Politik, Budaya, Regional

Asa merajut perdamaian di bumi Patani

Teuku Zulkhairi, Pengamat Islam di Asia Tenggara, mengatakan pentingnya bagi pemerintah Thailand untuk memberikan kebebasan bagi minoritas Muslim dalam menjalankan ajaran agamanya seperti kurikulum pendidikan dan bahasa

Pizaro Gozali Idrus  | 18.09.2020 - Update : 21.09.2020
Asa merajut perdamaian di bumi Patani ilustrasi: Tentara Thailand. (Foto file - Anadolu Agency)

Jakarta Raya

JAKARTA 

Pemerintah Thailand pada Minggu lalu bertemu delegasi kelompok muslim di Thailand selatan untuk menyerap aspirasi kelompok minoritas di tengah kekerasan yang terus berlangsung di wilayah itu.

Delegasi Damai Wilayah Selatan Thai ini langsung diketuai oleh Baba Abdulrahman yang merupakan Ketua Majelis Agama Islam Pattani.

Dalam pertemuan itu, Kepala negosiasi perdamaian Thailand Wanlop Raksanoh hadir langsung untuk menyampaikan aspirasi minoritas Muslim.

Kelompok Muslim di Thailand selatan meminta pemerintah menyatakan hari Jumat sebagai hari suci bagi umat Islam dan hari libur umum.

Selain itu, Muslim Patani juga meminta agar bahasa Melayu dideklarasikan sebagai bahasa resmi provinsi Pattani, Yala, Narathiwat, dan Songkhla yang merupakan basis Muslim di Thailand selatan.

Patani adalah komunitas minoritas Muslim Melayu di wilayah Thailand selatan yang berbatasan dengan Malaysia.

Berdasarkan data pemerintah Thailand, jumlah muslim Patani sekitar 1,4 juta jiwa.

Kelompok Muslim juga mengusulkan orang-orang Muslim dapat bertanggung jawab atas urusan haji, penyusunan hukum Islam untuk empat provinsi dan pengembangan industri halal.

Legitimasi historis

Teuku Zulkhairi, Pengamat Islam di Asia Tenggara dari Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry, Banda Aceh, mengapresiasi pertemuan ini di mana pemerintah Thailand mau membuka ruang menyerap aspirasi minoritas Muslim.

Menurut Zulkhairi, kaum minoritas Thailand Selatan merupakan bagian dari entitas muslim Melayu yang memiliki sejarah kuat dan panjang di Asia Tenggara.

Mereka, ujar Zulkahiri, bukanlah orang-orang baru di kawasan yang mereka diami saat ini yakni Provinsi Pattani, Yala, Narathiwat, dan Songkhla.

Menurut Zulkhairi, Islam sudah masuk ke wilayah tersebut sejak Abad ke-15 hingga kemudian berdiri Kerajaan Patani Darussalam yang berhaluan Melayu Muslim.

“Patani berasal dari Al Fathoni dalam Bahasa Arab yang berarti kaum cendekiawan, karena di situ lahir banyak ulama,” terang Zulkahiri kepada Anadolu Agency pada Jumat.

Sejak abad ke-18, kata Zulkahiri, penguasa Thailand telah berusaha untuk menaklukkan wilayah-wilayah Melayu Patani dan membawanya untuk berada di bawah kerajaan Siam.

Selanjutnya, kata dia, Kerajaan Patani jatuh ke tangan Kerajaan Siam setelah ditaklukkan pada 1785.

Saat itu, Kerajaan Patani dipecah menjadi tujuh provinsi oleh Kerajaan Siam.

Selanjutnya, ucap dia, penguasa Thailand Raja Chulalongkorn pada 1901 melanggar perjanjian damai dengan provinsi-provinsi itu dan melancarkan kampanye militer melawan mereka.

Akhirnya, Perjanjian Anglo-Siam pada 1909 memberikan jalan bagi Kerajaan Siam untuk menganeksasi wilayah Thailand selatan.

“Oleh sebab itu, kita sebagai warga Indonesia yang merupakan bagian dari entitas Melayu Asia Tenggara mendorong pemerintah Thailand untuk terus merawat perdamaian di Selatan,” ujar Zulkhairi kepada Anadolu Agency pada Jumat.

Zulkhairi mengatakan pentingnya bagi pemerintah Thailand untuk memberikan kebebasan bagi minoritas Muslim dalam menjalankan ajaran agamanya seperti kurikulum pendidikan dan bahasa.

Zulkhairi juga meminta Indonesia dan Malaysia untuk mendorong pemerintah Thailand memberikan hak-hak bagi minoritas Muslim Patani.

