Regional

Sejarah kudeta berdarah junta Myanmar terhadap Aung San Suu Kyi

Hingga Senin, korban tewas telah mencapai 2.120 orang, menurut Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik

Pizaro Gozali Idrus  | 26.07.2022 - Update : 27.07.2022
Sejarah kudeta berdarah junta Myanmar terhadap Aung San Suu Kyi Aung San Suu Kyi. (Foto file - Anadolu Agency)

JAKARTA

Junta militer Myanmar pada Senin mengumumkan telah mengeksekusi empat orang aktivis pro demokrasi yang menuai kecaman internasional.

Mereka yang dieksekusi mati adalah mantan anggota parlemen Phyo Zeya Thaw, serta penulis sekaligus aktivis Ko Jimmy, Hla Myo Aung, dan Aung Thura Zaw. Mereka dihukum dengan tuduhan melakukan aksi teror.

Kamboja, yang merupakan ketua ASEAN tahun ini, mengatakan pada Selasa eksekusi oleh junta militer Myanmar terhadap empat pemimpin pro-demokrasi dan oposisi membuat ASEAN "sangat bermasalah dan sangat sedih."

Kamboja mengatakan eksekusi itu "sangat tercela" karena menghambat upaya, terutama oleh ketua ASEAN, untuk mempercepat kemajuan implementasi apa yang disebut Konsensus Lima Poin untuk mencari perdamaian di Myanmar melalui dialog daripada kekerasan.

Tak pelak, eksekusi mati terhadap empat aktivis demokrasi ini terjadi dalam rentetan peristiwa terkait kudeta militer tahun lalu setelah penasehat Negara sekaligus pemimpin partai berkuasa Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) Aung San Suu Kyi dikudeta oleh junta militer.

Kronologi kudeta Myanmar

Kudeta itu tepatnya terjadi pada 1 Febuari tahun 2021, hanya beberapa bulan setelah NLD memenangkan pemilu.

Pada pemilu itu, partai yang dipimpin Suu Kyi itu meraup 396 dari total 476 kursi parlemen untuk majelis rendah sekaligus atas.

Sementara militer, menurut Konstitusi yang mereka rumuskan, memegang kendali atas 25 persen dari total kursi dan sejumlah posisi kunci di kementerian.

Namun militer tidak puas dengan hasil ini dan menuduh partai Suu Kyi melakukan kecurangan.

Para jenderal pertama-tama menangkap Aung San Suu Kyi, pemimpin terpilih, dan anggota senior pemerintahan Suu Kyi sebelum mengumumkan kudeta.

Militer Myanmar kemudian mengumumkan telah merebut kekuasaan dan akan memerintah setidaknya selama satu tahun setelah menahan para pemimpin tertinggi negara itu.

Militer menyatakan keadaan darurat setelah menahan Penasihat Negara Suu Kyi, Presiden Win Myint dan anggota senior NLD lainnya

Mereka mengklaim bahwa langkah tersebut dilakukan karena "kecurangan" dalam pemilihan umum 8 November, yang mengakibatkan dominasi NLD di parlemen.

Militer juga mengumumkan bahwa Panglima Angkatan Bersenjata Min Aung Hlaing telah dilantik sebagai presiden. Setelahnya, 11 anggota pemerintahan baru setingkat menteri diangkat setelah kudeta terjadi.

Kecaman dunia internasional

Merespons kudeta Myanmar, Presiden Amerika Serikat Joe Biden mengutuk militer yang mengambil alih kekuasaan pemerintahan sipil. Dia menyebut penahanan pemimpin terpilih dan peraih Nobel Aung San Suu Kyi sebagai, "serangan langsung terhadap peralihan negara menuju demokrasi dan kekuasaan berdasar hukum."

Uni Eropa turut mengecam keras kudeta militer di Myanmar yang menyebabkan tersingkirnya tokoh politik senior.

Duta Besar Turki untuk PBB di Jenewa Sadik Arslan juga mengutuk kudeta militer di Myanmar dan mengatakan negaranya menentang segala jenis pengambilalihan dan intervensi militer. Arslan mengatakan Turki mengharapkan pembebasan segera semua pejabat terpilih yang ditahan, tokoh politik, dan warga sipil. 

Dewan Keamanan PBB menyampaikan keprihatinan yang mendalam atas situasi di Myanmar setelah militer menggulingkan pemerintah sipil dan memenjarakan para pemimpin politik dan masyarakat sipil.

