Budaya, Nasional

OPM tolak rencana Indonesia perpanjangan otonomi khusus jilid dua

Juru Bicara kelompok bersenjata OPM Sebby Sambom mengklaim otonomi khusus wilayah Papua bukan merupakan keinginan masyarakat setempat

Erric Permana, Hayati Nupus  | 28.09.2020 - Update : 29.09.2020
OPM tolak rencana Indonesia perpanjangan otonomi khusus jilid dua Mahasiswa Papua sedang melakukan demonstrasi di depan Istana Merdeka, Jakarta. (Foto file - Anadolu Agency)

Jakarta Raya

JAKARTA

Sejak pekan lalu hingga Senin, aksi demonstrasi menolak perpanjangan Otonomi Khusus Papua muncul di Papua dan Makassar, Sulawesi Selatan.

Mereka menolak karena kebijakan itu dinilai tidak berdampak positif bagi masyarakat Papua, meski nilai dana yang diberikan kepada dua pemerintah daerah Papua dan Papua Barat, terbilang besar.

Kelompok bersenjata yang menamakan diri mereka Organisasi Papua Merdeka (OPM) memastikan menolak rencana perpanjangan otonomi khusus jilid dua.

Juru Bicara kelompok bersenjata OPM Sebby Sambom mengklaim otonomi khusus wilayah Papua bukan merupakan keinginan masyarakat setempat.

Dia mengingatkan Gubernur Papua Lukas Enembe dan pemerintah pusat untuk menghentikan niatnya memperpanjang otonomi khusus tersebut.

"Peringatan kam,i segera hentikan," kata Sebby melalui pernyataannya kepada Anadolu Agency pada Senin.

Sebby memastikan kelompoknya hanya menginginkan kemerdekaan dan lepas dari Indonesia.

Dana Otonomi Khusus Papua ini diatur dalam UU Nomor 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.

Kebijakan pemberian dana ini telah berjalan hampir 19 tahun dan hanya berlaku selama 20 tahun.

Dengan demikian, dana yang jumlah besarannya diambil dari 2 persen dari pagu Dana Alokasi Umum (DAU) nasional ini akan berakhir tahun depan.

Selain Papua, daerah yang mendapatkan dana otonomi khusus adalah Provinsi Aceh, setelah terjadi Kesepakatan Helsinki antara Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Menjelang berakhirnya otonomi khusus tersebut, pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian pada Januari lalu menargetkan rencana revisi UU No 21/2001 akan rampung tahun ini.

Presiden Joko Widodo pada Maret lalu meminta dilakukan evaluasi terhadap dana otonomi khusus tersebut.

Jokowi, begitu Presiden biasa dipanggil, menyebut dana otsus yang diserahkan pada pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat sejak 2002 hingga 2020 mencapai Rp94,24 triliun.

Dia ingin ada evaluasi menyeluruh terhadap tata kelola dan efektivitas penyaluran dana otsus, termasuk transparansi dan akuntabilitas.

Presiden mengharapkan adanya sistem dan desain baru yang lebih efektif agar bisa memberikan kesejahteraan bagi Papua dan Papua Barat.

"Sehingga diperlukan sebuah kebijakan baru mengenai dana otonomi khusus ini," kata Jokowi.

Dua pekan lalu, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD memastikan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua tetap berlaku dan tidak diperlukan perpanjangan.

Sehingga wilayah Papua, kata Mahfud MD, akan tetap menjadi wilayah otonomi khusus.

Mantan Hakim Mahkamah Konstitusi itu mengatakan pemerintah hanya akan merevisi sejumlah pasal, di antaranya Pasal 34 UU No 21/2001 mengenai perpanjangan dana otonomi khusus.

"Perpanjangan dana otonomi khusus, bukan otonomi khususnya," kata Mahfud MD, saat membahas mengenai otonomi khusus Papua dengan DPR RI, baru-baru ini.

Selain itu, pemerintah akan merevisi Pasal 76 tentang pemekaran daerah Papua menjadi lima daerah setingkat provinsi, dari sebelumnya hanya dua, yakni Papua dan Papua Barat.

Perbaikan tata kelola dana otsus dan dialog

Tokoh pendidikan Papua Samuel Tabuni memiliki tiga catatan penting tentang yang terjadi di Papua selama dua dekade pemberlakuan otonomi khusus.

Pertama, alih-alih menghasilkan solusi, konflik di Papua justru tak kunjung berakhir meski ada kebijakan otonomi khusus.

Kedua, pelanggaran HAM terus terjadi dan tidak ada satu pun yang diselesaikan secara hukum.

