Analisis

Membuka kotak Pandora di Idlib

Angkatan Bersenjata Arab Suriah berada di ambang tindakan yang akan mengubah susunan demografis Suriah, dan jika rezim ini melanjutkan rencananya tanpa pengawasan, maka ini berarti memperburuk bencana kemanusiaan

Dandy Koswaraputra  | 24.09.2018 - Update : 24.09.2018
Membuka kotak Pandora di Idlib

Jakarta Raya

Dr Can Kasapoglu

Analis Pertahanan di lembaga think-tank the Center for Economic Foreign Policy (EDAM) di Istanbul

ISTANBUL

Mari kita terus terang. Rezim Baath, dan sayap militernya Angkatan Bersenjata Arab Suriah, tidak sedang mempersiapkan perjuangan untuk membersihkan Idlib dari aktor non-negara bersenjata, termasuk organisasi teroris. Jika pun tujuan tersebut ada, maka sebenarnya itu bukan prioritas utama. Tujuan utamanya adalah memaksa penduduk Sunni keluar dari negeri itu sehingga populasinya menurun.

Konsep depopulasi yang terkenal ini berasal dari kalkulasi operasional dan strategis rezim.

Di tingkat operasional, rezim berusaha untuk mengkompensasi kekurangan personelnya. Studi statistik dalam ilmu militer menunjukkan bahwa operasi stabilitas di lingkungan konflik dengan intensitas rendah mengharuskan 20 pasukan per 1.000 penduduk – sebagai persyaratan minimum.

Dengan demikian, Tentara Arab Suriah akan membutuhkan sekitar 60.000 personil untuk mengendalikan Idlib secara meyakinkan. Rezim Baath tidak mampu mengalokasikan unit militer sebesar itu. Meskipun di atas kertas jumlah kekuatan tentara Assad mencapai 100 ribu personel, namun rezim ini sepertinya hanya akan mengandalkan 20.000 pasukan elitenya saja untuk melakukan serangan besar.

Selain itu, rezim tidak dapat menempatkan sebagian besar pasukan elite tersebut ratusan kilometer dari ibu kota dan lokasi-lokasi kunci lainnya untuk jangka waktu yang lama.

Fakta inilah yang membuktikan mengapa Assad masih membutuhkan Pasukan Quds Teheran, milisi Syiah yang dipendam oleh Iran, serta Hizbullah Lebanon, yang secara keseluruhan memiliki kekuatan tempur 30.000 personel.

Pada tingkat strategis, rezim memiliki rencana yang lebih berbahaya. Seperti yang diisyaratkan oleh beberapa jenderal Suriah, termasuk kepala Jenderal Intelijen Angkatan Udara Suriah Jamil Hassan, klan yang berkuasa di negara itu memilih untuk mengubah semua orang yang melarikan diri menjadi pengungsi permanen guna mengubah susunan demografi negara tersebut.

Dalam bahasa Perserikatan Bangsa-Bangsa, konsep operasional semacam itu masuk ke dalam kejahatan terhadap kemanusiaan. Inilah yang terjadi sekarang di Suriah.

Kepemimpinan militer bermasalah

Sumber terbuka intelijen menunjukkan bahwa Tentara Arab Suriah telah mengatur formasi-formasi elite militernya untuk melakukan serangan yang kuat di Idlib dan provinsi-provinsi yang berdekatan dengan area tersebut. Unit-unit terlatih, seperti Garda Republik, Pasukan Macan, dan Divisi Lapis Baja ke-4, diorganisasikan secara sektarian sesuai dengan ideologi rezim Baath.

Banyak komandan unit utama, seperti Jenderal Suheil Hassan, Jenderal Talal Makhlouf, Jenderal Aous Aslan, dan Jenderal Maher al-Assad, terkenal memiliki catatan melakukan kejahatan sistematis mulai dari serangan terhadap penduduk sipil tanpa pandang bulu hingga pemboman dengan senjata kimia. Kepemimpinan militer yang bermasalah seperti itu akan menimbulkan risiko besar bagi rakyat Suriah dan wilayah tersebut.

Selain itu, Tentara Arab Suriah maju dengan berbagai kelompok paramiliter pendukungnya. Keterlibatan kelompok premanisme ini tidak dapat sepenuhnya dikontrol oleh aturan unit reguler. Di banyak sudut Suriah, apa yang dilakukan oleh paramiliter sektarian ini paling pantas disebut sebagai pembersihan etnis-sektarian, dan jelas bukan sebagai operasi militer.

