Budaya, Nasional

Pelepas gelisah di musim wabah

Sejumlah lembaga menawarkan layanan untuk melepaskan rasa takut dan cemas akibat wabah Covid-19

Hayati Nupus  | 31.03.2020 - Update : 02.04.2020
Pelepas gelisah di musim wabah Ilustrasi. (Foto file-Anadolu Agency)

Jakarta Raya

JAKARTA 

Hasil rontgen di Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung, Jawa Barat, itu menunjukkan ada hal yang tak biasa dalam organ tubuh Mardiansyah, kamerawan salah satu kantor berita di Indonesia. Ada pembengkakan dalam pembuluh jantung Dian, laki-laki itu biasa disapa.

“Padahal selama ini saya tidak punya riwayat dan keluhan mengenai jantung maupun tekanan darah,” ungkap Dian kepada Anadolu Agency, Senin.

Rekam rontgen itu merupakan rangkaian dari tes diagnostik Covid-19. Sekitar sepekan sebelumnya, Dian meliput kegiatan Wakil Wakikota Bandung Yana Mulyana yang kemudian dinyatakan positif terinfeksi Covid-19.

Dian ketar-ketir. Dia khawatir penyakit yang bersumber dari virus SARS CoV-2 dan telah merenggut puluhan ribu nyawa itu juga menjangkiti tubuhnya.

Beruntung, hasil tes laboratorium menyatakan Dian negatif dari Covid-19. Sedang pembengkakan pada pembuluh jantung Dian, analisis dokter, bersumber dari rasa cemas atau panik berlebih akibat serbuan informasi soal Covid-19. Rasa cemas itu mempengaruhi kondisi psikologis dan organ tubuh Dian.

“Sehingga kondisi jantung saya tidak stabil dan pernapasan tersumbat,” jelas Dian.

Selain dari bahan-bahan liputan, Dian memperoleh informasi soal Covid-19 itu dari media sosial.

Hasil analisis dokter itu menyimpulkan bahwa yang berbahaya tak hanya virus SARS CoV-2, melainkan juga dampak negatif dari serbuan informasi soal Covid-19 di media sosial.

Sejak itu, Dian melakukan dua hal sekaligus. Social distancing atau menjaga jarak sosial, juga social media distancing.

Telekonseling penjaga imunitas

Ketua Ikatan Psikolog Klinis (IPK) Jakarta Anna Surti Ariani mengatakan informasi dari media sosial yang belum jelas kebenarannya sering kali memicu stres. Ketika stres datang, produksi hormon kortisol dalam tubuh meningkat dan menurunkan imunitas.

“Ketika imunitas kita turun, penyakit apa pun bisa menjangkiti,” terang Anna.

Sementara Covid-19 adalah penyakit baru dan seluruh dunia belum memiliki pengetahuan untuk menghadapinya. Dalam waktu singkat, penyakit ini menyebar cepat dan merenggut banyak nyawa.

“Sehingga kita semakin khawatir, gelisah semakin stres, takut terjangkit, takut mati,” tukas Anna.

Jika stres itu tak tertangani dengan baik, dalam jangka panjang bisa menimbulkan post-traumatic stress disorder (PTSD) atau gangguan stres pasca trauma. Ketika persoalan sejenis datang kelak, trauma serupa akan muncul kembali.

Dampak jangka panjang itu memicu Himpunan Psikolog Indonesia (HIMPSI) dan IPK Jakarta menggagas telekonseling untuk masyarakat yang mengalami persoalan psikologis akibat epidemi Covid-19.

Dengan metode stabilisasi emosi, telekonseling yang dilakukan lewat aplikasi video call ini melibatkan 84 psikolog.

“Tujuannya untuk menurunkan level kecemasan. Yang tadinya cemas sekali, tingkat kecemasannya kemudian berkurang, emosi menjadi lebih normal,” kata Anna.

Selasa ini adalah hari kedua praktik telekonseling menghadapi Covid-19. Di hari pertama, layanan ini diserbu oleh 60 orang klien.

Berdamai dengan keadaan

Praktik serupa dilakukan oleh Santosha Emotional Healing Center. Setiap hari, lembaga ini menggelar meditasi Berdamai dengan Rasa Takut. Dengan taggar #HeningSerentak, meditasi dilakukan secara live lewat media sosial.

Tahapannya, pakar emotional healing Adjie Santosoputro mengajak peserta untuk bercerita tentang apa saja. Tentang kabar terbaru atau kegiatan hari ini.

“Interaksi antar manusia itu yang kita rindukan saat ini, menceritakan kekonyolan, kelucuan,” ujar Adjie.

Sesekali Adjie menyisipkan materi atau tips-tips kesehatan mental di sela-sela aktivitas bercerita itu.

Selepas itu, Adjie mengajak peserta untuk berkonsentrasi penuh. Lewat meditasi, Adjie mengajak mereka untuk menenangkan pikiran dan menghadapi persoalan dengan tenang.

Adjie membagi tiga kategori cara orang menghadapi rasa cemas. Pertama, dengan bertindak gegabah dan rasa marah.

Kedua, berupaya melawan rasa cemas atau takut itu dengan menepisnya. Kelompok ini cenderung abai terhadap persoalan, bahkan tak mematuhi saran pakar.

Ketiga, mengakui rasa cemas itu namun tidak terlarut. Kelompok ini tertib mengikuti saran pakar seperti tetap tinggal di rumah, tidak terlibat kerumunan, atau tidak terlarut dalam kesedihan.

“Lewat meditasi, kita belajar untuk menerima kondisi saat ini, kemudian melepaskan kecemasan dan ketakutan,” pungkas Adjie.

Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.
Topik terkait
Bu haberi paylaşın