Ekonomi, Budaya

Terbius kisah cinta dari Bosphorus

Rating drama asal Turki yang ditayangkan di televisi nasional Indonesia sejak 2015 melesat meninggalkan sinetron lokal. Tapi apa arti kesuksesan serial TV ini bagi Turki?

08.08.2017 - Update : 11.08.2017
Terbius kisah cinta dari Bosphorus Ilustrasi - Serial drama dari Turki sudah diekspor ke lebih dari 90 negara. Turki saat ini adalah pengekspor serial teve terbesar kedua di dunia, setelah Amerika Serikat. (Hajer M'tırı - Anadolu Agency)

Regional

Chandni Vasandani

JAKARTA

Desember 2014, penonton Indonesia – terutama para wanitanya – punya bahan tontonan baru yang membuat nagih. Walau dipasang oleh ANTV pada pukul 22.00 WIB, yang masuk ke jam dewasa dan bukan jam prime time, serial Abad Kejayaan [Muhteşem Yüzyıl atau The Magnificent Century] menarik banyak pemirsa. Perolehan share rata-rata drama dengan latar belakang Kerajaan Ottoman ini sebesar 17.6, jauh di atas rata-rata program di kanal televisi lain di jam bersamaan.

Era booming-nya serial drama Turki di Indonesia pun dimulai.

Setelah itu, stasiun televisi lain latah menayangkan drama dari Bosphorus. Kisah gadis cilik Elif yang sempat sangat populer di Turki, tayang di SCTV pada 2016. Musim pertama dan kedua drama ini bahkan menduduki persentase penonton tertinggi versi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).

TV One yang dikenal sebagai televisi khusus berita pun kemudian turut menayangkan drama Turki. Tak tanggung-tanggung, televisi kepunyaan keluarga Bakrie ini membeli sekaligus lima judul serial Turki yang mulai on air pada April 2017: Endless Love, Winter Sun, Torn Apart, Sherazat 1001 Malam, dan Orphan Flowers. Dua judul terakhir ditayangkan ulang karena penayangan pertamanya berhasil mengerek rating televisi ini.

Riset yang dilakukan Nielsen Television Audience Measurement menunjukkan sinetron Turki langsung dilahap penonton Indonesia, bahkan mengalahkan candu terhadap konten India dan produksi lokal. Pemirsa rata-rata betah menghabiskan waktu 31 menit menonton serial Turki, dibanding dengan 21 menit untuk serial India dan 18 menit saja untuk opera sabun lokal. 

Padahal, ketika riset dilakukan pada 2015, hanya ada 11 judul sinetron Turki yang ditayangkan. Bandingkan dengan ratusan pilihan untuk drama Indonesia.

Salah satu alasan mengapa sinetron Turki sangat cocok di mata pemirsa Indonesia adalah kombinasi antara keunikan budaya Turki dan juga kemiripan isu sosial yang dihadapi kedua bangsa.

Secara geografis, Turki letaknya memang jauh sekali dari Indonesia. Posisinya yang berada di antara benua Asia dan Eropa membuat tradisinya berbeda dengan Indonesia. Namun Turki dan Indonesia sama-sama negara berpenduduk mayoritas Muslim yang telah melalui perjuangan keras untuk membangun sistem demokrasi bagi warganya.

Indonesia pun terhipnotis dengan serial diisi pemeran berparas cantik dan tampan yang alur ceritanya masih mengandung unsur budaya keislaman. Ditambah lagi, serial Turki dianggap sukses menyatukan kisah seputar gaya hidup modern tanpa terlalu melenceng dari norma-norma konservatif. Sebuah perpaduan yang menjadikannya unggul dibandingkan tontonan dari negara-negara Barat yang dianggap merusak moral.

Dua pulau sekali dayung

Saat sinetron lokal lekat dengan anggapan sebagai tontonan masyarakat kelas bawah, drama Turki ternyata menyasar kelompok penonton berbeda. Nielson menyebut, ada perbedaan antara penggemar serial Turki dibandingkan mereka yang menonton serial lokal.

Penggemar berat opera sabun Turki ternyata perempuan berusia 30 tahun ke atas dari kelas sosial menengah. Dengan kata lain, lebih mungkin bagi mereka mengunjungi Turki sebagai destinasi wisata.

Dhyta Latief, misalnya. Seorang ibu rumah tangga di Surabaya yang mengaku penonton setia serial Feyza [Huzur Sokagi atau Peace Street], secara impulsif memilih Istanbul sebagai tujuan liburan tahunan keluarganya.

“Penasaran saja. Sepertinya tempatnya hidup sekali dan saya memang ingin melihat seperti apa orang di sana. Kebetulan suami dan anak juga setuju,” ceritanya.

Setelah berlibur di Istanbul, Dhyta mengaku puas. “Orang di sana ramah-ramah, padahal kami sempat khawatir negaranya kurang aman. Tapi sebaliknya di sana kami merasa aman dan disambut baik. Kulinernya juga menarik,” jelasnya.

Tren berlibur ke Turki ini bukan hanya dialami oleh warga Indonesia saja. Laporan Turkey’s Touristic Hotels & Investor Association (TUROB) pada 2015 menyebutkan turis yang berasal dari Brasil dan Argentina naik 70 persen selama tahun 2010-2014.

Serial televisi, menurut Journal of Business Research (2009) berjudul “Effects on Films and Television Dramas on Destination Image”, adalah bagian penting dari pop culture yang memberi pengaruh langsung kepada pendapatan pariwisata sebuah negara. Terutama bila serial tersebut diedarkan secara masif ke negara-negara lain.

Turki sendiri, masih menurut jurnal ini, mengekspor drama mereka ke lebih dari 90 negara di Amerika, Timur Tengah dan Asia, termasuk Amerika Serikat dan Tiongkok. Masyarakat Mesir, Pakistan, Malaysia, Rusia, dan kini Indonesia, adalah bagian dari mereka yang lengket ke televisi saat drama Turki ditayangkan.

Data dari Istanbul Chamber of Commerce (2016), menyatakan Turki sebagai pengekspor serial teve terbesar kedua di dunia, setelah Amerika Serikat. Pendapatan dalam negeri Turki berkat ekspor serial TV pun mencengangkan. Tahun 2015, Turki menghasilkan USD 250 juta dari “jualan roman picisan” versi layar kaca ini. Internasional Market of Communications Programs, pada Oktober tahun lalu pernah berkata kepada Anatolia Agency, target ekspor serial Turki senilai USD 1 miliar pada 2023 akan terlampaui.

Namun bagi Turki, ekspor serial drama tentu bukan permasalahan uang semata. Ini soal menyebarkan kepada dunia bahwa Turki masih aman dan indah, meski tahun lalu keadaan politiknya sempat bergejolak. Seperti kata pepatah: sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui.

Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.
Topik terkait
Bu haberi paylaşın