10 tahun pembantaian Ampatuan, protokol keamanan jurnalis Filipina tak berubah
Rata-rata media tak memproteksi jurnalisnya ketika meliput isu sensitif, ujar Center for Media Freedom and Responsibility Filipina

Jakarta Raya
JAKARTA
Sepuluh tahun pembantaian Ampatuan berlalu, serangan paling mematikan terhadap jurnalis, tak banyak perubahan dalam protokol keamanan untuk pekerja media di Filipina, ungkap Center for Media Freedom and Responsibility (CMFR) Filipina.
Direktur Eksekutif CMFR Melinda Quintos de Jesus mengatakan bahwa tak ada pengembangan program pada protokol keselamatan, sejak pembunuhan brutal yang merenggut 58 nyawa itu terjadi hingga saat ini.
Segelintir media besar, ujar de Jesus, memang menyediakan perlengkapan keamanan yang baik saat meliput Kota Marawi selama berbulan-bulan pada 2017.
Namun rata-rata media tak memproteksi jurnalisnya ketika meliput isu lain, kata de Jesus.
Malahan, tambah de Jesus, ada banyak media yang meminta jurnalisnya untuk mencari iklan dan pendapatan tambahan bagi perusahaan.
“[Belum ada] realisasi nyata soal tanggung jawab pemilik [media] bagi awaknya,” kata de Jesus, kutip Philstar.
Padahal ada banyak protokol keselamatan ruang redaksi yang tak sulit atau butuh investasi besar, ujar de Jesus.
Misalnya, meminta reporter mengabarkan posisi mereka ketika meliput isu-isu sensitif, kata de Jesus.
“Ini hal mendasar, ketika Anda mengerjakan sesuatu yang sangat sensitif, atau jika media sangat kritis terhadap kekuasaan,” tukas de Jesus.
Jaringan media alternatif AlterMidya menambahkan tak banyak perubahan dalam lanskap politik Filipina setelah sepuluh tahun pembantaian itu terjadi.
“Satu dekade memang telah berlalu, tapi kondisi yang menyebabkan pembantaian Ampatuan tetap ada: dinasti politik dan patronase masih hidup, kelompok paramiliter dan kolusi klan Ampatuan dengan pemerintah, dulu di masa Arroyo dan kini Duterte, terus berlanjut,” ujar dia.
Peristiwa pembantaian itu terjadi pada 23 November 2009, ketika para korban tengah dalam perjalanan ke kantor Komisi Pemilihan di Shariff Aguak, Maguindanao, untuk menyaksikan pengajuan sertifikat pencalonan kandidat gubernur Esmael Mangudadatu.
Tercatat 58 orang tewas dibunuh, termasuk 32 jurnalis.
Para pelaku membuang mayat korban ke lubang di pinggir jalan.
Sidang kasus ini berlangsung rumit dan memerlukan waktu hingga satu dekade.
Hakim Jocelyn Solis-Reyes dari Pengadilan Regional Quezon Cabang 221 akan membacakan putusan kasus tersebut hari ini.
Dari 197 tersangka, 101 orang di antaranya adalah keluarga Ampatuan yang memiliki “kuasa”.
Tersangka utama adalah Zaldy Ampatuan, Andal Ampatuan Jr dan Sajid Ampatuan.
Ini merupakan pembantaian politik terburuk di Filipina. Sekaligus kekerasan terhadap jurnalis paling mematikan sepanjang sejarah dunia.
Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.