Nasional

Peran perempuan dalam aksi teror menguat

Kasus bom Surabaya dan bom Sibolga menunjukkan pola penyebaran paham radikal lewat keluarga, di mana perempuan memiliki peran vital

Nicky Aulia Widadio  | 14.03.2019 - Update : 14.03.2019
Peran perempuan dalam aksi teror menguat Ilustrasi: Penangkapan teroris. (Foto file - Anadolu Agency)

Jakarta Raya

Nicky Aulia Widadio

JAKARTA

Solimah nekat meledakkan diri bersama anaknya, H, yang baru berusia dua tahun ketika dikepung oleh Detasemen Khusus 88 Antiteror pada Rabu dini hari, 13 Maret 2019.

Suami dari Solimah, Abu Hamzah lebih dulu ditangkap oleh Densus 88 karena diduga terlibat dalam jaringan teror yang berafiliasi pada paham Daesh.

Upaya negosiasi selama 10 jam oleh kepolisian dan tokoh masyarakat setempat gagal membuat Solimah menyerahkan diri.

Polisi bahkan sempat melibatkan Abu Hamzah untuk membujuk sang istri, namun upaya itu juga gagal.

“Abdul Hamzah sendiri menyampaikan tidak yakin bisa membujuk istrinya karena pemahaman dan ajaran terhadap dia jauh lebih keras,” ujar Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigadir Jenderal Dedi Prasetyo dalam keterangannya, Kamis.

Dedi menuturkan, pola keterlibatan perempuan yang juga berdampak pada anak dalam aksi teror terlihat sejak aksi bom bunuh diri di Surabaya, Mei 2018.

Ketika itu bom bunuh diri dilakukan oleh pasangan suami istri Dita Oepriarto-Puji Kuswati beserta anak-anak mereka.

“Di Indonesia fenomena ini mulai terbaca oleh Densus 88, perempuan bisa memiliki militansi yang lebih tinggi,” tambah Dedi.

Belakangan polisi juga mengetahui bahwa Abu Hamzah dan Solimah memiliki empat orang anak.

Anak bungsu mereka tewas dalam ledakan bunuh diri, sedangkan tiga orang anak lainnya belum diketahui keberadaannya.

“Tentu anak mereka akan dapat penanganan khusus, dari BNPT juga akan membantu recovery mereka dari sisi mental dan psikologis,” ujar Dedi.

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Bambang Brodjonegoro, dalam rapat kerja bersama Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Januari lalu, sempat mengingatkan agar pemerintah mengatasi keterlibatan perempuan dan anak dalam aksi terorisme.

Pasalnya, sebanyak 147 perempuan warga negara Indonesia (WNI) yang menjadi foreign terrorist fighter di Irak dan Suriah hingga 2018.

Sementara berdasarkan data International Centre for the Study of Radicalisation (ICSR) dalam laporan berjudul “Daesh to Diaspora: Tracing Women and Minors of Islamic State” yang dirilis pada Juli 2018 lalu, ada 113 perempuan dan 100 anak-anak dari total 800 warga negara Indonesia yang bergabung dengan Daesh di Suriah.

Dari data tersebut, sebanyak 54 perempuan dan 60 anak yang telah kembali ke Indonesia.

Familial suicidal bombing

Pengamat terorisme Al Chaidar menyebut ledakan bunuh diri yang terjadi di Sibolga sebagai “familial suicidal terrorism”.

Familial suicidal terrorism pertama kali terjadi di Indonesia saat kasus bom gereja Surabaya. Pola yang mirip terjadi ketika sepasang suami-istri meledakkan bom di sebuah gereja di Sulu, Filipina.

Menurut Al Chaidar, kasus-kasus tersebut menunjukkan radikalisasi yang melibatkan perempuan dan anak berjalan cepat.

Dalam kasus di Sibolga, Solimah disebut “lebih kuat terpapar paham ISIS” dibandingkan suaminya dan menolak menyerah meski suaminya sendiri yang meminta.

Kasus di Sibolga dan di Surabaya menunjukkan bagaimana perempuan berani mengambil langkah ekstrem dalam aksi teror dan melibatkan anaknya.

Al Chaidar melanjutkan, kelompok teror juga memandang perempuan sebagai sumber daya yang efektif karena akan memiliki keturunan serta mampu memengaruhi anak-anak mereka untuk melakukan aksi teror.

Mereka tidak ragu untuk melibatkan anak-anak mereka karena ideologi yang memandang aksi teror sebagai “amaliyah”.

“Mereka memiliki paham bahwa aksi teror sebagai shortcut to heaven dan tidak mau meninggalkan anak mereka di dunia yang penuh ‘kekafiran’,” ujar Al Chaidar ketika dihubungi, Kamis.

Selain itu, pelibatan perempuan dan anak pada aksi teror juga dipengaruhi oleh kondisi kelompok Daesh yang makin terdesak di Irak dan Suriah.

“Mereka menggunakan segala sumber daya yang ada untuk perang, termasuk sumber daya anak-anak dan perempuan,” kata dia.

Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto mengatakan pola penyebaran paham radikal kini telah memasuki ranah keluarga sehingga lebih sulit dideteksi.

"Saya kira kalau ada pola-pola baru, harus ada metode baru, ada strategi baru untuk mendeteksi infiltrasi radikalisme yang dilakukan oleh orang tua kepada anak,” ujar dia.

Salah satu langkah yang bisa digunakan, menurut Susanto ialah memasukkan kontra-radikalisme ke dalam kurikulum pendidikan.

Selain itu, KPAI merekomendasikan agar anak-anak yang terpapar radikalisme diberi rehabilitasi dan mengikuti program kontra-radikalisme.

Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.