Mengukur satu tahun perundingan damai di Thailand selatan
Kedua belah pihak harus belajar dari kegagalan perundingan-perundingan damai di Thailand selatan sebelumnya, kata Muhammad Aladi Dengni, Ketua Civil Society Assembly For Peace (CAP)

Jakarta Raya
JAKARTA
Para ahli dan aktivis mengatakan perundingan damai di Thailand selatan antara pemerintah dan kelompok perlawanan Front Revolusioner Nasional Melayu Patani (BRN) yang difasilitasi Malaysia masih menghadapi hambatan karena politik Thailand dan Malaysia masih tidak stabil.
Abdulsuko Dina, ahli politik Thailand, mengatakan saat ini pemerintah Thailand menghadapi gelombang demonstrasi kelompok pro demokrasi untuk menuntut kebijakan yang lebih demokratis.
Situasi sama, kata Dina, juga terjadi di Malaysia di mana pemerintahan Perdana Menteri Muhyiddin Yasin, yang terus menghadapi kritik kelompok oposisi soal keabsahan statusnya sebagai perdana menteri.
“Keadaan situasi politik di Thailand dan di dalam Malaysia tidak stabil, ini jadi masalah. Kalau politik Malaysia tidak stabil, perundingan susah terwujud,” kata dia kepada Anadolu Agency.
Sejak Juli 2020, Thailand diguncang demonstrasi kelompok pro demokrasi untuk mengkritik kebijakan pemerintah yang dinilai tidak demokratis.
“Perundingan damai efektif tapi tidak banyak perubahan. Kekerasan memang berkurang tapi ini terjadi karena adanya Covid-19,” terang Dina.
Dina menyampaikan seharusnya ASEAN bisa terlibat dalam perundingan damai ini yang dipimpin oleh Indonesia sebagai negara muslim terbesar di dunia.
“ASEAN lebih bisa menekan Thailand,” ucap Dina.
Namun demikian, jelas Dina, keterlibatan negara saja tidak cukup dalam menjamin perundingan damai dapat berjalan efektif.
Dia menyarankan agar kedua belah pihak juga memastikan keikutsertaan sejumlah lembaga swadaya masyarakat atau NGO Patani, kelompok Budha di Bangkok, NGO luar negeri, dan ormas-ormas Islam di negara kawasan.
“Ormas Islam di Indonesia seperti Muhammadiyah perlu juga dilibatkan untuk membantu pendidikan,” kata Dina.
Dina juga mendorong persatuan beberapa kelompok perlawanan Patani seperti Patani United Liberation Organisation, Barisan Nasional Pembebasan Patani (BIPP), BRN, dan lainnya untuk menjamin perdamaian.
“Perlu adanya perspektif yang inklusif di antara mereka sehingga masing-masing memahami perspektif kelompok lain dalam menyelesaikan sebuah permasalahan,” ujar Dina
Patani adalah komunitas minoritas Muslim Melayu di wilayah Thailand selatan yang berbatasan dengan Malaysia.
Mayoritas mereka tersebar di empat provinsi yakni Pattani, Yala, Narathiwat, dan Songkhla.
Berdasarkan data pemerintah Thailand, jumlah muslim Patani sekitar 1,4 juta jiwa.
Pada 2004, pemerintah Thailand memberlakukan darurat militer di tiga provinsi mayoritas Muslim di Thailand selatan Pattani, Narathiwat, Yala menyusul kekerasan mematikan pada tahun 2004.
Menurut lembaga pemantau Deep South Watch lebih dari 7.000 tewas dan 13.000 lainnya terluka akibat konflik bersenjata di selatan Thailand sejak 2004-2020.
Sementara itu, Muhammad Aladi Dengni, Ketua Civil Society Assembly For Peace (CAP) yang berbasis di Thailand selatan dan membawahi 27 NGO, mengatakan pilihan pemerintah melakukan perundingan dengan BRN karena kelompok tersebut adalah yang terkuat di Thailand selatan sekarang.
“Pemerintah mengatakan ingin berunding dengan setiap organisasi, tapi mereka mau utamakan BRN karena BRN organisasi yang paling besar,” kata Aladi kepada Anadolu Agency pada Senin.
Namun demikian, kata Aladi, masyarakat Patani umumnya tidak begitu mengetahui proses perundingan damai antara BRN dan pemerintah.
“Karena kedua pihak pergerakan kurang berbicara tentang prosesnya, kurang menerangkan prosesnya terhadap masyarakat. Jadi masyarakat tidak tahu bagaimana perkembangannya karena kurangnya informasi,” terang dia.
