Nasional

Perempuan alami kekerasan dalam konflik Papua

“Hati saya sedih, anak laki-laki satu-satunya ditembak mati oleh aparat negara,” kata Mama Douw

Adelline Tri Putri Marcelline  | 30.03.2021 - Update : 02.04.2021
Perempuan alami kekerasan dalam konflik Papua Penari perempuan dari suku Marin terlihat saat Festival Ritual Tifa Suku Marin di Merauke, Indonesia pada 25 Juli 2018. Festival budaya ini pertama kali diadakan oleh suku Marin, guna mengangkat nila-nilai leluhur suku Marin. ( File Foto - Anadolu Agency )

Jakarta Raya

JAKARTA

Tanggal 9 Desember 2014 menjadi hari paling kelam dalam hidup Mama Douw. Anak semata wayangnya, Pius Youw yang masih 19 tahun tewas ditembak oleh aparat keamanan.

“Hati saya sedih, anak laki-laki satu-satunya ditembak mati oleh aparat negara,” ungkap dia.

Hari itu pun diperingati sebagai Tragedi Paniai. Meskipun Komnas HAM menyatakan tragedi ini sebagai pelanggaran HAM berat, namun pemerintah menyatakan sebaliknya.

Hingga saat ini, tujuh tahun berselang Mama Douw tak kunjung mendapat keadilan. Kasusnya pun berakhir dengan ketidakjelasan.

Pelanggaran HAM, ketidakadilan, rasisme, dan berbagai kekerasan terus berulang di Papua. Berbagai kekerasan ini tak hanya terjadi kepada masyarakat Papua secara umum, juga berdampak pada perempuan Papua.

Koalisi Anti Kekerasan Seksual Papua, Novita Opki mengatakan, kekerasan struktural harus dihadapi para perempuan Papua hingga saat ini akibat konflik.

“Rata-rata pelakunya adalah oknum-oknum pejabat, aparat penegak hukum kemudian representasi dari pemerintah sendiri,” ucap Novita dalam diskusi virtual, Martabat Perempuan Papua, Selasa.

Menurut hasil penelitian Asia Justice Rights (AJAR) dan Papuan Women’s Working Group, 64 dari 170 perempuan asli Papua pernah mengalami kekerasan akibat kebijakan negara atau kekerasan yang dilakukan aparat negara.

Penelitian dilakukan di Sorong, Biak, Jayapura, Keetom, Merauke dan Jayawijaya pada rentang 2013-2017.

Salah seorang peneliti dari AJAR, Selviana Yolanda mengungkap, bentuk kekerasan yang dialami perempuan Papua tersebut antara lain penahanan sewenang-wenang, penyiksaan, upaya penembakan, kekerasan seksual, suami atau keluarga yang hilang, dibunuh, kehilangan atau perusakan harta benda.

Perempuan Papua juga mengalami kekerasan domestik

Konflik kekerasan domestik harus dialami oleh Mama Orpa yang menjadi korban kekerasan domestik oleh suaminya.

Kisah Mama Orpa hanya sebagian kecil dari tingginya kasus kekerasan terhadap perempuan di Papua.

Penelitian yang dilakukan Lembaga Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Liptek) Papua pada 2018 menunjukkan, kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Papua jumlahnya sebanyak 331.

Jumlah ini jauh meningkat dibandingkan tahun sebelumnya, tercatat hanya 98 kasus.

Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan pemerkosaan menjadi kasus yang paling banyak terjadi.

Tapi sayangnya, dari sekian banyak kasus tersebut, hanya sekitar 10 persen yang sampai pada proses hukum.

Ketua Liptek Marlina Flassy mengungkapkan bahwa sering kali kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan tidak pernah tuntas secara hukum.

“Sebagian besar kasus kekerasan terhadap peremuan, istri, itu diselesaikan melalui cara kekeluargaan. Sementara, sebagian kecilnya diselesaikan dengan jalur kepolisian dan adat istiadat,” ujar dia.


Oleh sebab itu, lanjut dia, kasus kekerasan terhadap perempuan Papua seakan tidak pernah menemui solusi.

Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.
Topik terkait
Bu haberi paylaşın