Politik, Analisis, Nasional

Membentuk koalisi 'super gemuk' Jokowi-Amin

Presiden Joko Widodo ingin partai oposisi masuk dalam barisan koalisi pendukung pemerintah, namun ajakan ini dinilai terlalu dipaksakan

Muhammad Nazarudin Latief, Pizaro Gozali İdrus, Erric Permana  | 10.07.2019 - Update : 11.07.2019
Membentuk koalisi 'super gemuk' Jokowi-Amin Pasangan calon presiden dan calon wakil presiden Indonesia Joko Widodo dan Ma'ruf Amin menaiki kereta kuda saat melakukan kampanye di Tangerang, Banten, Indonesia pada Minggu 17 April 2019. (Eko Siswono Toyudho - Anadolu Agency)

Jakarta Raya

JAKARTA 

Presiden Joko Widodo tampaknya ingin membentuk koalisi 'super gemuk' di periode kedua kekuasaannya dengan mengajak partai oposisi masuk ke dalam pemerintahan.

Saat ini ada sembilan partai yang mengusung Jokowi, sapaan Joko Widodo, dalam Pemilu 2019 hingga terpilih menjadi Presiden. Yakni PDI Perjuangan, Partai Golkar, Partai Nasdem, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Hanura, PSI, Perindo, PKPI, dan PKB.

Jika ditambah satu atau dua partai lagi, koalisi pengusung Jokowi-Amin bertambah menjadi 11 partai politik. Sebuah koalisi yang sangat besar. 

Keinginan ini disampaikan langsung oleh Jokowi, sapaan Joko Widodo, dalam beberapa kesempatan pidato dan wawancara dengan media. Keinginan ini dipandang sebagai keinginan Presiden Jokowi sendiri, untuk semakin memperkuat dukungan pemerintah.

Dalam pidato kemenangannya, Presiden Jokowi mengajak kompetitornya itu untuk “bersama-sama membangun negara ini." Menurut Jokowi, “Prabowo-Sandi adalah seorang patriot yang ingin Indonesia makin kuat, maju, adil, dan makmur.”

Ajakan ini muncul demi mengurangi gesekan dan konflik yang terjadi usai Pilpres 2019. Seperti diketahui, konflik yang memanas saat Pilpres 2019 telah menimbulkan kerusuhan 21-22 Mei 2019. Ratusan orang dilaporkan menjadi korban luka-luka, dan sepuluh orang tewas. Catatan Amnesty International Indonesia, sembilan orang korban tewas di Jakarta, dan satu orang di Pontianak, Kalimantan Barat.

Dengan latar belakang seperti itu, dapat dipahami Presiden Jokowi berinisiatif mengajak kekuatan oposisi untuk bergabung dalam pemerintahannya. Meskipun begitu, dari berbagai pendapat yang dikumpulkan oleh Anadolu Agency, ajakan ini sulit untuk direalisasikan karena memiliki hambatan yang cukup besar dan dinilai kurang realistis.

Alasannya, antara lain, ketegangan politik yang telah reda. Selain itu sudah ada putusan sengketa pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengukuhkan Jokowi-Amin dan telah diterima semua pihak.

Selain itu, di satu sisi, partai pengusung Jokowi tampak keberatan jika satu atau dua partai oposisi masuk ke dalam koalisi pendukung Jokowi-Amin sehingga koalisi pemerintah terlalu gemuk.

Di sisi lain, partai oposisi tidak satu kata untuk menerima tawaran Presiden Jokowi. Setidaknya ini terlihat dari sikap Partai Gerindra dan PKS, dua partai yang dikenal cukup dekat dalam membangun koalisi oposisi. 

Rekonsiliasi alamiah

Dari sudut kepentingan rekonsiliasi paska pemilu, bergabungnya oposisi ke dalam koalisi pemerintahan dinilai terlalu dipaksakan.

Yang terpenting, adalah pemerintah pemenang pemilu harus memastikan dapat merajut kembali ikatan kebangsaan dengan melakukan rekonsiliasi. Ikatan kebangsaan yang mengendur saat Pilpres 2019 harus solid dan diperkuat lagi, demikian pendapatan Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Jimly Asshiddiqie.

Namun, rekonsiliasi ini bukan berarti harus masuk koalisi pendukung pemerintah. Menurut Jimly, rekonsiliasi ini tidak perlu terburu-buru, harus dilakukan secara alamiah.

“Kita harus mengelola, tidak usah dipaksakan, toh semua sudah menerima hasil pemilu, putusan sudah final dan mengikat," ujar Jimly, kepada Anadolu Agency.

