggi.

“Tetapi kemungkinan revenue mereka akan tergerus,” tambah dia.

Pertamina, menurut dia, saat ini berada pada posisi serba salah. Di satu sisi harus menjalankan fungsi sebagai perusahaan yang memberikan keuntungan untuk negara, tetapi di sisi lain juga harus bisa memenuhi kebutuhan masyarakat, terlebih lagi di tahun politik.

“Pemerintah untuk menjaga elektabilitasnya mau tidak mau harus menjaga harga jual Premium. Tinggal bagaimana Pertamina berusaha untuk survive dan berinovasi untuk mengurangi kerugian," urai Mamit.

Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.