Belajar dari kegagalan
Aladi mengatakan perundingan damai yang dilakukan pemerintah dengan faksi-faksi di Thailand selatan bukanlah yang pertama.
Dia mencatat perundingan damai antara faksi-faksi di Thailand selatan dan pemerintah sudah berjalan sejak tahun 1991 yang dilakukan antara kelompok separatis Patani United Liberation Organisation dan militer Thailand.
Perundingan terus berlangsung dari tahun 1993 hingga 2013 dengan berbagai kelompok-kelompok beragam yang terjadi mulai dari Jenewa (Swiss), Kairo (Mesir), Damaskus (Suriah), Langkawi, Kuala Lumpur (Malaysia), dan Bogor (Indonesia).
Namun hal tersebut tidak benar-benar dapat mewujudkan perdamaian di Thailand selatan.
Menurut Aladi, hal ini terjadi salah satunya karena perundingan damai itu selalu dirancang oleh pemerintah Thailand yang dipimpin militer bukan pemerintahan sipil.
“Perundingan yang dipimpin pemerintahan sipil baru terjadi pada 2013,” kata Aladi
Pada 2013, Thailand pertama kalinya menandatangani perundingan damai bersama BRN di bawah Perdana Menteri Yingluck Shinawatra.
Namun, negosiasi antara kedua pihak berhenti pada 2014 karena kekacauan kudeta militer yang dipimpin Prayuth Chan-ocha terhadap pemerintahan Yingluck Shinawatra.
Faktor lainnya, kata Aladi, adalah kesungguhan dari pemerintah Thailand dan kelompok perlawanan tersebut.
Pemerintah, terang Aladi, kerap lebih menjalankan fungsi intelijen yang hanya ingin tahu bagaimana kekuatan kelompok perlawanan dan siapa pemimpinnya.
“Cara pikir mereka militer, bagaimana dapat menguasai dan bagaimana bisa menang, Jadi berunding hanya sandiwara saja,” kata dia.
Membangun ekonomi
Awani Irewati, ahli Thailand dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), mengatakan progres positif dari peace proses di Thailand selatan positif dengan peran Malaysia yang diminta sebagai mediator.
Namun, kata dia, perundingan damai ini juga harus diterima dengan hati terbuka antara Pemerintah Bangkok, BRN, maupun Majelis Syuro Patani (Mara Patani), untuk menciptakan kondisi yang kondusif untuk Thailand Selatan.
“Harapan saya momen dalam negeri Thailand yang sedang chaos ini juga harus digunakan bersama untuk masa depan yang lebih baik. Artinya, jangan sampai militan yang tak jelas justru ‘bermain’ dalam kondisi yang tak stabil ini untuk kepentingan kelompok tertentu,” ucap Awani kepada Anadolu Agency.
Sebelumnya, Mara Patani, payung dari kelompok perlawanan di Thailand selatan, melakukan perundingan damai dengan pemerintah Thailand sejak 2015, namun terhenti pada tahun 2019.
Awani juga mendorong pemerintah Thailand untuk mengoptimalkan pembangunan ekonomi di Thailand selatan.
Sebab situasi ekonomi di wilayah Selatan seperti Provinsi Pattani, Yala, dan Narathiwat sangat kontras dengan provinsi-provinsi di Thailand Utara.
“Pembangunan inklusif harus segera diimplementasikan di wilayah selatan. Economic gap juga jadi the root of problem,” kata dia.
Perundingan damai antara BRN dan pemerintah Thailand yang difasilitasi Malaysia pertama kali diluncurkan pada 20 Januari 2020 di Kuala Lumpur, Malaysia. sementara putaran kedua berlangsung pada 2-3 Maret 2020 juga di Kuala Lumpur
Dalam perundingan ini, Thailand menunjuk Thailand Wanlop Rugsanaoh sebagai kepala negosiasi perdamaian, sedangkan Malaysia melantik mantan kepala polisi Abdul Rahim bin Mohd Noor sebagai fasilitator Malaysia untuk perundingan damai di Thailand selatan sejak 2018.
Dalam situasi pandemi Covid-19, BRN pada 3 April 2020 telah menyatakan penghentian semua tindakan di lapangan guna menciptakan lingkungan yang lebih kondusif bagi perdamaian.
Setelah itu, perundingan tatap muka terpaksa ditunda karena merebaknya pandemi Covid-19.
Kedua pihak sepakat memulai kembali perundingan pada 3 Februari 2021 lalu secara daring atau online.