Ekonomi, Nasional

Indonesia: Larangan impor sawit oleh Sri Lanka berpotensi melanggar aturan WTO

Namun alasan deforestasi yang disampaikan oleh Sri Lanka bisa melegitimasi sentimen anti-sawit yang selama ini dikampanyekan Uni Eropa

Muhammad Nazarudin Latief, Umar Idris  | 08.04.2021 - Update : 09.04.2021
Indonesia: Larangan impor sawit oleh Sri Lanka berpotensi melanggar aturan WTO Petani mengangkut buah kelapa sawit di satu perkebunan di Banyuasin, Sumatra Selatan, Indonesia pada 27 Maret 2019. ( Muhammad A.F - Anadolu Agency )

Jakarta Raya

JAKARTA

Industri kelapa sawit Indonesia menilai larangan impor minyak sawit oleh Sri Lanka berpotensi melanggar ketentuan organisasi perdagangan dunia atau World Trade Organization (WTO).

Namun hingga kini pelaku usaha Indonesia masih menunggu alasan yang lebih jelas dan resmi dari pemerintah Sri Lanka.

“Kami ingin tahu, apa alasan pelarangan tersebut. Karena berpotensi melanggar ketentuan World Trade Organization (WTO),” ujar Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono kepada Anadolu Agency, Rabu.

Pelaku usaha kelapa sawit Indonesia juga masih menunggu apakah pernyataan presiden Sri Lanka menjadi sebuah peraturan di negara itu atau tidak.

“Saya masih mengikuti mengikuti perkembangannya. Apakah pernyataan tersebut akan menjadi regulasi atau tidak,” tambah Joko.

Senin lalu Presiden Sri Lanka Gotabaya Rajapaksa melarang impor sawit dan pembukaan perkebunan kelapa sawit baru.

Pemerintah juga meminta perusahaan kelapa sawit untuk membongkar kebunnya secara bertahap dan menggantinya dengan tanaman yang lebih ramah lingkungan, seperti karet.

Presiden Gotabaya mengatakan bahwa negaranya akan menjadi negara bebas perkebunan dan konsumsi minyak sawit.

Kebijakan ini cukup mengejutkan Indonesia di tengah investasi Sri Lanka yang berangsur meningkat pada industri ini, terang Joko.

Namun, mengingat nilai impor Sri Lanka dari Indonesia masih kecil, larangan ini diperkirakan tidak terlalu berdampak bagi ekspor kelapa sawit Indonesia.

"Gangguan dari sisi perdagangan kecil, hanya mengganggu saja," terang Fadhil Hasan, direktur eksekutif Gapki kepada Anadolu Agency.

Tahun lalu, Sri Lanka mengimpor sekitar 220.000 ton minyak kelapa sawit, naik 62,9 persen dari 2019 yang hanya mencapai 135.000 ton.

Impor Sri Lanka berasal dari Indonesia dan Malaysia, dua produsen terbesar kelapa sawit dunia yang memasok hingga 85 persen dari total kebutuhan dunia.

Catatan Anadolu Agency, nilai ekspor minyak kelapa sawit Indonesia mencapai 34 juta ton atau senilai USD22,9 miliar pada tahun lalu, sehingga nilai perdagangan ke Sri Lanka tergolong kecil.

Eksportir minyak kelapa sawit Indonesia hingga kini belum berencana mencari pasar baru untuk mengalihkan ekspor dari Sri Lanka.

"Kami juga belum tahu apa motif di balik larangan itu, ini yang masih kami cari tahu," tutur Fadhil.

Di balik alasan deforestasi

Meski nilai ekspor CPO Indonesia ke Sri Lanka masih kecil, bukan berarti larangan itu benar-benar tidak membawa dampak bagi Indonesia.

Alasan deforestasi yang disampaikan Sri Lanka bisa melegitimasi sentimen anti-sawit yang selama ini dikampanyekan negara-negara maju, terutama Uni Eropa yang menyebut sawit berperan berperan besar dalam perusakan hutan tropis.