Secara umum, alasan yang mendasari munculnya masalah pengungsi Suriah yang mengalir ke Eropa adalah kampanye kekerasan Tentara Suriah Arab. Idlib hanyalah sebuah contoh nyata dari kekejaman mereka. Kecuali jika niat rezim Baath untuk membangun sebuah negara secara paksa dengan demografis yang lebih menguntungkan mereka dapat dicegah, para pengungsi Suriah tidak akan pernah dapat kembali ke rumah mereka.

Hantu masa lalu

Situasi saat ini di Idlib merupakan residu dari masa lalu, dan juga penentu masa depan.

Bahkan, ketika pemerintahan Trump mulai berjalan, mereka menemukan portofolio pengelolaan Suriah yang salah dan sudah terlanjur rusak. Pendahulu Trump, Presiden Obama, membangun strategi luar negeri dan keamanannya untuk membalikkan warisan Presiden Bush. Untuk melakukan itu, pemerintahan Obama memilih untuk membatalkan kebijakan neo-konservatisme Partai Republik dalam isu-isu keamanan utama.

Tahun 2013 menandai tonggak bersejarah dalam hal ini, sebuah tonggak yang mungkin telah menyebabkan runtuhnya norma internasional yang sangat diperlukan yang melarang penggunaan senjata kimia. Tahun itu, Tentara Arab Suriah melakukan serangan kimia ke Ghouta, dan membunuh lebih dari 1.500 orang. Akibatnya, Presiden Obama memiliki pekerjaan rumah lain dengan rezim Baath, yaitu senjata pemusnah massal, dan prospek intervensi militer di Timur Tengah.

Alih-alih bertanya 'apa yang harus kita lakukan sekarang' - bukan hanya untuk menyelamatkan rakyat Suriah tetapi juga norma global konflik bersenjata - tampaknya pemerintahan Obama harus bertanya pada diri sendiri apa yang pada saat itu akan dilakukan oleh Kepresidenan Bush, dan dia memilih sebaliknya.

Menyerupai Isaac Asimov yang terkenal pada tahun 1980, “A Cult of Ignorance”, Washington, pada tahun 2013, menyaksikan kultus optimisme idealis (beberapa orang mungkin lebih memilih 'naif' atau 'tidak realistis' untuk menggambarkannya) bersama dengan obsesi - tidak preferensi - untuk mempromosikan pilihan non-militer dalam urusan keamanan yang keras terlepas dari keadaan di lapangan.

Pada tahun 2012, sebelum serangan Ghouta 2013, Jihad Makdissi, juru bicara Departemen Luar Negeri Suriah, menegaskan bahwa rezim tidak akan menggunakan senjata kimia atau biologi terhadap rakyatnya. Bahkan, pernyataan ini menandai pengakuan pertama yang jelas tentang keberadaan senjata WMD non-nuklir di Damaskus. Khususnya, pada awal perang saudara, Presiden Obama telah menarik garis merah mengenai penggunaan senjata teror ini. Setelah garis merah itu dilanggar dengan impunitas, militer AS saat itu langsung mempersiapkan aksi. Namun, Rusia menyelamatkan Assad dengan menjadi penengah dan berbicara dengan Washington agar mengurangi keterlibatan militer di sana sebagai imbalan atas perlucutan senjata kimia Suriah.

Pada titik kritis tersebut, beberapa pakar memperingatkan pemerintah AS tentang kerugian serius yang mungkin dihasilkan oleh pendekatan 'lunak dan naif' tersebut. Namun, pada hari-hari euforia tersebut, hampir semua peristiwa ilmiah internasional didominasi oleh narasi 'penindasan liberal', menunjukkan kebenaran buku teks dari oxymoron. İni menjelaskan bahwa kasus (tidak) menghukum penggunaan senjata kimia rezim Suriah menunjukkan bahwa kehancuran warisan Bush bukan lagi pilihan kebijakan luar negeri, tetapi obsesi yang menyebabkan patologi analitis. Sekedar informasi, sebelum Presiden Obama meninggalkan jabatannya sebagai presiden, komunitas intelijen AS telah menyimpulkan bahwa rezim Assad memang melanggar rencana perlucutan senjata.