Rekonsiliasi, kata Jimly adalah niat yang baik. Namun jauh lebih penting adalah kesiapan bangsa untuk mengelola perbedaan untuk lima tahun ke depan.

“Jangan sampai ada kecenderungan monolitik, semua ikut ke dalam koalisi pemenang,” ujar dia.

Adapun Direktur Eksekutif Lingkar Madani Ray Rangkuti mengatakan Jokowi dan Prabowo hanya membutuhkan silaturahmi.

Keduanya adalah dua sosok yang berbeda, baik identitas politik maupun basis pendukungnya. Keduanya juga baru saja melewati persaingan dan kompetisi politik yang melelahkan.

Karena itu tidak perlu memaksakan kehendak untuk rekonsiliasi apalagi menjajaki kerja sama, atau menggabungkan Prabowo dalam tim kerja Jokowi.

“Biarkan saja keduanya dalam identitas yang berbeda, yang satu tetap sebagai petahana, dan satu lagi sebagai penantang,”

Silaturahmi, kata Ray lebih diperlukan untuk menjaga tradisi demokrasi, sekaligus juga mendinginkan suasana.

Bukan bagi-bagi kursi

Pertemuan antara Presiden Jokowi dan Prabowo direncanakan pada pertengahan Juli ini. "Hanya tinggal mencari waktu yang cocok," kata Jusuf Kalla, Wakil Presiden RI, beberapa waktu lalu.

Pertemuan ini akan menjadi momentum rekonsiliasi sesudah Pilpres. Diperkirakan dalam pertemuan itu akan dibicarakan dukungan kepada pemerintah.

Partai pengusung Jokowi tak ingin pertemuan itu berujung pada bagi-bagi kursi kekuasaan dengan oposisi.

Wakil Ketua Partai Nasdem Willy Aditya mengatakan rekonsiliasi pasca-pilpres dibutuhkan karena hajatan politik ini menyisakan agregasi laten di tengah publik akibat politik identitas yang tidak sehat.

Rekonsiliasi menurut Willy adalah upaya meredam politik identitas yang emosional dan cenderung merusak persatuan bangsa.

“Bertemunya Jokowi dan Prabowo akan menyatukan kembali dua kutub yang kemarin tampak menganga,”

“Sekaligus menggembosi penumpang gelap yang selama ini mendompleng Pilpres 2019 dengan isu yang memecah belah persatuan dan kesatuan kita,” ujar dia.

Namun rekonsiliasi, kata Willy bukan berarti bagi-bagi kursi kekuasaan antara pemenang dan lawannya dalam pilpres.

“Oleh karena itu, rekonsiliasi sama sekali tidak identik dengan bertambahnya anggota koalisi (pendukung Jokowi),” tegas Willy.

Dalam perjalanan pemerintahan memang ada upaya untuk menguatkan dan mengamankan jalannya pemerintahan dengan menguatkan koalisi, ujar Willy.

Namun yang perlu diingat, kata Willy adalah Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensial, sehingga mereka yang menjadi anggota koalisi di pemerintahan tidak otomatis akan loyal juga di lembaga legislatif.

“Ini karena pada dasarnya dalam sistem presidensial DPR sendiri adalah oposisi pemerintah. Selain itu partai di Indonesia juga tidak bisa menjamin loyalitas para kadernya,” ujar Willy.

Pemerintahan seperti ini, menurut Willy membutuhkan kekuatan publik sebagai oposisi sejati dari pemerintah.

“Pada titik inilah partai tidak hanya fokus pada soal kekuasaan, akan tetapi juga pendidikan politik kepada warga,” ujar dia. 

Gerindra ingin rekonsiliasi

Wakil Sekjen Partai Gerindra Andre Rosiade mengaku partainya kini fokus untuk melakukan rekonsiliasi guna memecah polarisasi.

“Fokus kita silaturahim untuk menurunkan tensi agar kita guyub lagi,” kata dia kepada Anadolu Agency.

Untuk itu, Andre membenarkan Prabowo Subianto akan bertemu Jokowi pada bulan Juli 2019 ini.

Namun Andre tidak dapat menyebut secara rinci kapan tanggal pertemuan kedua pemimpin ini akan berlangsung

"Insya Allah bulan Juli ini," ujar Andre.

Andre mengatakan partainya kini belum menentukan arah apakah akan bergabung ke pemerintah atau tetap pada jalur oposisi.