Namun demikian, pemerintah China memblokir Dewan Keamanan PBB untuk mengeluarkan pernyataan mengecam kudeta militer di Myanmar.

Protes massal dan jatuhnya korban jiwa

Sontak saja kudeta militer dan penahanan Suu Kyi telah menuai kemarahan di seluruh negeri, yang menghentikan langkah negara tersebut menuju demokrasi.

Puluhan ribu demonstran, mayoritas anak muda, melakukan empat unjuk rasa terpisah melawan kudeta militer di Myanmar, di tengah keamanan ketat dan pemblokiran jalan di Yangon, kota terbesar di negara itu.

Pasukan keamanan Myanmar mengerahkan kendaraan lapis baja dan melepaskan tembakan untuk membubarkan para pengunjuk rasa yang memprotes kudeta.

Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) mendorong Myanmar untuk melakukan dialog dan rekonsiliasi demi menyelesaikan konflik domestik yang terjadi antara sipil dan militer di negara tersebut.

Asosiasi Pendamping untuk Tahanan Politik (AAPP), yang merupakan NGO pengawas tahanan politik di Myanmar, menyampaikan sebanyak 543 orang tewas dalam dua bulan sejak 1 Februari hingga 1 April 2021.

Pemerintah Persatuan Nasional (NUG), yang merupakan berbagai kelompok termasuk anggota partai Suu Kyi dan aktivis pro demokrasi, akhirnya dibentuk sebagai pemerintahan bayangan. Pembentukan NUG bertujuan untuk menggalang kekuatan politik dan sipil untuk melawan kudeta militer.

Dari balik tahanan, Suu Kyi menegaskan partainya NLD, akan tetap eksis meskipun rezim kudeta membubarkannya.

Dakwaan kepada Suu Kyi

Pengadilan militer kemudian mendakwa Suu Kyi menerima suap USD550.000 dari manajer perusahaan konstruksi pada 2018. Junta militer pun mendakwa Suu Kyi melanggar undang-undang rahasia negara. Junta Myanmar juga menuduh Suu Kyi melakukan tindakan kasus korupsi.
Pada April 2022, pengadilan junta memvonis Suu Kyi lima tahun penjara atas tuduhan korupsi.

Suu Kyi dinyatakan bersalah menerima suap uang tunai dan emas dari mantan Ketua Menteri Yangon Phyo Min Thein. Suu Kyi menggambarkan tuduhan itu "tidak masuk akal."

Sejak Desember lalu, peraih Nobel itu telah dijatuhi hukuman enam kali selama setidaknya 11 tahun penjara dalam beberapa kasus.

Putusan untuk 11 dakwaan lainnya masih dalam proses.

Lima konsensus ASEAN 

Untuk merespons kasus kekerasan di Myanmar yang semakin menimbulkan banyak korban, ASEAN menggelar Konferensi Tingkat Tinggi di Jakarta pada April tahun lalu, termasuk pemimpin junta militer Myanmar Jenderal Senior Min Aung Hlaing.

KTT yang dipimpin Ketua ASEAN saat itu Sultan Hasanal Bolkiah dari Brunei Darussalam menyepakati konsensus berisikan lima poin terkait krisis di Myanmar.

Pertama, kekerasan harus segera dihentikan di Myanmar dan semua pihak harus menahan diri sepenuhnya. Kedua, dimulainya dialog konstruktif antara semua pihak yang berkepentingan untuk mencari solusi damai demi kepentingan rakyat Myanmar.

Ketiga, ASEAN sepakat adanya utusan khusus untuk memfasilitasi dialog tersebut dengan bantuan sekretaris jenderal ASEAN. Keempat, ASEAN  sepakat untuk menyediakan bantuan kemanusiaan ke Myanmar. Kelima, utusan khusus dan delegasi akan berkunjung ke Myanmar untuk bertemu dengan semua pihak yang berkepentingan.

Meski ASEAN telah menetapkan konsensu untuk meredakan konflik di Myanmar, kekerasan masih terus berlanjut. Hingga Senin tanggal 25 Juli, korban tewas telah mencapai 2.120 orang, menurut Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik.

PBB memperkirakan bahwa lebih dari 700.000 orang telah mengungsi di negara itu pada 1 Juni, termasuk lebih dari 250.000 anak-anak.

Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.