Setelah itu, serangan kimia Khan Sheikun tahun 2017 terjadi dan memaksa pemerintah AS mengambil tindakan militer bersama sekutu internasionalnya. Tetapi itu tidak ada apa-apanya dan terlalu terlambat. Dengan kata lain, momen 2013 tidak hanya gagal melucuti persenjataan pemusnah masal Suriah, tetapi juga menunjukkan rezim Assad bisa lolos dari jerat kejahatan semacam itu.

Turki bertahan untuk merespons di tengah risiko eskalasi

Kembali ke kasus Idlib yang bermasalah saat ini, harus digarisbawahi bahwa membuka kotak Pandora berarti memperburuk bencana kemanusiaan.

Turki, yang melindungi Eropa dari banjir pelarian orang dan sudah menampung hampir empat juta pengungsi selama bertahun-tahun, tidak bisa mentolerir lagi gelombang pengungsian selanjutnya. Jika agresi rezim Baath terus menerus dibiarkan di Idlib, maka ini dapat menyebabkan konflik regional. Bertolak dari masalah tersebut, ada dua keprihatinan yang harus direspons Turki.

Pertama, ada risiko terkontaminasi senjata kimia. Jika rezim Assad memilih jalam mengurangi populasi di Idlib tanpa merusak infrastruktur secara keseluruhan, dia kemungkinan menggunakan lagi senjata kimia. Perencana militer Assad juga kemungkinan mempertimbangkan penggunaan senjata kimia untuk menutup kekurangan tentaranya. Tentara Turki yang terlibat di Idlib juga ada kemungkinan akan terkontaminasi senjata kimia juga – tergantung cuaca dan bahan kimia yang dipilih. Selama perang saudara, beberapa senjata konvensional Suriah, seperti rudal balistik dan rudal pertahanan udara, menghantam teritorial Turki beberapa kali. Rencana Suriah menggunakan senjata pemusnah masal dengan intensitas tinggi akan berbahaya bagi Turki. Langkah berbahaya seperti itu akan memaksa Ankara untuk melakukan langkah militer besar-besaran guna memukul aset strategis rezim Baath atau langsung menargetkan markas komando operasionalnya di Idlib.

Kedua, unit militer Turki yang ditempatkan di garda depan di Idlib dapat terkena provokasi. Saat ini, 12 pos-pos Turki mengelilingi provinsi Idlib di poros barat daya-timur laut sesuai dengan eskalasi Astana. Pemboman membabi buta Angkatan Udara Suriah dengan menggunakan amunisi terarah (terutama bom barel improvisasi) dapat menyebabkan korban pada pihak Turki. Demikian juga, pos pengamatan Turki juga bisa diserang oleh paramiliter jahat yang maju bersama Tentara Arab Suriah. Dalam skenario apa pun, pemerintahan Turki akan merespons secara militer. Bahkan, pada saat artikel ini ditulis, Angkatan Bersenjata Turki telah memperkuat pos-pos tersebut, serta formasi perbatasan, dengan kendaraan perang berat dan artileri.

Lebih penting lagi, jika pos pengamatan de-eskalasi menjadi target rezim Baath, ini akan menandai kebuntuan pembicaraan Astana terkait upaya politik Rusia di Suriah.

Tragedi 2013 masih akan terjadi

Saat ini, kita menyaksikan satu lagi momen 2013 di Suriah. Angkatan Bersenjata Arab Suriah sedang mengubah susunan demografis dengan rencana agresi militer tanpa kendali. Gelombang pengungsi akibat serangan militer rezim Assad akan memacu ratusan ribu orang lari ke arah Turki, yang kemudian dapat berakibat menciptakan sel-sel teroris baru.

Komunitas internasional akan menonton atau mengambil tindakan dan melakukan sesuatu. Sesuatu yang dapat menghentikan mesin perang Baath. Sesuatu yang akan melindungi rakyat Suriah dari rezim sektarian, rezim sisa Perang Dingin. Lebih penting lagi, sesuatu untuk melindungi umat manusia dengan membatasi konflik bersenjata dan menerapkan norma hukum dan kemanusiaan.

*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis sendiri dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Anadolu Agency

Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.
Topik terkait
Bu haberi paylaşın