
Jakarta Raya
Megiza Asmail
JAKARTA
Sekretaris Jenderal Amnesty International, Kumi Naidoo, menyatakan telah secara resmi melayangkan surat kepada Aung San Suu Kyi mengenai pencabutan penghargaan hak asasi manusia (HAM) tertinggi yakni Ambassador of Conscience yang pernah diterimanya pada tahun 2009 lalu.
Suu Kyi, menurut Amnesty, telah meghianati pembelaan nilai-nilai HAM yang pernah dilakukannya.
Dalam surat tersebut Naidoo mengungkapkan kekecewaan terhadap Suu Kyi yang tidak menggunakan otoritas politik dan moralnya untuk menjaga HAM, menegakkan keadilan dan kesetaraan di Myanmar.
Terlebih Suu Kyi sudah memasuki separuh masa jabatannya dan telah merasakan kebebasan dari tahanan rumah selama delapan tahun.
Suu Kyi, kata Naidoo, malah menutup mata terhadap kekejaman militer Myanmar dan tidak peduli atas meningkatnya serangan terhadap kebebasan berekspresi di negara tersebut.
“Sebagai seorang Ambassador of Conscience Amnesty International, harapan kami adalah Anda melanjutkan otoritas moral Anda untuk menentang ketidakadilan dimanapun Anda melihatnya, termasuk di Myanmar sendiri,” kata Naidoo dalam keterangan resmi Amnesty International yang diterima Anadolu Agency, Selasa.
Surat itu juga menyebut, kekecewaan Amnesty International karena Suu Kyi tak lagi mewakili simbol harapan, keberanian, dan juga pembela hak asasi manusia.
“Amnesty International tidak mempunyai alasan untuk tetap mempertahankan status Anda sebagai penerima penghargaan Ambassador of Conscience. Oleh karena itu, dengan sangat sedih kami menariknya dari Anda,” tegas Naidoo.
Ketidakpedulian Suu Kyi terhadap kritik
Organisasi non-pemerintah yang berbasis di London ini mengungkapkan pencabutan penghargaan kepada Suu Kyi terjadi ketika dia menjadi pemimpin de facto pemerintahan sipil Myanmar pada 2016.
Kala itu, pemerintahannya aktif terlibat dalam pembiaran pelanggaran HAM yang terus berulang.
Amnesty International telah berulang kali mengkritisi kegagalan Aung San Suu Kyi dan pemerintahannya dalam menentang kejahatan militer Myanmar terhadap etnis minoritas Rohingya di negara bagian Rakhine.
Rohingya di sana telah tinggal dalam sistem segregatif dan diskriminatif, yang setara dengan politik apartheid di Afrika Selatan selama bertahun-tahun.
Pada saat kekejaman terhadap Rohingya berlangsung tahun lalu, militer Myanmar membunuh ribuan, memperkosa wanita dan anak perempuan, menahan dan menyiksa laki-laki dewasa dan anak-anak, serta membakar ratusan rumah dan perkampungan hingga rata dengan tanah.
Terhitung sebanyak 720 ribu warga etnis Rohingya melarikan diri mencari perlindungan ke Bangladesh.
Laporan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bahkan telah menyerukan agar pemimpin senior militer Myanmar diinvestigasi dan diadili atas kejahatan genosida di negara tersebut.
Walaupun pemerintahan sipil tidak mempunyai kontrol terhadap militer, menurut Amnesty, Suu Kyi dan pemerintahannya telah melindungi militer dari pertanggungjawaban mereka.
Suu Kyi menutup mata atau membantah tuduhan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh militer, dan menghalangi upaya komunitas internasional untuk menginvestigasi kasus tersebut.
“Pemerintahan Aung San Suu Kyi secara aktif telah membangkitkan permusuhan terhadap Rohingya dengan cara melabeli mereka sebagai teroris, menuduh mereka membakar rumah mereka sendiri dan mengutuk karena memalsukan pemerkosaan,” sebut Amnesty.
Sementara itu, media pemerintah setempat juga memuat banyak tulisan-tulisan yang menghasut dan tidak manusiawi karena menggambarkan Rohingya sebagai ‘kutu manusia yang menjijikkan’ dan ‘duri’ yang harus ditarik keluar.
“Kegagalan Aung San Suu Kyi untuk berbicara membela Rohingya adalah salah satu alasan mengapa kami tidak bisa lagi menjustifikasi untuk mempertahankan statusnya sebagai Ambassador of Conscience,” tegas Naidoo.
Naidoo menyebut, penyangkalan Suu Kyi terhadap kekejaman pada etnis Rohingya menunjukkan bahwa kecil peluang memperbaiki kondisi kehidupan ratusan ribu Rohingya yang telah hidup terkatung-katung di Bangladesh dan ratusan ribu Rohingya lainnya yang masih tinggal di Rakhine.
“Tanpa memberi pengakuan atas kejahatan yang keji tersebut maka akan sulit untuk berharap pemerintah Myanmar akan melindungi mereka dari kekejaman serupa di masa yang akan datang,” sebut dia.
Selain itu, Amnesty juga memberi perhatian terhadap situasi di negara bagian Kachin dan negara bagian Shan di bagian utara, sebagai salah satu kegagalan Suu Kyi untuk menggunakan kewenangannya mengecam pelanggaran yang dilakukan oleh militer ataupun membela warga etnis minoritas yang menjadi korban dari konflik di kedua negara bagian tersebut.
Tidak sampai di situ, pemerintahan Aung San Suu Kyi juga dinilai memperburuk situasi dengan pembatasan akses bagi para pekerja kemanusiaan dan juga memperburuk penderitaan lebih dari 100ribu orang yang terlantar akibat pertempuran.
Penangkapan aktivis HAM dan jurnalis
Dua tahun Suu Kyi menduduki kursi kekuasaan Myanmar, kebebasan berpendapat di Myanmar pun kian tercekik.
Amnesty menyebut adanya penangkapan aktivis pembela HAM, aktivis dan jurnalis. Selain itu, ancaman dan intimidasi juga dialami oleh para pekerja tersebut.
Suu Kyi, kata Amnesty, gagal menghapus undang-undang yang represif termasuk beberapa aturan yang digunakan untuk memenjarakan dirinya dan orang lain yang mengkampanyekan demokrasi dan hak asasi manusia di masa lalu.
“Bahkan, Aung San Suu Kyi juga secara aktif mempertahankan keberadaan undang-undang tersebut, khususnya dengan membiarkan otoritas setempat memenjarakan dua wartawan Reuters karena telah mendokumentasikan kekejaman yang dilakukan oleh militer Myanmar,” ungkap Amnesty.
Amnesty International memberi penghargaan Ambassador of Conscience pada saat Suu Kyi masih berada di dalam penjara. Hari ini tepat delapan tahun Suu Kyi dibebaskan dari penjara.
Pada saat dia akhirnya dapat menerima penghargaan tersebut secara langsung di tahun 2012, dia sempat menitip pesan kepada Amnesty International.
“Jangan pernah berhenti mendukung kami dan bantu kami menjadi negara di mana harapan dan sejarah menyatu,” kata Suu Kyi kala itu.
Amnesty International, kata Naidoo, mengamini permintaan Suu Kyi tersebut dengan sangat serius. Karenanya, Amnesty menegaskan tidak akan pernah berhenti bersuara atas pelanggaran HAM di Myanmar.
“Kami akan terus melanjutkan perjuangan keadilan dan HAM di Myanmar, dengan atau tanpa Aung San Suu Kyi,” tegas Naidoo.
Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.