Menurut Zulkhairi, kalau muslim di Thailand Selatan dapat hidup dalam kedamaian dan menikmati kebebasan dan keadilan, maka hal itu juga akan memberikan pengaruh positif bagi Thailand di mata internasional.

“Ini menjadi tantangan bagi pemerintah Thailand untuk menunjukkan komitmennya,” ujar dia.

Hal senada juga disampaikan oleh aktivis HAM Malaysian Civil Society Solidarity Association (MaSSSA) Mustopha Mansor yang kerap memberikan bantuan kemanusiaan di Thailand Selatan.

Musthopa mengatakan tuntutan yang disampaikan delegasi Muslim Patani sudah sesuai dengan Deklarasi Universal HAM PBB tahun 1948.

Berdasarkan deklarasi itu, kata Musthopa, kelompok minoritas Muslim Patani memiliki hak untuk berpendapat, memilih agama, kepercayaan, dan bebas dari rasa takut.

“Jadi tuntutan Muslim Patani sudah seusai dengan HAM,” ujar dia.

Dialog dengan pemberontak

Sementara itu, Zahri Ishak, juru bicara NGO Bicara Patani, menyampaikan kunjungan Wallop ini merupakan yang ketiga kalinya untuk menyerap aspirasi Muslim Patani.

“Ini dilakukan sebagai ruang menerimakan usulan atau tuntutan dari berbagai pihak, ini bisa dilakukan kapan saja oleh pihak pemerintah Thailand,” ucap dia kepada Anadolu Agency pada Jumat.

Meski begitu, Zahri mengingatkan tim rundingan damai tidak meninggalkan dialog yang sudah berlangsung dengan kelompok pemberontak paling berpengaruh yakni Barisan Revolusi Nasional Melayu (BRN).

Sebab, kata dia, BRN dan Delegasi Damai Thailand Selatan adalah dua entitas berbeda.

Thailand resmi meluncurkan proses perdamaian kembali dengan BRN pada 21 Januari lalu di Kuala Lumpur, Malaysia.

Negosiasi antara BRN dan Pemerintah Thailand sendiri saat ini ditengahi oleh pemerintah Malaysia.

“Ada kesan pemerintah Thailand ingin melokalisasi kasus minoritas Muslim sebagai masalah domestik, bukan internasional,” ujar dia kepada Anadolu Agency.

Negosiasi antara BRN dan Pemerintah Thailand sendiri saat ini ditengahi oleh pemerintah Malaysia.

“Ada kesan pemerintah Thailand ingin melokalisasi kasus minoritas Muslim sebagai masalah domestik, bukan internasional,” ujar dia kepada Anadolu Agency pada Jumat.

Musthopa mengatakan sejak pemerintahan Pakatan Harapan tumbang, negosiasi antara BRN dan Thailand yang ditengahi Malaysia tidak lagi sekokoh dulu.

“Sejak PH tumbang, negosiasi tidak berjalan,” ucap dia.

Terakhir pada awal Maret lalu, BRN dan pemerintah Thailand mengeluarkan pernyataan bersama sepakat melakukan gencatan senjata.

Jangan sekedar formalitas

Sementara itu, Marwan Ahmad, 29, warga Muslim yang tinggal di Provinsi Pattani, menyampaikan keinginannya agar pertemuan-pertemuan antara otoritas Thailand dengan kelompok Muslim tidak sekedar formalitas belaka.

“Banyak warga Patani masih tidak yakin tim rundingan damai delegasi Thailand ini karena saat ini sudah banyak gelombang protes di Bangkok terhadap penyimpangan kekuasaan pemerintah junta militer,” ucap dia kepada Anadolu Agency pada Jumat.

Marwan mengatakan pemerintah Thailand memandang masalah konflik Patani itu hanya kerusuhan biasa, padahal konflik itu lahir beberapa abad sejak Patani dianeksasi pada tahun 1909.

“Pemerintah harus membangun kepercayaan dan menunjukkan sikap demokratis,” kata dia.

Pemerintah Thailand telah memberlakukan darurat militer di tiga provinsi mayoritas Muslim di Thailand selatan - Pattani, Narathiwat, Yala - menyusul kekerasan mematikan pada 2004.

Sejak saat itu, sebanyak 7.000 telah tewas akibat kekerasan yang berlangsung di Thailand selatan.

Selain itu, menurut data Bicara Patani, sejak pemberlakuan darurat militer di Thailand selatan, sebanyak 7,040 orang telah ditangkap dan 4.928 orang berhasil bebas di pengadilan.

Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.