"Efek larangan Sri Lanka ini tidak terlalu besar, volume impor mereka juga kecil. Tapi tetap akan ada pengaruhnya, bisa diikuti oleh negara lain,” ujar direktur eksekutif Centre of Reform on Economics (Core) Indonesia Muhammad Faisal kepada Anadolu Agency.

Faisal mengatakan Sri Lanka hanya mengikuti negara lain, khususnya Uni Eropa dengan kebijakan Delegated Regulation (DR) dan Renewable Energy Directive II (RED II) yang akan mengurangi penggunaan minyak kelapa sawit hingga sama sekali tidak menggunakannya pada 2030.

Namun di balik alasan deforestasi tersebut, kata Faisal, sebenarnya Sri Lanka ingin mengembangkan minyak kelapa yang merupakan keunggulan komparatif negara itu.

Produksi minyak kelapa Sri Lanka pada tahun lalu mencapai 42.000 ton, lebih rendah dari 2019 yang mencapai 54.000 ton.

Karena itu, jika impor dan produksi minyak kelapa sawit diteruskan di negara itu, keunggulan mereka di bidang minyak kelapa atau 'coconut oil' tidak bisa berkembang, karena kelapa sawit mempunyai lebih banyak keunggulan.

Minyak kelapa, saat ini menyumbang sekitar 12 persen dari total hasil pertanian Sri Lanka, dengan total luas lahan yang ditanami meliputi 409.244 hektare dengan produksi sekitar 3,6 juta butir kelapa per tahun.

“Jika tidak dilarang, konsumen akan tetap pilih yang lebih murah. Mereka akan sulit mengembangkan minyak kelapa,” ujar dia.

Menurut Faisal, kelapa sawit, menurut dia memang mempunyai banyak keunggulan terutama dari sisi produktivitas dan efisiensi sehingga cocok untuk kebutuhan masyarakat di negara berkembang maupun negara maju.

“Indonesia perlu terus melawan kampanya negatif soal kelapa sawit dengan fakta yang berbasis riset,” ujar Faisal.

Tungkot Sipayung, Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI) sependapat dengan Faisal, bahwa Sri Lanka sebenarnya ingin melindungi industri minyak kelapa mereka.

Tak cuma itu, larangan impor juga sekaligus untuk melindungi kelapa sawit mereka yang sedang tumbuh, kata Tungkot.

“Isu deforestrasi digunakan. Meskipun impor sawit Sri Lanka kecil, tapi cara memproteksi dengan isu deforestasi perlu dipertanyakan,” ujar Tungkot.

Menurut Tungkot, Sri Lanka merupakan produsen minyak kelapa, seperti Indonesia. Industri minyak goreng kelapa (CCO) Sri Lanka pada dekade 90-an kalah populer dengan minyak goreng kelapa sawit, terutama dari produk impor dari Indonesia dan Malaysia.

Selain itu, sejak 10 tahun lalu, Sri Lanka belajar mengonversi kebun teh menjadi kelapa sawit dari kisah sukses PTPN IV. Saat ini Sri Lanka memiliki sekitar 11.000 hektare perkebunan sawit dengan investasi sebesar USD131 juta.

“Sekarang kebun sawit mereka itu sudah menghasilkan, tapi tetap produktivitasnya kalah dengan Indonesia dan Malaysia,” ujar dia.

Menurut Tungkot, langkah Sri Lanka ini tidak tepat karena tingginya produktivitas kelapa sawit di antara minyak nabati lain.

Seharusnya, Sri Lanka meniru kebijakan India, Bangladesh dan Pakistan yang memanfaatkan impor untuk menggerakkan industri hilir kelapa sawit di dalam negeri mereka.

“Ini sudah terbukti, terjadi penyerapan tenaga kerja dan memberikan penghasilan bagi masyarakatnya,” ujar dia.


Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.