Dia mengaku partainya kini sedang berjuang menyelamatkan para relawan dan ulama yang tengah berada di penjara atau tersangkut masalah hukum.

“Masalah ini harus kita selesaikan,” jelas dia.

Perihal menjadi oposisi atau masuk pemerintahan, Andre mengklaim partainya belum terpikir untuk mengambil sikap untuk berada di dalam atau di luar jalur pemerintahan.

“Jangan kita berbicara oposisi, oposisi, tapi relawan harus kita selamatkan,” terang dia.

Sikap PKS

Salah satu alasan partai oposisi akan masuk ke barisan pendukung pemerintah ialah dibubarkannya koalisi pengusung Prabowo-Sandiaga, beberapa waktu lalu. Partai-partai pendukung Prabowo-Sandiaga dibebaskan untuk menentukan sikap, apakah akan mendukung pemerintah atau berada di luar pemerintahan.

Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera membenarkan Prabowo Subianto telah menyerahkan kepada masing-masing partai untuk melakukan konsolidasi internal untuk menentukan pilihan pasca pilpres.

“Selepas pak Prabowo mengembalikan mandat, yang terjadi tiap-tiap partai akan melakukan proses internal,” kata dia.

Namun Mardani menilai posisi partainya menjadi oposisi yang kritis dan konstruktif merupakan pilihan paling rasional untuk mengontrol setiap kebijakan pemerintah.

“Kami memiliki harapan agar koalisi 02 tetap solid di luar pemerintahan,” kata dia.

Di mata Mardani, koleganya di partai Gerindra, PAN, dan Partai Demokrat sejauh ini masih belum menegaskan sikap, apakah akan bergabung ke pemerintah, atau seperti PKS mengambil posisi menjadi oposisi.

“Belum ada keputusan apapun dari masing-masing partai,” kata Mardani.

Sandiaga sulit bergabung

Beberapa waktu lalu, sesaat sebelum Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan hasil Pilpres 2019 pada 20 Mei 2019, calon wakil presiden Sandiaga Uno yang cukup memiliki pengaruh di Partai Gerindra menegaskan bahwa dirinya tidak akan bergabung dengan Joko Widodo-Ma’ruf Amin jika Jokowi-Makruf memenangkan kompetisi itu.

Bagi Sandiaga, di manapun posisinya, baik di dalam maupun di luar pemerintahan, asalkan mengabdi untuk negara, sama-sama mempunyai tempat terhormat.

“Berkontribusi untuk bangsa dan negara juga sangat terhormat sebagai oposisi, sama terhormatnya dengan berada di dalam eksekutif dan di bidang manapun,” ujar Sandiaga.

Sandiaga saat itu menjawab tentang spekulasi soal namanya yang mulai masuk ke kandidat calon-calon menteri kabinet Jokowi. Posisinya cukup mentereng, yaitu Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), lembaga yang tugasnya menarik investasi asing ke dalam negeri.

“Saya tidak mencari pekerjaan dan posisi,” ujar Sandiaga.

Tapi buru-buru Sandiaga mengatakan bahwa tidak pernah ada kepastian dalam politik. Tidak seperti menjalankan bisnis yang sudah mempunyai perencanaan tiga atau lima tahun mendatang.

Dalam politik, semua bisa serba mendadak.

“Dunia saya jungkir balik saat Pak Prabowo menunjuk saya menjadi calon wakil presiden,” kata dia.

Hingga kini, kabar Sandiaga digadang-gadang bergabung ke kubu Jokowi, panggilan Joko Widodo, terus berembus.

Tapi Sandiaga bergeming, dia tak mau “kege'eran” dengan ajakan Presiden Jokowi dan enggan menanggapi ajakan tersebut.

Dia tetap berterima kasih atas ajakan tersebut.

"Saya belum melihat (ajakan) seperti itu dan kita juga belajar jangan kege'eran lah. Jangan terlalu pede. Mungkin itu cuma ungkapan yang general dan normatif," ujar dia seperti dikutip media-media lokal.

"Kita sepakat, masalah ekonomi kemarin jadi referendum dalam Pilpres kemarin. Masyarakat menginginkan perubahan ekonomi, menaikkan taraf kehidupan, semua warga negara untuk bahu membahu bersama," ujar dia.

Mari kita tunggu hasil pertemuan Jokowi-Prabowo bulan Juli ini. Tarik ulur pembentukan koalisi masih akan terjadi hingga Oktober, hingga formasi pemerintahan baru Jokowi-Amin benar-benar terbentuk dan dilantik secara resmi.

Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.
Topik terkait
Bu haberi paylaşın