
WASHINGTON
Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman pada Rabu mengatakan bahwa kerajaannya sedang berupaya mencapai kesepakatan untuk menormalisasi hubungan dengan Israel.
Bin Salman membantah laporan bahwa proses bersejarah untuk membangun hubungan antar kedua negara telah terhenti karena penolakan Israel untuk membuat konsesi terhadap Palestina, dan dia mengatakan bahwa “negosiasi yang baik” sedang berlangsung.
“Kami berharap hal ini akan mencapai titik yang memudahkan kehidupan rakyat Palestina, dan menjadikan Israel sebagai pemain di Timur Tengah,” kata dia saat diwawancarai oleh Fox News.
"Setiap hari kami semakin dekat," ungkap bin Salman.
Riyadh bersikeras bahwa setiap kesepakatan untuk menjalin hubungan dengan Israel mencakup komponen memajukan upaya untuk mendirikan negara Palestina, konsesi yang sejauh ini ditolak mentah-mentah oleh Israel ketika pemerintah sayap kanan terus memperluas permukiman Yahudi di Tepi Barat yang diduduki.
Selain isu Palestina, Arab Saudi dilaporkan mencari konsesi tambahan dari Washington sebagai bagian dari perjanjian potensial, termasuk pakta keamanan dengan Amerika Serikat (AS), penjualan senjata canggih dan bantuan dalam pengembangan program nuklir sipil.
Israel dan Arab Saudi adalah rival regional Iran, dan bin Salman mengatakan bahwa jika Teheran ingin memiliki senjata nuklir, "kita harus sama-sama mendapatkannya."
Laporan-laporan menunjukkan bahwa bin Salman berusaha menghindari komitmen hukum yang tercantum dalam undang-undang AS, yang memberlakukan batasan ketat pada kerja sama nuklir untuk memastikan bahwa hal itu dimaksudkan semata-mata untuk tujuan damai.
Mereka mengamanatkan bahwa kerja sama tersebut harus mematuhi kriteria nonproliferasi untuk mengikat secara hukum mitra dalam penggunaan nuklir untuk tujuan damai, termasuk larangan pengayaan, dan pemrosesan ulang bahan nuklir tanpa persetujuan AS, dan kepatuhan terhadap perlindungan Badan Energi Atom Internasional (IAEA).
Israel tetap menjadi satu-satunya negara yang memiliki senjata nuklir di Timur Tengah, namun berulang kali menolak untuk mengkonfirmasi fakta tersebut secara terbuka sebagai bagian dari kebijakan strategisnya.