Sedang ketiga, meski ada pemberlakuan otonomi khusus, orang Papua tetap menjadi minoritas di atas tanahnya sendiri.

“Kalau pemerintah mau melanjutkan otonomi khusus tanpa memperhatikan tiga hal tersebut, maka sama saja, konflik akan terus terjadi,” ujar Samuel, yang juga Direktur Papua Language Institute (PLI), kepada Anadolu Agency, Senin.

Seharusnya, lanjut Samuel, pemerintah pusat dan orang Papua duduk bersama untuk merumuskan masa depan seperti apa yang akan diambil untuk kebaikan Papua.

Namun yang terjadi justru sebaliknya, imbuh Samuel, pemerintah pusat tidak melibatkan aktor konflik ikut ambil bagian dalam otonomi khusus dan menyelesaikan persoalan-persoalan Papua.

“Sehingga selama 20 tahun ini yang terus terjadi adalah konflik. Sekalipun ada pembangunan, lebih banyak orang mati di era konflik ini,” ujar Samuel.

Jika pelanggaran HAM itu terus terjadi, lanjut Samuel, Indonesia akan mengalami kesulitan ketika dunia internasional mengintervensi kelak.

Sementara terkait rencana pemerintah untuk memekarkan wilayah Papua menjadi lima provinsi, Samuel berpendapat bahwa itu hanya cara pemerintah untuk membangun kekuasaan di Papua.

Selama regulasi teknis untuk memproteksi orang asli Papua tidak dibuat, imbuh Samuel, kebijakan apa pun tidak membawa keuntungan bagi orang Papua.

“Populasi kami ini hanya 2 juta saja, kok. Harusnya perkuat yang 2 juta ini saja, hak-haknya dilindungi melalui regulasi yang sangat ketat, sehingga pemekaran apapun tetap terproteksi,” kata dia.

Dialog yang representatif

Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Cahyo Pamungkas menilai otonomi khusus akan efektif jika dilakukan dialog antara pemerintah pusat dengan wakil dari masyarakat Papua yang memiliki representatif secara politik.

Misalnya, kata dia, perwakilan masyarakat adat Papua, lembaga agama Papua, ataupun kelompok politik yang selama ini mau memisahkan diri dari Indonesia.

Jika otonomi khusus tersebut diperpanjang secara pihak tanpa dialog maka akan berakhir lebih buruk bahkan tidak efektif sebagai alat resolusi konflik di Papua.

Selain itu, dia menilai UU tentang Otonomi Khusus saat ini tumpang tindih dengan undang-undang lain yang bersifat sektoral.

"Misalnya UU yang terkait dengan pendidikan dengan kesehatan dengan RT, RW, eksploitasi sumber daya alam dan lain-lain," jelas dia.

Permasalahan lain mengenai UU No 21 Tahun 2001, yakni masih banyak pasal yang tidak dijalankan oleh pemerintah.

Di antaranya yakni mengenai Pengadilan HAM, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi untuk Papua yang belum realisasikan.

"Perlindungan hak dasar orang Papua itu juga tidak dijalankan, contohnya investasi perkebunan sawit di Merauke banyak menggusur tanah adat," pungkas dia.

Dana otsus sumber APBD terbesar

Pengamat Otonomi Daerah Djohermansyah Djohan menilai jika dana otonomi khusus Papua tersebut tidak diperpanjang maka akan berpengaruh kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) provinsi dan kabupaten/kota.

Sebab, kata dia, dana otonomi khusus masih menjadi bagian terbesar atau sekitar 60 persen di dalam APBD provinsi Papua

"Dana otsus ini dana yang ditransfer dari pusat kepada daerah Papua, kalau tidak diperpanjang apa akibatnya? Akan terjadi penurunan pelayanan publik, penurunan upaya pemberantasan kemiskinan," kata Mantan Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri itu, kepada Anadolu Agency.

Mengenai efektivitas dana tersebut, Djohermansyah mengakui selama 20 tahun berjalan memang memiliki banyak permasalahan, sehingga tidak tampak jelas manfaatnya bagi peningkatan kesejahteraan, pendidikan dan kesehatan masyarakat asli di Papua.

Kemiskinan di Papua juga masih tertinggi dibandingkan daerah lain di Indonesia, jelas dia.

Menurutnya, permasalahan tersebut terjadi lantaran ada persoalan di dalam tata kelola dan manajemen dana Otsus Papua.

Menurut dia, harus ada perbaikan model transfer dana tersebut dan juga pengawasan dan pertanggung jawabannya.

Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.
Topik terkait
Bu haberi paylaşın