Budaya, Nasional

Melihat koleksi museum dirgantara terlengkap se-Asia Tenggara

Selain dari Indonesia, museum ini juga menyimpan berbagai pesawat perang dari delapan negara terdepan saat Perang Dunia

Hayati Nupus  | 19.10.2017 - Update : 21.10.2017
Melihat koleksi museum dirgantara terlengkap se-Asia Tenggara Koleksi pesawat di Museum Museum Pusat TNI AU Dirgantara Mandala Yogyakarta. (Foto: Humas Museum Pusat TNI AU Dirgantara Mandala)

Yogyakarta

Hayati Nupus

YOGYAKARTA

Pada 29 Juli 1947, atas perintah Kepala Staf Angkatan Udara Komodor S Suryadharma, dua pesawat Cureng KY51 dan satu pesawat Guntai lepas landas dari Pangkalan Udara Maguwo Yogyakarta menuju Semarang, Salatiga, dan Ambarawa.

Ini merupakan misi rahasia untuk menyerang benteng pertahanan Belanda di tiga kota tersebut, sebagai balasan atas penyerangan Belanda pada sejumlah pangkalan udara Indonesia di Jawa dan Sumatera melalui udara dalam Agresi Militer I.

“Melalui operasi udara, Indonesia ingin menunjukkan pada Belanda bahwa TNI masih ada,” kisah Kepala Museum Pusat TNI Angkatan Udara (AU) Dirgantara Mandala Kolonel sus Dede Nasrudin kepada Anadolu Agency, Selasa lalu.

Pesawat Cureng yang menyerang Salatiga itu dikemudikan Kadet Penerbang Sutardjo Sigit dan juru tembak Sutardjo, sedangkan Cureng yang menyerang Ambarawa dikemudikan oleh Suharnoko Harbani dan juru tembak Kaput. 

Sementara Pesawat Guntai menyerang Semarang dengan Kadet Penerbang Muljono dan juru tembak Abdurrahman.

“Kedua pesawat itu kini diabadikan di Museum Pusat TNI AU Dirgantara Mandala Yogyakarta,” kata Dede.

Kedua pesawat itu juga, kata Dede, merupakan pesawat produksi Jepang. Guntai diproduksi tahun 1930, pesawat pembom tukik ini pernah menjadi salah satu kekuatan udara jepang dalam Perang Dunia II.

Sisa tubuh pesawat Guntai ditemukan di Babo, Papua, lantas direstorasi dan menjadi koleksi Museum Pusat TNI AU Dirgantara Mandala sejak 1987.

Sementara Cureng diproduksi Jepang pada 1933. Pesawat ini diterbangkan oleh Komodor Adisutjipto dari Lanud Cibeureum Tasikmalaya, Jawa Barat, ke Yogyakarta pada 10 Oktober 1945.

Mulanya sebagian tubuh pesawat ini hancur, lalu direstorasi dan diberi identitas merah putih pada 27 Oktober 1945.

“Ini pesawat beridentitas merah putih pertama,” kata Dede.

Pada zaman itu Indonesia memiliki sekitar 50an pesawat Cureng. Selain untuk perang, pesawat ini sering digunakan untuk latihan penerbang.

Seiring berjalannya waktu sebagian besar pesawat Cureng hancur karena usia.

“Tinggal koleksi Museum Dirgantara Mandala ini, satu-satunya yang tersisa di dunia,” ujar Dede.

Sejak September lalu Cureng direstorasi di Skuadron Teknik Lanud Adisutjipto. Cureng dicat ulang dan mesinnya diperbaiki.

“Jadi nanti mesinnya bisa dihidupkan, cuma tidak bisa terbang,” kata dia.

Museum Pusat TNI AU Dirgantara Mandala mengoleksi sekitar 51 pesawat perang dari berbagai negara. Selain Cureng dan Guntei, museum ini juga mengoleksi Mitsubishi A6M2, Pesawat Hercules C-130, Pesawat Cessna, P-51 Mustang dan Pesawat M1.

Selain dari Indonesia, museum ini juga menyimpan berbagai pesawat perang dari delapan negara terdepan saat Perang Dunia, yaitu Jepang, Amerika Serikat, Inggris, Australia, Ceko, Polandia, Kanada, dan Uni soviet.

“Ini museum dirgantara terlengkap di Asia tenggara,” ujar Dede, bangga.

Selasa lalu perusahaan Alutsista Indonesia PT Dirgantara Indonesia menyerahkan pesawat Sikumbang NU-200 untuk diabadikan di museum ini. Pesawat perang Sikumbang merupakan karya anak bangsa hasil produksi Mayor Nurtanio Prianggoadisurjo tahun 1953.

Rabu kemarin, museum ini memperoleh penambahan koleksi dengan datangnya pesawat Cessna VIP dari Skuadron 17 Lanud Halim Perdanakusuma Jakarta.

“Selain ini akan ada tambahan sekitar 10 pesawat lagi,” kata Dede.

Museum ini juga mengoleksi 1.100 diorama, miniatur pesawat, rudal dan sejumlah Alutsista lainnya.

“Total koleksi sekitar 2000-an,” kata Dede.

Kasubsi Penataan Koleksi Museum Dirgantara Mandala Kworoseto mengatakan Indonesia memiliki dua museum dirgantara, yaitu Museum Pusat AURI yang berdiri sejak 1967 di Jakarta dan Museum Pendidikan di Kompleks AKABRI Bagian Udara di Yogyakarta.

Kedua museum digabungkan pada 1997 dan berpusat di Yogyakarta berdasarkan pertimbangan sejarah, “Yogyakarta menjadi tempat lahirnya TNI AU yang telah melahirkan banyak taruna AU hingga kini,” kata Kworoseto.

Dari Kompleks AKABRI, museum dipindahkan ke Kompleks Landasan Udara Adisutjipto yang lebih luas pada 1982. Lokasi ini seluas lima hektare dengan luas bangunan 7.600 m2.

Di jaman penjajahan Jepang, kata Kworoseto, bangunan ini merupakan gudang senjata dan hangar pesawat terbang, sedang di zaman Belanda bangunan ini merupakan pablik gula Wonocatur.​

Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.
Topik terkait
Bu haberi paylaşın